Emansipasi
Emansipasi merupakan istilah yang dipakai dalam rangka pembebasan perempuan dari keterbelakangan, memperjuangkan persamaan hak atas bidang sosial, budaya, maupun politik. Secara umum diketahui bahwa gerakan emansipasi wanita di Indonesai diawali oleh adanya gagasan yang dilontarkan R.A. Kartini. Emansipasi wanita dalam pemikiran Kartini adalah adanya kebebasan dan kemandirian bagi kaum perempuan. Bebas dan mandiri dalam bidang pendidikan dan kehidupan berumah tangga. Kartini ingin perempuan mendapatkan pendidikan di bangku sekolah serta menolak pernikahan poligami (Mustikawati, 2015).
Kartini juga menginginkan perempuan agar memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki sebagai makhluk ciptaan Tuhan dengan tetap menjaga kodratnya sebagai perempuan. Kartini menginginkan posisi perempuan tidak hanya sebatas kanca wingking, yang hanya mengurusi urusan rumah tangga semata, tetapi juga yang memiliki kekuatan untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Poligami dipandang sebagai bentuk ketidaksetaraan gender di mana perempuan sangatlah dirugikan dan kedudukan perempuan hanya sebatas objek bagi suami (Sutrisno, 1985).
Seiring dengan perjalanan waktu, emansipasi kemudian dipahami sebagai pembebasan dari suatu penguasaan. Emansipasi merupakan salah satu gerakan feminisme dengan menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan, suatu gerakan yang terorganisir untuk mencapai hak asasi perempuan yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik dibidang politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial (Wulandari 2017).
Gagasan Kartini tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah kolonial yang memberi kesempatan, walaupun dalam jumlah yang masih terbatas dan dengan berbagai pembatasan, kepada anak-anak perempuan Indonesia untuk memasuki berbagai lembaga pendidikan yang dikelolanya. Pemerintah kolonial kemudian juga mencoba melahirkan sebuah produk hukum yang membatasi kesempatan bagi lelaki untuk melakukan poligami, yakni dengan memperkenalkan apa yang dinamakan ‘Nikah Bersurat’.
Seiring dengan lontaran ide dan aktivitas Kartini, juga tampil sejumlah perempuan Indonesia yang memiliki ide yang juga menggerakan emansipasi wanita. Bahkan, sebagian dari mereka bergerak lebih jauh dari apa yang dilakukan oleh Kartini. Roehana Koeddoes dari Sumatra Barat mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak perempuan, memberikan pendidikan keahlian, seperti menjahit, membordir dan pendidikan untuk memasuki rumah tangga, serta mendirikan surat kabar khusus bagi perempuan. Dewi Sartika di Jawa Barat juga mendirikan sekolah khusus untu anak-anak perempuan. Maria Walanda Maramis yang didukung oleh sejumlah perempuan lainnya di Sulawesi Utara mendirikan Pencintaan Ibu Kepada Anak dan Temurunnya (PIKAT), sebuah lembaga yang ditujukan untuk mendidik anak-anak perempuan agar terampil dan siap menjadi ibu bila sudah berumah tangga. Lembaga yang didirikan Maria Maramis ini mendapat sambutan dan diadopsi pula di berbagai daerah lain Sulawesi dan Pulau Jawa. Ada banyak perempuan lain yang sebetulnya memiliki gagasan yang sama dengan Kartini, yang sama-sama ingin membebaskan kaum perempuan dari kebodohan dan ketidakadilan sosial. Sehubungan dengan itu, sejak parohan pertama ke-20 sejumlah perempuan Indonesia telah tampil ke panggung sejarah. Mereka tidak saja menjadi perempuan terpelajar karena mengikuti pendidikan berbagai lembaga pendidikan Barat atau pendidikan Islam modern, tetapi juga telah terlibat dalam berbagai kegiatan sosial dan politik. Termasuk perjuangan untuk mendapatak kemerdekaan RI (Wulandari, 2017).
Gagasan emansipasi ini juga selaras dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia, yang dua diantaranya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Sejak kemerdekaan, terbuka peluang yang besar bagi kaum permpuan Indonesia untuk mendapat pendidikan dan pekerjaan, serta mengabdikan potensi dirinya bagi kemaslahatan masyarakat serta kemajuan bangsa. Walaupun demikian, sebagai sebuah gerakan, emansipasi mesih tetap berlanjut dan berproses, karena masih banyak kaum perempuan Indonesia yang belum merasakan sepenuhnya makna emansipasi tersebut.
Penulis : Wiwiek Anatasia Swastiwi
Referensi
Mustikawati, Citra, 2015. “Pemahaman Emansipasi Wanita (Studi Hermeneutika Makna Emansipasi Wanita Dalam Pemikiran R. A. Kartini Pada Buku Habis Gelap Terbitlah Terang)”, dalam Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 1, Juni, hlm 65–70
Sutrisno, Sulastin. 1985. Surat-Surat Kartini Renungan tentang dan untuk
Bangsanya. Jakarta: Djambatan.
Tri Riya Anggraini, 2021, “Gagasan Emansipasi Wanita melalui Konsep Tokoh Kartini” dalam Disastra, Jurnal Pendidkian, Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume 3, Nomor 1, Januari, ISSN 2655-3031 (P), 2655-7851 (O)
Wulandari, Triana, 2017. Perempuan dalam Gerakan Kebangsaan. Jakarta: Kementrian Pendidkan dan Kebudayaan.