Soebandrio

From Ensiklopedia
Soebandrio. Sumber: ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P04-0184


Dr. Soebandrio adalah seorang tokoh politik Indonesia yang berpengaruh luas pada masa pemerintahan Sukarno. Beliau lahir di Kepanjen, daerah di selatan Malang di Jawa Timur pada 15 September 1914, dari pasangan Kusnadi, Wedana Kepanjen, dengan Sapirah, seorang ibu rumah tangga biasa. Dibesarkan dalam keluarga penganut Islam yang taat dan terpandang di masyarakatnya, Soebandrio dapat menempuh pendidikan yang layak sejak usia kecil. Masa kanak-kanak dia habiskan di Kepanjen dan memulai sekolah di SR (Sekolah Rakyat). Setelah itu ia masuk MULO di Malang, dan lanjut ke AMS pada 1928. Seusai itu, ia melanjutkan pendidikannya ke Batavia di Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran). Pada masa inilah, ia mulai mengenal aktivis pergerakan seperti Sukarno. Ia lulus dan jadi dokter pada 1936 dengan mengantongi gelar dokter ahli bedah (bedah perut) pada 1938 (Soebandrio, 2001: 57).

Begitu lulus, Soebandrio langsung ditarik oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menjadi dokter di Semarang. Hanya beberapa bulan kemudian, ia dipindahkan ke Batavia. Sembari sebagai dokter, ia kemudian memutuskan untuk bergabung dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Hanya dalam beberapa bulan, tepatnya pada 1940, Soebandrio sudah menjadi Wakil Ketua PSI. Keaktifannya dalam bidang Politik membuatnya semakin menjauh dari bidang kesehatan, hingga akhirnya ia mundur dari rumah sakit sebagai dokter. Ia lebih tertarik berorganisasi dalam partai (Soebandrio, 2006; 2001: 58).

Pada 1946, di masa Perdana Menteri Sutan Sjahrir, ia ditunjuk oleh Presiden Sukarno menjadi Wakil Pemerintah Indonesia di Inggris dengan berkedudukan di London. Baru pada 1950, ia disebut sebagai Duta Besar RI untuk Inggris/Britania Raya (1950-1954) di London dan kemudian dikenal memiliki kedekatan dengan Ratu Elizabeth II. Pada 1954, Presiden Sukarno menarik Soebandrio dari London dan memindahkannya ke Moskow sebagai Duta Besar RI untuk Uni Soviet. Setelah sekitar dua tahun di sana, pada 1956, ia kembali ke Jakarta dan ditunjuk menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri, menggantikan Roeslan Abdoelgani. Roeslan sendiri menjadi Menteri Luar Negeri menggantikan Ali Sastroamidjojo yang kemudian menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat di Washington. Soebandrio bahkan direncanakan oleh Presiden Sukarno pada 1957 untuk menjadi Perdana Menteri, namun, ia tolak. Selanjutnya, Soebandrio menjadi Menteri Luar Negeri menggantikan Roeslan Abdoelgani (Soebandrio, 2001: 58-59).

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Perdana Menteri Djuanda mengembalikan mandat kepada Presiden Sukarno dan Kabinet Karya pun dibubarkan pada 10 Juli 1959. Presiden Sukarno kemudian membentuk kabinet baru yang dinamakan “Kabinet Kerja I” (10 Juli 1959–18 Februari 1960) yang dipimpin langsung oleh Sukarno sebagai Perdana Menteri, sedangkan Djuanda bertindak sebagai Wakil Perdana Menteri dan Subandrio bertindak sebagai Menteri Luar Negeri. Untuk mengurangi pengaruh kepentingan partai politik, maka tidak satupun menteri dalam kabinet yang berasal dari ketua umum partai politik. Program Kabinet Kerja I fokus terutama pada penyelenggaraan keamanan di dalam negeri, pembebasan Irian Barat, serta melengkapi sandang dan pangan rakyat (Soebandrio, 2001: 59; 2006).

