Dewan Konstituante
Dewan Konstituante merupakan dewan yang bertugas membentuk undang-undang dasar baru untuk menggantikan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Dewan tersebut dibentuk berdasarkan hasil pemilihan umum pada Desember 1955 (Feillard 1999: 54; Feith 2006: 448). Dalam pemilihan umum tersebut, tingkat pemilih cukup tinggi, meskipun selisih 2,21% lebih sedikit dibandingkan pemilihan umum parlemen pada September 1955. Dari seluruh jumlah pemilih yang terdaftar, tercatat 89,33% pemilih menggunakan hak suaranya (Feith 2006: 449). Anggota Dewan Kosntituante hasil pemilihan umum dilantik pada 10 November 1956 (Sekretariat Negara Republik Indonesia 1986: 88).
Pembentukan Dewan Konstituante merupakan langkah untuk merealisasikan amanat Bab V Pasal 134 UUDS 1950 yang menyatakan bahwa Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-undang Dasar Sementara. Jumlah anggota Dewan Konstituante menurut Pasal 135 UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan atas perhitungan setiap 150.000 penduduk Indonesia mempunyai seorang wakil (Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950: 36).
Dewan Konstituante memulai sidang pada November 1956 (Ricklefs 1995: 378), namun hingga 1958 sidang-sidang Dewan Konstituante tidak banyak memberikan hasil (Feillard 1999: 54). Persidangan awal Konstituante yang membahas mengenai bentuk negara, bendera negara, lagu kebangsaan, dan bahasa nasional tidak mengalami kesulitan yang berarti karena semua golongan sependapat. Persoalan muncul pada 1957 ketika persidangan mulai membahas mengenai rancangan undang-undang dasar baru (Gilang 2018: 57).
Dalam penentuan dasar negara, anggota Dewan Konstituante dapat dikelompokkan ke dalam tiga dukungan. Pertama, kelompok pendukung Pancasila sebagai dasar negara berjumlah 273 yang terdiri dari PNI (116 anggota), PKI dan faksi Republik Proklamasi (80 anggota), Parkindo (16 anggota), Partai Katolik (10 anggota), Partai Sosialis Indonesia (10 anggota), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (8 anggota) dan beberapa partai kecil. Kedua, kelompok pendukung Islam sebagai dasar negara berjumlah 230 anggota, terdiri dari Partai Masyumi (112 anggota), NU (91 anggota), PSII (16 anggota), Perti (7 anggota) dan dua partai Islam kecil lain. Kelompok ketiga adalah kelompok pengusung dasar negara sosial-ekonomi yang hanya berjumlah 9 anggota terdiri dari Partai Murba dan Partai Buruh (Argenti 2020: 49) Karena pendukung sosial-ekonomi jumlahnya sedikit, maka perdebatan tentang dasar negara mengerucut pada perdebatan antara kelompok pendukung Pancasila dengan kelompok pendukung Islam (Gilang, 2018: 59).
Sidang Dewan Konstiuante berulang-ulang melakukan voting karena tidak terwujudnya kesepakatan. Namun voting pun tidak pernah mendapatkan hasil suara mayoritas sesuai yang diperlukan, yaitu 2/3 dari jumlah anggota. Proses tersebut mengakibatkan kejenuhan sehingga banyak anggota Majelis Konstituante yang tidak bersedia lagi menghadiri sidang (Argenti 2020: 52).
Perdebatan tentang dasar ideologi negara dalam Dewan Konstitusi berlangsung sampai rapatnya yang terakhir pada 2 Juni 1959, tanpa suatu keputusan. Pemerintah membaca situasi tersebut sebagai kemacetan konstitusional yang serius. Maka pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno dengan dukungan penuh dari pihak militer mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali kepada UUD 1945 dan sekaligus membubarkan Dewan Konstituante (Maarif 1996: 175).
Meskipun Dewan Konstituante gagal menyusun undang-undang dasar baru, beberapa konsensus sebenarnya telah dihasilkan. Hasil-hasil tersebut adalah tentang Hak Asasi Manusia (HAM), bentuk pemerintahan dan prinsip-prinsip kebijakan negara (Argenti 2020: 52).
Penulis: Asti Kurniawati
Instansi: Universitas Sebelas Maret
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Argenti, Gili (2020). “Ideologisasi Partai Islam Masyumi di Indonesia”, Jurnal Politicom Indonesiana: Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu Komunikasi, Vol. 5, No. 1, Juni 2020.
Feillard, Andree (1999). NU Vis a Vis Negara. Pencarian Isi, Bentuk dan Makna.
Feith, H. (2006). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Jakarta, Kuala Lumpur: Equinox Publishing.
Gilang, Muhammad Ilham (2018). “Dasar Negara Islam atau Pancasila: Sikap Politik Partai Nahdlatul Ulama dalam Majelis Konstituante, Jurnal Candrasangkala, Vol. 4, No. 1, Mei 2018.
Maarif, Ahmad Syafii (1995). Islam dan Masalah Kenegaraan. Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Sekretariat Negara Republik Indonesia (1986). 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.
Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia (1950). Penerbitan Indonesia N.V.