Nahdlatul Ulama (NU)

From Ensiklopedia

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi massa (Ormas) Islam terbesar di Indonesia yang kerap disebut bercorak tradisionalis. NU didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya oleh beberapa ulama terkemuka saat itu, terutama KH Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang), KH Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), dan KH Bisri Sansuri (Denanyar, Jombang).

Sesuai namanya, berdirinya NU memang menandai kebangkitan para ulama dengan menguatnya jaringan tradisional pimpinan pesantren, termasuk di dalamnya jaringan guru-murid. Meski demikian, proses tersebut berlangsung di tengah menguatnya persaingan dengan kelompok reformis, khususnya Muhammadiyah (berdiri pada 1912), yang berakar pada perubahan politik-keagamaan di tanah suci menyusul berkuasanya rezim Ibnu Sa’ud yang beraliran Wahabi. Maka, selain mengkritik dominasi reformis pada Komite Khilafat, para ulama pesantren menyerukan pesan kepada Ibnu Sa’ud agar praktik keagamaan tradisional dipertahankan (Noer, 1973: 233). Hal ini disebabkan karena salah satu kebijakan yang diambil dinasti Sa’udi adalah melarang berbagai tradisi keagamaan, seperti tasawuf, tarekat, dan ziarah kubur, yang ketika itu berkembang di Mekah, termasuk menghancurkan Maulidah Sayyidah Fatimah dan menutup Dar Khaizuran (Haidar 1998:82).

Perubahan politik di Hijaz berpengaruh kuat dalam meningkatkan rivalitas antara kelompok reformis dan tradisionalis di Indonesia. Konflik semakin mengemuka ketika pemerintah Saudi mengundang perwakilan umat Islam Indonesia untuk menghadiri Kongres Khilafah, namun tidak ada perwakilan dari kelompok tradisionalis dalam delegasi Indonesia. Karena kekecewaan itu, KH Wahab Hasbullah, dengan restu dari KH Hasyim Asy’ari, mendirikan Komite Hijaz di Surabaya pada pertengahan Januari 1926. Komite inilah yang menjadi cikal bakal NU (Yatim 1999: 156; Burhanudin 2012:337).

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 ayat a dan b (Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926, HBNO, Soerabaja), NU bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan paham Ahlusunnah wa al-Jama’ah. Dalam teks asli tertulis ”Mengadakan perhoebungan di antara oelama-oelama jang bermadzhab” dan “memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab Ahli Bid’ah.” (Syakur 2013). Teks ini menegaskan bahwa dalam pandangan keagamaan, NU mengikuti paham ahlus sunnah wal jamaah yang dalam lingkungan Nahdliyyin sering disingkat menjadi Aswaja, dengan beberapa karakter, yaitu: al-tawassut (moderat), al-i’tidal (adil), dan al-tawazun (keseimbangan). Pilihan untuk mengambil paham ini menjadi pembeda Nu dengan organisasi Islam lainnya (Soon 2008:91).

Dengan didirikannya NU, kaum tradisionalis mempunyai organisasi sendiri yang dikelola secara modern, mempersatukan para ulama di sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Melalui NU, berbagai aspirasi dan kepentingan para ulama dibahas dengan cara yang terkoordinasi. Dalam upaya memperluas jaringan, NU membuka diri kepada masyarakat muslim di luar pulau Jawa. Tahun 1930, sebuah cabang NU didirikan di Kalimantan, membawa lembaga ulama setempat, Hidajatul Islamiyah, bergabung dengan NU pada tahun 1936. Dalam kongres Malang tahun 1937, NU telah memiliki 71 cabang, yang kemudian berkembang hingga 120 di tahun 1942 (Noer 1973: 231-2; Anam 1985: 93; Burhanudin, 2012:338).

