Ibnu Sutowo
Ibnu Sutowo lahir di Grobogan, Jawa Tengah tanggal 23 September 1914 dan lulus Sekolah Dokter Hindia Belanda (Nederlandsch Indische Artsen School/NIAS) di Surabaya pada tahun 1940. Setelah itu, Ibnu Sutowo menjadi dokter di Martapura, dan sukses menjadi pimpinan Rumah Sakit Plaju dan RSU Palembang. Ibnu Sutowo kemudian diangkat menjadi Kepala Jawatan Kesehatan Tentara se-Sumatra Selatan. Posisi tersebut merupakan awal dari pembentukan kepemimpinan Ibnu Sutowo terutama di dunia militer (Jamaludin, 2003; Matanasi, 2018; Karma, 1979: 127).
Dalam karir militer, Ibnu Sutowo pernah menjabat Panglima Teritorium II Sriwijaya (1954-1955), Asisten IV KSAD (1955-1956) dan pada 10 Desember 1957 oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal A.H. Nasution diangkat menjadi direktur utama Perusahaan Minyak Nasional (Permina —awalnya adalah PT Energi Tambang Minyak Sumatra Utara/ ETMSU) yang kemudian menjadi PT Pertamina (Persero). Pada tahun 1963, Ibnu Sutowo melakukan kesepakatan kerja dengan pembagian keuntungan dengan Caltex dan Stanvac, dan akhirnya pada tahun 1965, Shell menjual semua sahamnya kepada Permina (Jamaludin, 2003; Ricklefs, 2008: 543, 603-604).
Pada tahun 1968, Ibnu Sutowo dipercaya kembali untuk memimpin Pertamina dengan manajemen yang agresif dan penuh visi serta memperoleh reputasi internasional. Namun begitu, Ibnu Sutowo dalam pendapat Ricklefs justru memperkaya diri, dan pada tahun 1975 reputasinya mulai menurun. Pertamina juga hanya sedikit melakukan pengeboran sendiri, karena selebihnya dikuasai oleh perusahaan asing dengan perjanjian pembagian produksi. Pada tahun 1970, ketika kekuasaan Ibnu Sutowo akan berakhir, produksi minyak tumbuh sekitar 15% (1968-1969) dan hampir 20 % pada tahun 1970 (Ricklefs, 2008: 612-613).
Ricklefs (2008: 620-621) menyebutkan bahwa Ibnu Sutowo adalah pemimpin Pertamina yang berperan mengendalikan perekonomian pemerintah melalui pendapatan minyak dan menjadikan Pertamina tumbuh menjadi salah satu korporasi besar di dunia. Pertamina telah berhasil menghasilkan 28,2% minyak nasional pada akhir tahun 1973 dan mengadakan perjanjian pembangunan produksi dengan Caltex (menghasilkan 67,8% minyak) dan Stanvac (3,6%), memiliki tujuh kilang minyak, terminal-terminal minyak, 116 kapal tangki, 102 kapal lainnya, dan sebuah maskapai penerbangan. Ricklefs menyebutkan bahwa manajemen Pertamina diluar kendali pemerintah sehingga memiliki hutang yang besar. Pemerintah kemudian memperketat syarat-syarat peminjaman dana yang diajukan oleh Ibnu Sutowo dari luar negeri pada akhir tahun 1973. Pertamina kemudian dikabarkan tidak sanggup lagi membayar hutangnya dari beberapa bank di Amerika dan Kanada pada bulan Februari 1975 (Ricklefs, 2008: 621).
Dalam kepemimpinannya, Ibnu banyak melakukan kerjasama dengan perusahaan asing menggunakan sistem bagi hasil. Ia juga membentuk perusahaan-perusahaan yang menunjang kerja Pertamina, seperti PT Pertamina Tongkang, PT Pelita Air Services, dan PT Eletronika Nusantara (Madrusah dan Liana, 2013: 347). Setelah dituduh korupsi, Ibnu diberhentikan oleh presiden dan diangkat menjadi ketua PMI. Ibnu Sutowo wafat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) pada tanggal 12 Januari 2003 (Jamaludin, 2003; Soemarinda dkk., 2018: 87-88).
Penulis: Ahmad Athoillah
Referensi
Jajang Jamaludin, “Ibnu Sutowo Meninggal Dunia”, dalam https://nasional.tempo.co/read/14829/ibnu-soetowo-meninggal-dunia diakses 1 November 2021.
Petrik Matanasi (2019), Sejarah Pertamina dan Ibnu Sutowo, Tentara yang Main Bisnis Minyak dalam https://tirto.id/sejarah-pertamina-dan-ibnu-sutowo-tentara-yang-main-bisnis-minyak-cBsb diakses 1 November 2021.
Madrusah dan Corry Liana, “Kebijakan yang Dikeluarkan Ibnu Sutowo Selama Memimpin Pertamina Tahun 1968-1973”, Avatara e-Journal Pendidikan Sejarah 1, 3 (2013), 335-347.
Mara Karma (1979), Ibnu Sutowo Pelopor Sistem Bagi Hasil di Bidang Perminyakan, Jakarta: PT Idayu Press.
Ricklefs, M.C.(2008), Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: PT Serambi Ilmu Pustaka.
Sukusen Soemarinda dkk, “Kebijakan Pertamina dalam Perdagangan Minyak Indonesia (1969-2015)”, Populasi 26, 2 (2018), 81-95.