Fatayat
Sesuai namanya yang berasal dari bahasa Arab, Fatayat dalam struktur Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah organisasi untuk menghimpun para wanita muda yang usianya maksimal 40 tahun (PBNU, 2016). Lahir di Surabaya pada 24 April 1950 bertepatan dengan 7 Rajab 1369 Hijriah, Fatayat merupakan organisasi kaum hawa kedua NU setelah Muslimat yang terbentuk pada 1946. Berdasarkan sejarahnya, perintisan Fatayat sebetulnya sudah muncul sejak tahun 1940 ketika Muktamar NU ke-15 di Surabaya (Ridwan, 2020). Saat itu, jam’iyyah menyadari bahwa perempuan NU belum terorganisasi secara sistematis baik di kalangan muda maupun ibu-ibu. Padahal, mereka memiliki peran aktif dalam setiap acara yang diselenggarakan NU dalam skala lokal dan nasional. Selain membantu mensukseskan acara Muktamar, para ibu-ibu dan putri NU itu juga terlibat langsung dalam berbagai kegiatan kewanitaan (Fatayat, 1984).
Kondisi seperti ini terus berlangsung hingga pada tahun 1946. Secara bertahap, NU membuat organisasi otonom untuk kalangan ibu-ibu dan para nyai pengasuh pesantren dengan nama Nahdlatul Oelama Muslimat (NOM) atau Muslimat. Sementara kalangan pemudi belum tersentuh, meski dalam struktur organisasi Muslimat terdapat juga pengurus yang relatif muda. Hal ini berbanding terbalik dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) lain yang sudah memiliki organisasi sayap bagi kalangan pemudi. Keadaan ini kemudian menjadi salah satu alasan dalam proses pendirian Fatayat (Afifah, 2005).
Murthasiyah dari Surabaya, Khuzaemah Mansur dari Gresik dan Aminah Mansur dari Sidoarjo adalan Tiga Serangkai yang menjadi tokoh kunci dalam pembentukan Fatayat (Huriani, 2021). Mereka gencar melakukan sowan ke kiai dan nyai-nyai Muslimat serta mengkonsolidasi anggota dari satu daerah ke daerah lain terutama Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan Pasuruan. Empat daerah di Jawa Timur ini malah sudah menjadi cabang Fatayat meski secara legal Fatayat belum berdiri. Cabang-cabang tersebut bukan sekedar berdiri melainkan juga sudah mempunyai kegiatan masing-masing (Wilar, 2009).
Dalam praktiknya, Tiga Serangkai tidak lantas menjadi pimpinan tertinggi Fatayat. Ketua Umum justru diamanahkan kepada Nihayah Bakri, personalia tambahan rekomendasi Pengurus Besar NU (PBNU) bersama tiga putri lainnya yakni Asnawiyah, Sulichah Lukman dan Chusaini. Sementera posisi Tiga Serangkai berada di bawah komando Nihayah (Wilar, 2009). Dewan Pimpinan Pusat Fatayat awal ini terbentuk atas dorongan Ketua Umum PBNU saat itu, yakni KH. Mohammad Dahlan melalui Surat Keputusan PBNU Nomor 574/U/Feb tertanggal Rabiussani 1369 (14 Februari 1950) (Wilar, 2009). Fatayat kemudian resmi menjadi Badan Otonom pada Muktamar NU yang diselenggarakan di Palembang tahun 1952 (Fatayat P. P., 2016). Salah satu hasil Muktamar itu adalah terbentuknya Pucuk Pimpinan (PP) Fatayat periode pertama yakni Nihayah Bakri sebagai Ketua Umum (Fatayat, 1984).
Fatayat cukup aktif melakukan hubungan dengan organisasi serupa misalnya dengan masuk sebagai anggota Musyawarah Organisasi-Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) pada tahun 1967. Tujuan BMOIWI di antaranya meningkatkan kesadaran beragama dan bernegara, mengadakan ceramah-ceramah, diskusi tentang keagamaan, keperempuanan dan kemasyarakatan (Wulandari, 2017).
Sebagai organisasi, Fatayat memiliki pandangan dan cita-cita yang sangat progresif. Hal ini terlihat dari visi dan misi yang mereka usung. Berdasarkan hasil kongres ke-15, visi Fatayat adalah menjadi lembaga badan otonom Perempuan NU yang mampu menerjemahkan Islam sebagai rahmat bagi perempuan dan laki-laki dengan berpartisipasi aktif dalam mewujudkan tatanan kehidupan yang setara dan adil di keluarga, masyarakat, negara, dan dunia.
Sementara misi Fatayat terdiri dari lima poin. Pertama, menjadi lembaga yang mandiri, kuat, dan menguasai teknologi informasi dan komunikasi. Kedua, menjadi lembaga yang diperhitungkan di tingkat lokal, nasional, regional, dan global. Ketiga, menjadi lembaga rujukan bagi pengetahuan tentang Islam dan perempuan. Keempat, Mempunyai sistem pendampingan jemaah agar mampu memenuhi hak-haknya dengan baik. Kelima, menyiapkan kader pemimpin perempuan Muslim di tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional yang memiliki ideologi Aswaja kuat, keilmuan agama dan umum dengan baik, menguasai keterampilan advokasi, dan mempunyai kepedulian tinggi pada persoalan keumatan. Visi dan misi ini merupakan bagian dari rencana jangka panjang pengembangan Fatayat NU 25 Tahun kedepan, terhitung sejak 2015 sampai 2040 (Fatayat P. P., 2016).
Visi dan misi ini lalu diejawantahkan ke dalam beberapa program unggulan yakni penguatan kapasitas kelembagaan, penguatan kapasitas jamaah Fatayat NU, penguatan kader, penguatan kebijakan negara yang melindungi perempuan dan anak, Penguatan Fatayat NU sebagai sumber pengetahuan Islam, perempuan, dan anak serta pengembangan budaya Islam Nusantara. (Fatayat P. P., 2016).
Penulis: Tati Rohayati
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Afifah, N. D. (2005). Menapak Jejak Fatayat NU: Sejarah Gerakan, Pengalaman dan Pemikiran. Jakarta: PP Fatayat.
Fatayat, P. P. (2016). Hasil Kongres XV Fatayat Nahdlatul Ulama. Jakarta: Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama.
Fatayat, P. P. (1984). Sejarah Fatayat NU. Jakarta: PP Fatayat NU.
Huriani, Y. (2021). Agama dan Gender: Versi Ormas Islam Perempuan di Indonesia. Bandung: LeKKas.
PBNU. (2016). Hasil-Hasil Muktamar ke-33 NU. Jakarta: Lembaga Ta'lif wan Nasyr PBNU.
Ridwan, N. K. (2020). Ensiklopedia Khittah NU: Dinamika Jam'iyyah. Yogyakarta: Diva Press.
Wilar, A. S. (2009). NU Perempuan: Kehhidupan dan Pemikiran Kaum Perempuan NU. Rembang: Pyramida Media Utama.
Wulandari, T. (2017). Perempuan dalam Gerakan Kebangsaan. Bantul: Yayasan Pesan Trend Budaya Ilmu Giri.