Ganyang Malaysia

From Ensiklopedia

Ganyang Malaysia adalah sebuah ungkapan yang dilontarkan Presiden Sukarno dalam merespon peresmian pembentukan Fedarasi Malaysia 16 September 1963. Pernyataan Sukarno ini diiringi dengan aksi politik dan militer yang bertujuan untuk menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia.

Cikal-bakal munculnya pernyatan serta aksi politik dan militer ini berawal dari pernyataan Tengku Abdul Rahman tanggal 27 Mai 1961 tentang pembentukan Federasi Malaysia yang meliputi Malaya, Singapura, Serawak, Brunai, dan Sabah. Sukarno menolak pembentukan Federasi Malaysia, yang dikatakannya sebagai negara boneka Inggris, sebagai neo-kolonialisme yang membahayakan Indonesia. Setelah melakukan serangkaian upaya diplomasi, dan tidak membuahkan hasil, maka pada bulan Januari 1963 Sukarno kembali melontarkan pernyataan bahwa pembentukan Federasi Malaysia tidak dapat diterima Indonesia. Sebagai dukungan terhadap pernyataan Sukarno tersebut, Soebandrio tanggal 20 Januari 1963 secara resmi menyatakan kebijakan konfrontasi terhadap pembentukan Federasi Malaysia (Ricklefs 2009:536-38).

Ada beragam bentuk dan aspek konfrontasi yang dilakukan. Secara politis, tanggal 17 September Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Aksi politis ini diikuti dengan aksi ekonomi, yakni pemutusan hubungan perekonomian dengan Malaysia. Dalam dimensi militer, Indonesia kemudian menempatkan pasukan militer reguler secara terbatas di kawasan perbatasan serta mengirim sejumlah penyusup ke Malaysia. Kebijakan tersebut menggambarkan sikap yang cukup agresif dan konfrontatif, inilah karakter politik luar negeri Indonesia pada pemerintahan Sukarno (Kusmayadi, 2017).

Dari segi militer konfrontasi Indonesia-Malaysia secara umum disebut sebagai undeclared war, karena perang terjadi tanpa pernah didahului pernyataan perang. Inggris dan sekutunya (Malaysia, Australia, dan Selandia Baru) waktu itu memiliki sekitar 17.000 tentara di Kalimantan serta 10.000 tentara di Semenanjung Melayu. Pertempuran kecil-kecilan (skirmishes) antara tentara Indonesia dengan Inggris terutama terjadi di perbatasan Kalimantan. Ada juga penyusupan tentara Indonesia di Semenanjung Malaysia. Jumlah korban tewas lebih besar berada di pihak Indonesia (sekitar 590 orang) dibandingkan dengan 114 jiwa dari pihak Inggris, Australia, dan Selandia.

Di tengah maraknya aksi konfrontasi dari pihak Indonesia, sejumlah negara, di antaranya Amerika Serikat, Filipina, Thailand dan Jepang, berusaha mendamaikan kedua phak yang bersengketa. Upaya perdamaian dengan jalan diplomasi ini mengalami kegagalan. Perundingan yang dilakukan, dengan mempertemukan Sukarno, Tunku Abdul Rahman, dan Diosdado Macapagal di Tokyo bulan Juni 1964 juga tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Setelah pertemuan Tokyo tersebut tidak ada lagi upaya yang dilakukan. Pada saat itu, Indonesia menuding Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak berupaya mendamaikan sengketa tersebut. Tidak hanya gagal mengupayakan perdamaian, PBB bahkan menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap tanggal 7 Januri 1965. Sebagai ungkapan kekecewaannya terhadap Dewan Keamanan PBB, Indonesia kemudian mengundurkan diri dari PBB. Situasi demikian kemudian mengubah kebijakan politik luar negeri RI (Maksum 2017).

Menjelang akhir tahun 1965, setelah berlangsungnya G30S, Jenderal Soeharto mulai memiliki kewenangan di bidang keamanan dan ketertiban. Soeharto memilih fokus pada pemulihan keamanan dan ketertiban di dalam negeri seusai G30S. Pemokusan perhatian pada masalah dalam negeri menyebabkan berkurangnya keinginan untuk meneruskan perlawanan terhadap Malaysia. Tidak hanya berkurang, minat untuk berkonfrontasi juga mereda ke titik yang rendah. Situasi ini memberi peluang bagi upaya perdamaian antara kedua belah pihak. Karena itu, berdasarkan Konferensi Bangkok tanggal 28 Mei 1966 disepakati penyelesaian konflik antara Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia. Pada tanggal 11 Agustus 1966  perjanjian perdamaian antara Indonesia dan Malaysia berlaku, dan sejak itu berakhir pulalah era Ganyang Malaysia (Irshanto. 2019).

Pidato Presiden Sukarno mengenai "Ganyang Malaysia". Sumber : Dokumentasi ANRI


Penulis : Wiwik Anatasia


Referensi

Irshanto, Andre Bagus, 2019, “Dari Konfrontasi Ke Perdamaian (Hubungan Indonesia–Malaysia 1963-1966)” dalam Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 8, No. 2, 2019.

Efantino F, Arifin Sn. 2009. Ganyang Malaysia. Yogyakarta: Bio Pustaka

Kusmayadi, Yadi. 2017. “Politik Luar Negeri Republik Indonesia Pada Masa Konfrontasi Indonesia-Malaysia Tahun 1963-1966” dalam Jurnal Artefak: History and Education. 4 (1).

Maksum, Ali. 2017. Menyingkap Tabir Hubungan IndonesiaMalaysia: Menguak

Fakta Dibalik Berbagai Sengketa Dua Negara. Yogyakarta: The Phinisi Press.

Ricklef, M.C., 2007, Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.