Djatikoesoemo
Gusti Pangeran Harjo Djatikoesoemo merupakan Kepala Staf TNI Angkatan Darat pertama yang menjabat tahun 1948-1949. Dilahirkan di Surakarta pada tanggal 1 Juli 1917, Djatikoesoemo merupakan putra dari Susuhunan Paku Buwono X. Masa kecilnya dihabiskan di tempat kelahirannya. Ia menyelesaikan pendidikan di ELS (Europese Lagere School) di Surakarta. Setelah tamat dari ELS, ia kemudian melanjutkan pendidikan ke HBS (Hogere Burger School) di Bandung. Tamat dari HBS di Bandung, Djatikusumo memilih untuk melanjutkan studinya pada sekolah tinggi teknik di Delft, Belanda, meskipun ayahnya mengharapkan ia masuk akademi militer di Breda. Sekembalinya dari studi di Belanda, pada tahun 1939 ia kembali ke Indonesia. Djatikoesoemo melanjutkan studinya di Technische Burgere School dan di tahun yang sama, ia mengikuti pendidikan militer Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) (Ed, 2008: 70).
Sebagai perwira lulusan CORO, Djatikoesoemo turut bertempur melawan Jepang di Ciater, Bandung. Pada masa pendudukan Jepang, Djatikusumo mengikuti pendidikan tentara PETA (Pembela Tanah Air) di Bogor. Setelah lulus pendidikan ketentaraan PETA, ia kemudian ditugaskan di Daidan (Batalyon) PETA Solo. Setelah Indonesia merdeka, ia melanjutkan karir militernya sebagai komandan batalyon, dan berlanjut sebagai Panglima Divisi IV di Salatiga. Pada bulan Juni 1946, Djatikoesoemo diangkat sebagai Panglima Divisi V/Ronggolawe di Mantingan, dan kemudian pindah tugas ke Cepu. Ketika bertugas di Salatiga, Djatikoesoemo menggagas berdirinya Sekolah Opsir Cadangan disana. Kontribusi ini membuatnya diangkat sebagai Direktur Akademi Militer di Yogyakarta pada tahun 1948. Pada tahun yang sama, ia dipercaya untuk memegang jabatan Kepala Staf Angkatan Darat. Djatikoesoemo memimpin para taruna Akademi Militer dan bergerilya di sekitar Yogyakarta selama Agresi Militer Belanda II berlangsung (Sudarmanto, 2007: 371).
Djatikoesoemo juga berperan dalam mengatasi upaya penyelewengan dari cita-cita Proklamasi 1945 yang dilakukan para pemberontak yang menamakan dirinya Komando T.T. I operasi Sabang-Merauke di bawah pimpinan bekas Mayor W.F. (Boyke) Nainggolan, di Medan pada tahun 1958. Pemberontakan tersebut dilakukan untuk mencegah pemerintah pusat melaksanakan niatnya menumpas pemberontakan di Padang, dengan jalan menduduki Polonia yang merupakan tempat gerakan operasi terhadap PRRI digunakan. W.F. Nainggolan menyerang Pangkalan Angkatan Udara Polonia menjelang pagi tanggal 16 Maret 1958. Dalam rangka menemani KSAD yang menjabat saat itu melakukan kunjungan ke Medan, G.P.H. Djatikoesoemo memimpin pasukannya dalam upaya mempertahankan Pangkalan Angkatan Udara Polonia dari serangan para pemberontak. Hingga pada akhirnya pasukan para pemberontak tersebut menyerahkan diri kepada pasukan-pasukan GPH Djatikoesoemo (Madjalah Angkatan Darat, 1958: 32-40).
Tidak hanya terbatas dalam bidang militer, Djatikoesoemo beberapa kali dipercaya untuk menduduki jabatan penting di kabinet pemerintahan. Djatikoesoemo merupakan pemrakarsa pementasan sendratari Ramayana yang digelar untuk pertama kali pada tahun 1961. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui SK Presiden No. 073/TK/Tahun 2002, tanggal 6 November 2002 (Ed, 2008: 70). G.P.H. Djatikoesoemo meninggal di Jakarta pada tanggal 4 Juli 1992 dalam usia 75 tahun.
Penulis: Azrohal Hasan
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Ed. 2008. Pahlawan Indonesia. Jakarta: Media Pursindo.
Sudarmanto, J.B. 2007. Jejak-jejak Pahlawan Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
1958. Madjalah Angkatan Darat