Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan berciri khas Islam yang memiliki unsur-unsur kiai (pemimpin sekaligus guru), santri (murid), masjid atau mushalla (tempat belajar), asrama (penginapan santri), dan kitab-kitab klasik Islam (bahan pelajaran) (Dhofier 1985: 44-55). Pesantren menjadi simbol khazanah kebudayaan Islam serta sumber transmisi dan diseminasi nilai-nilai dan praktik-praktik keagamaan Islam yang berakar kuat dalam sejarah masyarakat Muslim di Indonesia. Tumbuh bersamaan dengan proses Islamisasi, pesantren dihadirkan guna mencetak para ahli agama masa depan. Melalui pesantren, umat Islam dapat mengekspresikan identitas budaya, menempuh pendidikan, mendalami ajaran Islam, dan meretas jalan kultural yang dapat mendorong proses mobilitas sosial.
Sebagai institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren menjadi sebuah subkultur yang didasari pada sejumlah kriteria: (1) keberadaan pesantren sebagai lembaga kehidupan yang menyimpang dari pola kehidupan umum masyarakat, (2) terdapat sejumlah penunjang yang menjadi tulang punggung kehidupan pesantren, (3) berlangsungnya proses pembentukan tata nilai tersendiri dalam pesantren, lengkap dengan simbol-simbolnya, (4) adanya daya tarik ke luar, sehingga memungkinkan masyarakat sekitar menganggap pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup yang ada di masyarakat, dan (5) berkembangnya suatu proses saling mempengaruhi dengan masyarakat di luarnya yang akan berkulminasi pada terbentuknya nila-nilai baru yang diterima kedua belah pihak (Wahid 1974:40).
Terdapat tiga elemen utama yang menopang keberadaan pesantren sebagai subkultur: (1) pola kepemimpinan pesantren yang mandiri dan tidak terkooptasi oleh negara, (2) kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad, dan (3) sistem nilai yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas (Wahid 1999:14). Khusus berkaitan dengan kitab keagamaan yang menjadi rujukan, kalangan pesantren mengenalnya sebagai “kitab kuning”. Ditulis dalam bahasa Arab dan Indonesia dengan tulisan Jawi, kitab kuning diklassifikasi ke dalam beberapa kategori: fikih, teologi (akidah), tata bahasa Arab (nahwu, saraf dan balaghah), kumpulan hadis, tasawuf dan tarekat, serta kategori lain yang berisi kumpulan do’a dan pujian kepada Nabi Muhammad (van Bruinessen 1995: 134-5; Steenbrink 1974, 1994:12-14).
Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebabnya, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha, seperti mandala dan asrama. Islam meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan pra-Islam tersebut (Madjid 1997: 3). Hal ini menegaskan posisi pesantren sebagai hasil kreasi sejarah anak bangsa setelah mengalami persentuhan dengan budaya pra-Islam. Beberapa kalangan menyebut secara terminologis pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari India dan telah mulai dipraktikkan di pulau Jawa untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Bentuk dan sistem pendidikan tersebut selanjutya diadopsi oleh masyarakat muslim setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa (Steenbrink 1974, 1994:20-21).
Peran strategis pesantren yang terus berlanjut di tengah-tengah Muslim Indonesia juga dapat dilihat dari peran penting ulama yang terus meningkat di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia. Berkembang di pedalaman, dengan jumlah santri yang makin besar, pesantren kemudian tumbuh menjadi sebuah komunitas keagamaan, di mana ilmu-ilmu agama diajarkan dan ajaran-ajaran agama dipraktikkan. Pesantren pun menjadi pusat dinamika kehidupan Islam yang berhasil memunculkan para tokoh pembaharu Islam Indonesia. Dengan pengalaman dan kedalaman pengetahuan, para ulama tersebut selain memberikan sentuhan unik bagi pesantren juga turut memperkuat peran keagamaan pesantren (Burhanudin, 2007:14).
Dengan ragam fungsinya, pesantren semakin dipercaya sebagai institusi yang memiliki potensi besar dalam rekayasa sosial, sebagai bagian dari agen perubahan (agent of change). Pesantren berperan baik sebagai ruang pendidikan maupun sebagai lembaga sosial yang bisa mempengaruhi perubahan sosial dari berbagai segi (Rahardjo, 1974:21). Dalam perkembangannya, pesantren mengalami transformasi, terlibat dalam berbagai program pembangunan. Hal ini ditandai dengan posisi pesantren yang berhasil melahirkan sarjana-sarjana Muslim berpendidikan Barat, produktif berkarya, dan memperoleh rekognisi internasional. Alumni pesantren juga tercatat berkontribusi dalam pembangunan dan kemajuan bangsa, terutama melalui kerja-kerja birokrasi dan pemerintahan, termasuk dalam berbagai agenda peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan ekonomi umat. Hal ini menjadi modal sosial-budaya yang terus dipertahankan oleh pesantren khususnya dalam upaya memajukan pembangunan nasional secara umum.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren tidak pernah surut. Pesantren terus bertambah jumlahnya dan tersebar luas di berbagai wilayah di Indonesia. Berbagai modifikasi sistem pendidikan modern dilakukan. Meskipun lembaga-lembaga pendidikan tradisional serupa seperti surau di Sumatera Barat dan meunasah di Aceh mengalami kemerosotaan peran akibat modernisasi, gejala ini tidak nampak dalam diri pesantren. Jumlah pesantren di Indonesia tidak hanya semakin besar, peran yang dimainkan dalam percaturan Islam Indonesia pun semakin penting, sebuah kondisi yang berlangsung hingga saat ini.
Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Burhanudin, Jajat (2007), ”Mainstream Islam Indonesia,” dalam Rizal Sukma dan Clara Joewono, Gerakan dan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer, (Jakarta: CSIS)
Dhofier, Zamakhsyari (1985), Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES
Madjid, Nurcholis (1997), Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina)
Rahardjo, M. Dawam (1974), ”Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan”, dalam M. Dawam Rahardjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES)
Steenbrink, Karel A (1994) Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES). Cetakan ke-2.
Van Bruinessen, Martin (1995), Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan)
Wahid, Abdurrahman (1999), “Pesantren Masa Depan”, dalam Marzuki Wahid, Suwendi, dan Saefuddin Zuhri, (ed.), Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah)
_________________ (1974), ”Pesantren sebagai Subkultur”, dalam M. Dawam Rahardjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES)