Goeroe Ordonantie (Ordonanasi Guru)
Ordonansi Guru adalah ketentuan pemerintah kolonial Belanda untuk pengawasan proses pengajaran agama Islam, sebagaimana dituangkan dalam Staatsblad 1905 No. 550 kemudian diubah pada Staatsblad 1917 No. 497, yang dinyatakan berlaku untuk Jawa Madura, kecuali Yogya dan Solo. Lembaga Pendidikan Islam semisal pesantren dan sekolah Islam jelas menjadi sasaran kebijakan tersebut. Memang, sikap non-kooperatif, bahkan konfrontatif, kaum santri menjadi alasan utama pemerintah kolonial Belanda memberlakukan kebijakan tersebut.
K.F. Holle selaku penasihat pemerintah pada tahun 1890 menyarankan agar pendidikan agama Islam diawasi, tepatnya para haji dan guru agama. Demi penyeragaman dan pengawasan, Holle menyarankan agar bupati melaporkan daftar guru di daerahnya setiap tahun (E Gobee, C Adriaanse, 1992: 1157). Tahun 1904 Snouck Hurgronje turut mengusulkan agar pengawasan tersebut meliputi adanya izin khusus dari bupati, daftar tentang guru dan murid, serta pengawasan oleh bupati harus dilakukan oleh sebuah panitia (E Gobee, C Adriaanse, 1992: 159).
Isi ordonansi guru di atas secara garis besar memuat poin-poin di bawah ini:
- Seorang guru agama Islam baru dibenarkan mengajar bila sudah memeroleh izin dari Bupati;
- Izin tersebut baru diberikan bila guru agama tersebut jelas-jelas bisa dinilai sebagai orang baik, dan pelajaran yang diberikannya tidak bertentangan dengan keamanan dan ketertiban umum;
- Guru agama Islam tersebut harus mengisi daftar murid, di samping harus menjelaskan mata pelajaran yang diajarkan;
- Bupati atau instansi yang berwenang boleh memeriksa daftar itu sewaktu-waktu;
- Guru agama Islam bisa dihukum kurung maksimum dengan delapan hari atau denda maksimum dua puluh lima rupiah, bila ternyata mengajar tanpa izin atau lalai mengisi/mengirimkan daftar tersebut; atau enggan memperlihatkan daftar itu kepada yang berwenang, berkeberatan memberi keterangan, atau enggan diperiksa oleh yang berwenang;
- Izin itu pun bisa dicabut bila ternyata berkali-kali guru agama tersebut melanggar peraturan, atau dinilai berkelakuan kurang baik.
Bagi sekolah yang memiliki organisasi teratur, tuntutan ordonansi ini memang tidak menjadi masalah. Namun tidak demikian halnya bagi Lembaga Pendidikan Islam, yang umumnya tidak memiliki administrasi yang memadai dalam mengelola pengajarannya, maka ordonansi ini terasa sangat memberatkan. Pesantren, misalnya, pada masa itu belum memiliki administrasi yang teratur, daftar murid dan guru, ataupun mata pelajaran. Banyak juga di antara guru agama waktu itu tidak bisa membaca huruf Latin, sedangkan yang bisa pun sangat jarang yang mempunyai mesin tulis untuk mengisi sekian lembar daftar laporan (Deliar Noer 1996: 174).
Di atas semua itu, Ordonansi Guru dalam praktiknya digunakan untuk menekan kaum Muslim santri, karena dikaitkan dengan ketertiban umum (rust en orde). Satu contoh kasus dalam hal ini dengan persaingan ketat antara Islam-Kristen di Tanah Batak tahun 1916, di mana Lulofs, penasihat urusan Luar Jawa, menetapkan adanya suatu garis perbatasan antara Islam dan Kristen. Orang Islam tidak dibenarkan tinggal di daerah Kristen lebih dari 24 jam. Namun Hazeu, selau Adviseur voor Inlandse Zaken menentang aturan tersebut karena dinilai sebagai penyalahgunaan Ordonansi Guru untuk mengusir orang Islam, padahal Ordonansi Guru dibuat untuk mengawasi pendidikan Islam, bukan untuk menghambat atau menekannya. “Saya memperingatkan dengan keras bahwa Ordonansi Guru tidak boleh digunakan untuk tujuan mengusir haji sebagaimana dibenarkan oleh tuan Lulofs” (Aqib Suminto, 1985: 53).
Selain itu, Ordonansi yang mewajibkan guru agama Islam meminta izin dinilai kurang efisien, karena laporan tentang guru agama dan aktivitasnya yang secara periodik disampaikan oleh bupati ternyata kurang meyakinkan, disamping situasi saat itu dinilai sudah tidak lagi memerlukan “pemburuan” guru agama. Salah satu kasus yang terjadi ditemukan dalam laporan Residen Yogya tentang K.H. Imam Tafsir Krapyak. Dalam laporan tahun 1890, Kiai K.H Imam disebut dalam nomor urut 21, mengajar Tafsir, pesantrennya dikunjungi 20 murid, dan semuanya dari Desa Krapyak. Laporan lain, tahun 1897, Kiai yang sama berada di nomor urutan 12 dan masih mempunyai murid dari Krapyak. Sementara dalam laporan Residen tahun yang lain disebutkan bahwa K.H.M Kasan Tapsir di kalangan polisi selalu dikenal sebagai guru yang masyhur, padahal seorang yang mengajar 20 murid di desanya tidak pantas disebut masyhur. Laporan tersebut nampaknya berbeda-beda antara satu laporan dengan laporan lain. Oleh karenanya, Snouck Hurgronje meragukan akuratnya data guru agama yang dilaporkan bupati (Aqib Suminto 1985: 54).
Banyaknya kasus ketidakakuratan data yang disampaikan bupati, dan kasus penyelewengan penggunaan Ordonansi Guru, maka pada 1925 Pemerintah mengeluarkan Ordonansi Guru baru, sebagai pengganti Ordonansi Guru sebelumnya di tahun 1905, isinya mewajibkan guru agama untuk memberitahu, bukan meminta izin. Peraturan 1925 juga tidak hanya berlaku untuk Jawa-Madura, tapi juga Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado, Lombok, dan Bengkulu (Aqib Suminto 1985: 54).
Penulis: Tati Rohayati
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
“Handleiding Ten Dienste van de Inlandsche Bestuursambtenaren op Java en Madoera No. 37/O.E. Mohammedaansch-Inlandsche Zaken”. Uitgave van het Departement van Binnenlandsch-Bestuur. (Batavia: Drukkerij Ruygrok & Co, 1920), h. 7
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: Lp3ES, Cet ke 8
Gobee. E, C Adriaanse. 1992. Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936. Jakarta: INIS, Seri VII
Steenbrink, Karel Andrian. 1986. Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: Lp3Es, Cet.1,
Suminto, Husnul Aqib. 1985. Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsch Zaken. Jakarta: LP3ES, Cet. 1