Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

From Ensiklopedia

Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) adalah suatu badan pembantu presiden yang dibentuk dalam sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 dan keanggotaannya dilantik secara resmi pada tanggal 29 Agustus 1945 (Notosusanto 1975: 29; Abdullah & Lapian 2012: 131). KNIP juga diakui sebagai cikal bakal parlemen atau badan legislatif di Indonesia, sehingga hari pelantikan KNIP  tanggal 29 Agustus 1945 dijadikan sebagai hari lahir Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) (dpr.go.id, 2016).

Pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI memutuskan untuk membentuk KNIP sebagai upaya “menjawab” keraguan sebagian kalangan terutama pihak sekutu yang akan masuk Indonesia dan kaum muda akan keberadaan PPKI sebagai badan bentukan Jepang. Dengan dibentuknya KNIP, maka PPKI dibubarkan dan tugasnya diambil alih oleh KNIP sebagai parlemen sementara (Anderson 1988: 112-113). Keanggotaan KNIP berjumlah 135 orang yang terdiri dari 25 orang bekas anggota PPKI ditambah 110 orang yang ditunjuk oleh Presiden ( Drooglever 1997: 209). Keanggotaan KNIP terdiri dari para politisi nasionalis, pangreh praja, dan orang-orang profesional yang mayoritas berasal dari suku Jawa-abangan (setidaknya paling sedikit 85 orang) dan mengakomodasi pula politisi anti Jepang yaitu Syahrir dan Amir Syarifuddin sebagai anggota (Anderson 1988: 113). Pelantikan KNIP dilaksanakan pada tanggal 29 Agustus 1945 di Gedung Kesenian Pasar Baru Jakarta yang menandai mulai bertugasnya lembaga ini. Susunan pengurus KNIP adalah sebagai berikut: Mr Kasman Singodimedjo sebagai ketua, Sutarjo Kartohadikusumo sebagai Wakil Ketua I, Mr Johanne Latuharhary sebagai Wakil Ketua II, dan Adam Malik sebagai Wakil Ketua III (Abdullah & Lapian 2012: 131).

Pada awal pendiriannya, KNIP memiliki dualisme tugas dengan fungsi yang berbeda dan kontradiktif. Berdasarkan aturan peralihan pada pasal IV UUD 1945, KNIP merupakan pembantu presiden. Sementara itu, dalam proses pembentukannya pada tanggal 22 Agustus 1945, KNIP diproyeksikan sebagai lembaga yang menggantikan PPKI, sehingga mempunyai fungsi sebagai parlemen atau lembaga lesgislatif (Sugiharto 2013: 79). Pada sidang pertama tanggal 29 Agustus 1945, KNIP menyatakan sebagai badan penasehat presidan dan mengabaikan fungsinya sebagai pembantu presiden (Drooglever 1997: 210). Presiden pun tidak menginginkan KNIP sebagai badan pembantu presiden saat Presiden mengumumkan pembentukan kabinet pertama pada tanggal 4 September 1945 (Nasution 1995: 15). Dengan dibentuknya kabinet yang kemudian disebut dengan kabinet Bucho ini, tugas-tugas presiden dibantu oleh para menteri (Sugiharto 2013: 82). Hal ini juga sesuai dengan Bab V pasal 17 ayat 1 UUD 1945 bahwa presiden dibantu oleh menteri-menteri negara (Hikam 1999: xxvi).

Pada sidang pleno KNIP di Malang tanggal 16-17 Oktober 1945, peranan Syahrir sangat menonjol dan mendorong terjadinya perubahan dalam tubuh KNIP menjadi lembaga yang lebih demokratis (Drooglever 1997: 210). Pada saat yang bersamaan muncul maklumat Wakil Presiden no. X tanggal 16 Oktober 1945 yang menyatakan bahwa Komite Nasional Pusat sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis besar dari haluan negara (Hatta 1982: 462). Dengan dikeluarkan Maklumat tersebut, maka dalam sidang pleno KNIP di Malang  diputuskan dengan suara bulat bahwa fungsi KNIP menjadi lembaga legislatif dan tidak berfungsi lagi sebagai pembantu presiden untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan tindakan pemerintah (uitvoering) (Abdullah & Lapian 2012: 152-153).

Sebagai lembaga legislatif, KNIP bertugas mengesahkan Undang-Undang bersama dengan presiden. Dengan fungsi KNIP semacam ini mengharuskannya untuk sering mengadakan sidang, padahal keanggotaan KNIP tersebar di beberapa daerah. Kesulitan ini diatasi dengan Ketetapan Presiden yang memutuskan bahwa KNIP dapat mendelegasikan kekuasaannya kepada suatu badan perwakilan kecil yang mempunyai kedudukan permanen, yaitu Badan Pekerja.  Badan pembantu ini terdiri dari anggota-anggota KNIP yang sewaktu-waktu akan dipanggil bersidang dan tetap bertanggung jawab kepada KNIP. BP-KNIP diminta bersidang paling tidak 10 hari sekali dan KNIP setahun sekali. Keanggotaan BP-KNIP terdiri dari 15 orang, yaitu Sutan Syahrir (ketua), Amir Syarifuddin (wakil ketua), Suwandi, Sjafruddin Prawiranegara, Wahid Hasyim, R. Hendromartono, RM Sunario Kolopaking, A. Halim, Subadio Sastrosatomo, Tam Ling Djie, Supeno, S. Mangunsarkoro, Adam Malik, Tajaludin, dan Soedarsono  (Abdullah & Lapian 2012: 153).

Penulis: Julianto Ibrahim
Instansi: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Abdullah, Taufik dan Lapian, A.B. (2012). Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

Anderson, Ben. (1988). Revoelosi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan perlawanan di Jawa, 1944-1945. JakartaPustaka Sinar Harapan.

Drooglever, P.J. (1997). “Komite Nasional Indonesia Pusat dan Politik dalam Negeri di Republik Indonesia” dalam Abdullah, Taufik, ketua, Denyut Nadi Revolusi Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Hatta, Mohammad, (1982). Memoir. Jakarta: Tintamas

Hikam, AS., dkk. (1999). Wacana Politik Humum dan Demokrasi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Notosusanto, Nugroho, ed. (1975). Sejarah nasional Indonesia VI: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

“Sejarah terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. 2016. https://www.dpr.go.id/tentang/sejarah-dpr, diunduh 23 Juni 2022.

Sugiharto, Unggul. (2013). “Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Sebuah Anomali Suprastruktur Negara Pada Tahun 1945”. Politika: Jurnal Ilmu Politik. Vol. 1 No. 2