Gedung Kesenian Jakarta (Batavia)
Gedung Kesenian Jakarta adalah bangunan gedung pertunjukan yang dirancang dengan gaya arsitektur campuran antara Ionic dan Corinthian, yang mendapatkan pengaruh dari aliran neoklasik (Empire style/Dutch Colonial Villa) (Handinoto 1996). Gedung ini terletak di Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat, tepatnya di jalan yang diberi nama sama dengan gedung, yaitu Jalan Gedung Kesenian 1. Gedung ini terdiri dari dua lantai, dengan lantai dua bangunan berupa balkon yang menghadap ke panggung. Gagasan mengenai pembangunan gedung kesenian pertama di Jakarta sesungguhnya muncul sejak masa pemerintah kolonial, ketika Jakarta masih bernama Batavia. Kegiatan di bidang kesenian merupakan bentuk kegiatan masyarakat yang tidak begitu banyak diperhatikan pemerintah kolonial, terlebih kesenian tradisional masyarakat pribumi (Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya 1999).
Gedung pertunjukan pertama dibangun pada masa kolonial Inggris pada 27 Oktober 1814, yaitu sebuah bangunan bernama Municipal Theatre yang digunakan tentara Inggris yang menggemari seni pertunjukan teater (Dinas Museum dan Pemugaran 1999). Bangunan ini merupakan bangunan semipermanen, dan baru dijadikan sebagai gedung permanen pada masa kolonial Belanda pada 6 Juli 1820, dengan lokasi di kawasan Spinhuisgracht (sekarang Jalan Tiang Bendera Timur dan Barat) yang dianggap kurang sehat bagi aktivitas penduduk. Maka, sebuah gedung pertunjukan baru dibangun untuk menggantikannya.
Gedung pertunjukan yang baru tersebut diberi nama Schouwburg dan diresmikan pada 7 Desember 1821. Pemugaran terhadapnya dilaksanakan pada 1856 oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, dengan dana bantuan dari Burgerlijke Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum). Pemugaran dilakukan untuk menambah luas bangunan, dari 756 m2 menjadi 2.481 m², sementara luas tanahnya berubah menjadi 5.100 m². Pada masa ini, perlengkapan gedung dan akustik (peredam suara) turut disempurnakan (Dinas Museum dan Pemugaran 1999).
Pada masa awal pendudukan Jepang, seperti kebanyakan gedung-gedung lainnya di Batavia, gedung pertunjukan dialihfungsikan menjadi markas tentara. Sejumlah kerusakan pada bangunan ditemukan, termasuk hilangnya beberapa barang ornamental seperti lampu kristal dan patung Dewa Kesenian yang diletakkan di serambi depan. Barulah setelah Jepang mendirikan Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka), Schouwburg dikembalikan fungsinya sebagai gedung pertunjukan pada tahun 1943, yang kemudian menjadi bernama Siritsu Gekizyo (Dinas Museum dan Pemugaran, 1999). Siritsu Gekizyo adalah tempat berkumpulnya para seniman muda yang tergabung dalam kelompok Seniman Merdeka sebelum menjalankan tugasnya untuk menghibur para pejuang.
Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini sempat digunakan sebagai tempat pelantikan dan sidang pertama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 29 Agustus 1945. Selanjutnya, di era 1950-an, bangunan ini digunakan sebagai kampus Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, serta tempat latihan pentas Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Pada dekade 1960 dan 1970-an, gedung berubah menjadi bangunan komersial dengan peresmian Bioskop Dana, pembentukan Yayasan Gedung Kesenian, dan yang terakhir adalah peresmian Bioskop City Theatre dengan bagian belakang bangunan dijadikan sebagai arena biliar.
Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 24 tahun 1984 menetapkan bahwa gedung hiburan komersil tersebut akan dipugar dan dikembalikan fungsinya sebagai tempat pementasan kesenian. Pemugaran berlangsung selama tiga tahun, dengan perbaikan meliputi rekonstruksi dinding bangunan, penggantian konstruksi atap, perbaikan sistem akustik, serta penggantian ornamen-ornamen yang mengalami kerusakan berat. Setelah selesai dipugar, gedung ini diresmikan pada tanggal 5 September 1987 dengan nama Gedung Kesenian Jakarta (Dinas Museum dan Pemugaran, 1999; Perjalanan Mencari 1997). Peresmian gedung menampilkan orkes simfoni pimpinan Idris Sardi, serta pementasan teater “Sumur Tanpa Dasar” karya Arifin C. Noer. Beberapa peraturan disipliner pun diterapkan bagi para penonton atau pengunjung, seperti peraturan memakai sepatu dan tidak boleh terlambat (Rachmayanti 2010).
Penulis: Linda Sunarti
Instansi: Institut Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Dinas Museum dan Pemugaran (1999). Himpunan Peraturan Permuseuman Pemerintah DKI Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta.
Handinoto (1996). Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940. Yogyakarta: Kerja Sama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya dan Penerbit Andi.
Perjalanan Mencari: 10 Tahun Gedung Kesenian Jakarta (Tracing the Path of Discovery: 10th Anniversary of of GKJ), 1987 – 1997. Jakarta: Yayasan Abipraya Komunika.
Rachmayanti, Sri (2010). “Perjalanan Sejarah Gedung Kesenian Jakarta”, Humaniora 1(2): 501-511.
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya (1999). “Gedung Kesenian Jakarta”, No. RegNas CB: CB.486, SK Penetapan Nomor 237/M/1999 tanggal 4 Oktober 1999. http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/cagarbudaya/detail/PO2015090300030/gedung-kesenian-jakarta.