Sejak berdiri, NU melancarkan berbagai program kegiatan yang menyasar di berbagai bidang kehidupan, mencakup ekonomi kerakyatan, keilmuan, sosial, budaya, dan kebangsaan. Bersama berbagai ormas Islam di Indonesia, pada tahun 1937 NU bergabung dalam MIAI (Majlis Islam A’laa Indonesia) yang kemudian, setelah Jepang datang di Indonesia, organisasi ini diubah menjadi Masjumi (Madjlis Sjuro Muslimin Indonesia). NU terus terlibat dalam Masjumi setelah kemerdekaan ketika lembaga ini berubah menjadi partai politik. Namun berbagai konflik yang terjadi antara pimpinan NU dan pimpinan Masjumi membuat NU memutuskan untuk memisahkan diri dari Masjumi dan membentuk partai sendiri pada tahun 1952. Pada Pemilu 1955, Partai NU menjadi salah satu dari empat partai yang memenangkan pemilu pertama yang diadakan di Indonesia, dengan 45 kursi di MPR. Tiga pilar penting keberhasilan Partai NU saat itu adalah ulama, pesantren, dan politisi (Irsyam 1984: 83-131; Burhani 2015: 230; Bush 2009; Fealy 2003:208-209).

Kiprah NU dalam politik praktis cukup diperhitungkan, khususnya setelah menjadi elemen penting Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun dengan berbagai pertimbangan, pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, NU memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926 dengan mengembalikan peran utama NU sebagai organisasi sosial keagamaan (Haidar 1998:195-226). Dengan posisi ini, NU bergerak dalam berbagai aktivitas sosial-keagamaan. Dalam kaitannya dengan persoalan hukum/fiqh, NU memiliki lembaga yang disebut dengan Lajnah Bahtsul Masail. Lembaga ini turut mengambil keputusan dalam pengkajian hukum Islam mencakup persoalan fiqih, tauhid, dan tasawuf yang disesuaikan dengan perkembangan zaman (Zahro 2004). NU juga menaruh perhatian pada pengembangan pendidikan Islam yang dipandang sebagai pilar utama perwujudan masyarakat mandiri. Melalui Lembaga Pendidikan Ma’arif NU yang berdiri pada tahun 1929, NU mengelola berbagai lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren, majelis taklim, diniyyah, madrasah/sekolah dan perguruan tinggi. Di tahun yang sama, NU juga membentuk Hoofd Bestuur Nahdlatul Oelama (HBNO) yang diarahkan sebagai lokomotif pembaharuan pendidikan Islam.

Sebagai sebuah organisasi, NU berkontribusi dalam pembangunan dan kemajuan bangsa. Selain memperk.uat intelegensia muslim, NU juga turut memperkuat demokratisasi, sistem birokrasi dan pemerintahan, serta kesejahteraan sosial-ekonomi umat.

Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Anam, Choirul (1985), Perkembangan dan Pertumbuhan Nadlatul Ulama (Sala: Jatayu)

Burhani, Najib (2015), “Ormas-ormas Islam di Indonesia: Sejarah dan Karakteristik” dalam Azyumardi Azra, Jajat Burhanuddin & Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia Jilid 3: Institusi dan Gerakan (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Kemendikbud).

Burhanuddin, Jajat (2012), Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah. Indonesia (Jakarta: Mizan Publika)

Bush, Robin (2009), Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power Within Islam and Politics in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies).

Fealy, Greg (2003), Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967. (Yogyakarta: LKIS)

Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia (Australia: Monash Asia Institute Monash University)

Fealy, Greg & Barton, Greg (Eds.). (1996), Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia (Australia: Monash Asia Institute Monash University)

Haidar, M. Ali (1998), Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik. Cet. II, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama).

Irsyam, Mahrus (1984), Ulama dan Politik: Upaya Mengatasi Krisis (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan).

Kang, Young Soon (2008), Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia).

Noer, Deliar (1973), The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942 (Singapore: Oxford University Press).

Syakur, Mahlail (2013), “Nahdlatul Ulama dan Kajian Hadis Nabawi” ADDIN, Vol. 7, No. 2.

Yatim, Badri (1999), Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci; Makkah dan Madinah 1800-1925 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu).

Zahro, Ahmad (2004), Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999, (Yogyakarta: LKiS)