Djamin Ginting
Letnan Jenderal Djamin Ginting adalah seorang tokoh pejuang kemerdekaan dari Tanah Karo. Ia lahir pada 12 Januari 1921 di desa Suka, Tiga Panah, kabupaten Karo, dan meninggal dunia di Ottawa, Kanada, pada 23 Oktober 1974 (Suprayitno et al., 2019: 309). Djamin Ginting merupakan anak kedua dari pasangan Lantak Ginting dan Tidang br. Tarigan. Dalam kebiasaan masyarakat Karo, dalam menamai anak dilakukan secara spontan berdasarkan apa yang dipikirkan. Namun, Lantak sudah mempersiapkan nama “Djamin” untuk diberikan kepada anak lelaki tertuanya. Nama ini mengandung doa dan harapan agar kelak sang anak dapat menjamin keamanan dan memimpin rakyatnya dengan adil (Suprayitno et al., 2019: 21–22).
Djamin Ginting memasuki sekolah Volkschool (Sekolah Rakyat) di desa kelahirannya pada tahun 1927-1930 dan melanjutkan pendidikan ke Vervolgschool (Sekolah Sambung) tahun 1930-1933. Selanjutnya dari tahun 1933-1936 ia mendalami bahasa Belanda di Schakel School yang berada di Kabanjahe dan sekelas dengan Nelang Sembiring. Bersama teman-temannya, Djamin pindah ke Medan untuk melanjutkan pendidikan tingkat menengah di Ivoorno Instituut pada tahun 1936-1939 dan kemudian melanjutkan pendidikan di Handelschool untuk belajar tentang kewirausahaan tetapi hanya berlangsung dari 1939-1940. Pada pendidikan yang terakhir ini ia tidak dapat menyelesaikannya karena tentara pendudukan Jepang menutup sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda (Perangin-angin, 1996: 12).
Kehausan akan ilmu pengetahuan terus mendorongnya untuk belajar. Setelah 1949, Djamin mendalami bahasa Inggris dan melanjutkan pendidikan yang tertunda di Sekolah Menengah Atas Tentara (SMAT) di Medan. Pada bidang militer, dia juga memperdalam keterampilannya dengan mengikuti pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) pada tahun 1953. Kebiasaan mencari ilmu ini terus berlanjut sampai dia menjadi salah satu pemimpin besar di Indonesia (Suprayitno et al., 2019).
Semasa hidupnya, Djamin Ginting menikahi seorang gadis asal Karo bernama Likas Tarigan. Gadis ini dikenal sebagai sosok wanita yang berperawakan manis, cerdas dan tegas yang pada saat itu berprofesi sebagai guru di Pangkalan Brandan. Dari pernikahan tersebut Djamin dan Likas memperoleh lima orang anak, empat orang putri dan satu orang putra. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan kemudian ia wasiatkan kepada anak-anaknya agar menggapai ilmu setinggi-tingginya dan tidak melupakan jati diri sebagai bangsa Indonesia (Senduk, 2014: 53).
Saat terjadi Perang Asia Timur Raya, Jepang membentuk gyugun guna membantu mereka menghadapi pasukan Sekutu. Di Sumatra Timur, penyelenggaraan latihan gyugun dilakukan oleh Badan Oentoek Membantu Pertahanan Asia (BOMPA) di Medan sekitar Maret 1943 (Arifin, 2009: 34). Kesempatan ini digunakan Djamin Ginting untuk mengikuti pendidikan dasar kemiliteran di Helvetia, Medan pada akhir 1943. Selanjutnya, ia berangkat ke Siborong-borong untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan calon perwira. Setelah tiga bulan pelatihan, ia diangkat menjadi letnan serta ditempatkan di Pangkalan Brandan dan Pulau Kampai sebagai Komandan Pengawal. Selanjutnya ia dipindahkan ke Blangkejeren (Aceh Tenggara) sebagai Komandan Kompi Istimewa gyugun (Reid, 1987: 61).
Pendidikan militer yang ia dapatkan pada masa pendudukan Jepang menjadi modal dirinya menjadi prajurit profesional. Djamin Ginting juga mendidik para pemuda menjadi pasukan Republik dan membangun pabrik perakitan senjata pada masa perang gerilya. Zaman pendudukan Jepang membuat pandangan hidupnya menjadi keras, berani, dan disiplin. Hal itulah yang menentukan perjuangannya dalam mempertahankan kemerdekaan RI (Suprayitno et al., 2019: 36-37).
Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1950, Djamin Ginting dan para pemuda mantan pasukan gyugun ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan yang sudah diperoleh. Sejak Agresi Militer Belanda I dan II, mereka terlibat dalam banyak pertempuran dengan Belanda, mulai dari Medan Area, Tanah Karo, Alas, hingga Langkat. Pasukan yang dipimpinnya berjuang dengan gigih dan pantang menyerah, yang membuat pasukan Sekutu mendapat kesulitan. Hal ini membuktikan ketangguhan Djamin Ginting dan pasukannya dalam menjaga kemerdekaan Indonesia. Djamin Ginting yang tergabung dalam Resimen IV juga berhasil memberikan perlindungan keamanan kepada Rakutta Sembiring (Bupati Karo), sehingga roda pemerintahan di daerah tersebut terus berjalan dengan baik (Tarigan, 2009: 13).
Pada tahun 1956-1965, Indonesia mengalami masa pergolakan daerah. Hal ini disebabkan ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan sentralisasi yang terjadi. Di Sumatera Utara lahir Dewan Gajah yang pimpinan oleh Kolonel Maludin Simbolon dengan satuan komando TT I/BB. Dewan ini nantinya bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Bukittinggi. Sementara itu, Djamin Ginting menolak untuk memberi dukungan terhadap gerakan ini dan lebih memilih untuk tetap setia kepada pemerintah Republik Indonesia (Ricklefs, 2008: 529).
Setelah gerakan PRRI dinyatakan ilegal oleh pemerintah pusat, Kolonel Maludin Simbolon diberhentikan secara tidak hormat dan digantikan oleh Letkol Djamin Ginting. Ia dilantik langsung oleh KSAD Letjen A.H. Nasution pada 25 Maret 1957 di Lapangan Benteng Medan. Setelah membaca dengan cermat perkembangan gerakan ini, ia kemudian mengerahkan pasukannya untuk menangkap Maludin Simbolon dan para pengikutnya dengan operasi yang diberi sandi “Operasi Sapta Marga.” Keputusan ini ia ambil sebagai langkah untuk menjaga keutuhan Angkatan Perang, Pancasila, dan Negara Indonesia.
Lewat keputusan ini Djamin Ginting berperan penting dalam menghentikan gerakan PRRI sebelum meluas, sehingga gerakan PRRI yang diidamkan oleh Maludin Simbolon dan tokoh-tokoh lainnya tidak dapat terwujud. Hal ini kemudian memudahkan pemerintah pusat di Jakarta untuk menjadikan Sumatera Utara sebagai pangkalan utama dalam upaya penghancuran gerakan PRRI secara menyeluruh.
Djamin Ginting dikenal sebagai tokoh yang peduli terhadap dunia pendidikan. Ia juga merupakan salah satu tokoh perintis berdirinya Universitas Sumatera Utara (USU) pada tahun 1958. Selain itu ia juga dikenal sebagai salah satu pemimpin yang aktif menulis. Jabatan yang dipegangnya sebelum meninggal adalah Duta Besar RI untuk Kanada (1972-1973). Pada 28 Oktober 1974, ia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto. Kemudian berkat jasa, pengorbanan, dan sumbangsihnya yang besar untuk Indonesia, pada 9 November 2014 Djamin Ginting dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo (Suprayitno et al., 2019).
Penulis: Ahmad Muhajir
Instansi: Universitas Islam Sumatera Utara
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A
Referensi
Arifin, Z. (2009). Langkat Dalam Sejarah dan Perjuangan Kemerdekaan. Medan: Penerbit Mitra.
Perangin-angin, R. (1996). Djamin Gintings Maha Putra Utama RI. Aek Kanopan-Labuhanbatu: TB. Monora Sima Karitama.
Reid, A. (1987). Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Sinar Harapan.
Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Senduk, H. U. (2014). Perempuan Tegar dari Sibolangit: Biografi Likas Tarigan Djamin Gintings. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suprayitno, Ratna, Murni, S. P. D., Sinuhaji, W., Sumarno, E., Ginting, J. S., and Handoko. (2019). Jamin Gintings Setia Selamanya. Yogyakarta: Ombak.
Tarigan, L. (2009). Titi Bambu: Saksi Bisu Tumpahnya Darah Pejuang. Jakarta: Elpress.