Selain jabatan menteri, Soebandrio juga diberi tugas oleh Presiden Sukarno sebagai Ketua Badan Pusat Intelijen (BPI), institusi intelijen baru yang dibentuk pada November 1959. BPI turut berperan dalam usaha-usaha penumpasan Pemberontakan PRRI/Permesta. Soebandrio tetap menjadi Menteri Luar Negeri pada Kabinet Kerja II (18 Februari 1960–6 Maret 1962), kemudian pada Kabinet Kerja III (6 Maret 1962-13 November 1963), Soebandrio dipercayakan menjadi Wakil Perdana Menteri/Waperdam-I. Di tengah-tengah kesibukannya tersebut, Soebandrio masih sempat melaksanakan ibadah haji ke Makkah (tirto.id).

Namun, karir cemerlang politik Soebandrio harus terhenti sejak meletusnya Peristiwa G30S 1965. Beliau dituduh sebagai bagian dari PKI (Partai Komunis Indonesia). Sebenarnya pada saat G30S meletus, beliau sedang bertugas di Medan dalam rangka memantapkan program-program pemerintah. Begitu diberitahu oleh Presiden Sukarno, ia langsung pulang dan tiba di Istana Bogor bergabung dengan Presiden Sukarno pada 3 Oktober 1965. Setelah itu, kondisi negara tidak menentu, di mana Presiden Sukarno sudah menjadi tawanan Soeharto di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965  (Soebandrio, 2001: 61-62).

Tuduhan sebagai bagian PKI diperkuat dengan penugasan yang pernah beliau jalani di Moskow (Uni Soviet) dan Beijing (RRC), bahkan pernah diberi tawaran bantuan senjata gratis oleh pimpinan RRC saat itu. Sementara itu, Moskow dan Beijing adalah poros utama Komunis. Dari rangkaian tugas-tugas kenegaraan tersebutlah, beliau lantas dicap pro-PKI. Sehari setelah Supersemar terbit, PKI dilikuidasi. Sukarno kemudian didesak untuk memecat sejumlah menterinya yang terindikasi kiri. Pada akhirnya, Soeharto bertindak dengan menangkap 15 menteri loyalis Sukarno pada 18 Maret 1966. Soebandrio adalah salah satu dari menteri-menteri yang diciduk. Soeharto juga menambahi julukan baru bagi beliau yakni “Durno”. Sebagai orang Jawa, tentu beliau sangat sakit hati diberi julukan itu. Sebab, Durno adalah tokoh culas dalam pewayangan Mahabharata yang suka mengadu-domba (Soebandrio, 2001: 63).

Pasca-penangkapan itu, beliau lalu ditahan dan diadili di Mahkamah Militer Tinggi dengan tuduhan subversi dan dijatuhi hukuman mati. Soebandrio menjalani hukuman awal di Penjara Cimahi Bandung. Di sana, berkumpul orang-orang yang senasib dengan beliau, di antaranya adalah Letkol Untung, komandan G30S. Namun, vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepada Soebandrio diubah menjadi hukuman seumur hidup. Hal tersebut terjadi setelah Presiden Amerika Serikat, Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris, Ratu Elizabeth II, di luar sepengetahuan beliau, telah mengirimkan surat kawat kepada Soeharto yang intinya berbunyi “Soebandrio jangan ditembak” (Soebandrio, 2001: 65).

Pada 16 Agustus 1995, Soebandrio dibebaskan dan kemudian menempati rumah di Jalan Imam Bonjol 16, Jakarta Pusat, yang dahulu ia tinggalkan ketika ditahan. Namun, ia dan keluarga kecilnya tersebut pindah ke sebuah rumah yang lebih kecil di Jakarta Selatan, setelah menjual rumah besar mereka sebelumnya, yang biaya pemeliharaannya sangat besar. Beliau akhirnya wafat pada 3 Juli 2004, pada usia ke-90 tahun (Soebandrio, 2001:66).

Oleh: Ilham Daeng Makkelo


Referensi:

Soebandrio. 2001. Kesaksianku tentang G30S. Jakarta: Forum Pendukung Reformasi Total.

Soebandrio. 2006. Yang Saya Alami - Peristiwa G30S: Sebelum, Saat Meletus, dan Sesudahnya. Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera

Firdausi, Fardik Aziz, Subandrio: Tangan Kanan Sukarno, Dicerca sebagai Durna dalam G30S (tirto.id). diakses pada, 4 November 2021 pukul 21.00 WITA.