Indonesia Berparlemen
Istilah “Indonesia Berparlemen” dicetuskan oleh lima partai politik (Gerindo, Parindra, Pasundan, Persatuan Minahasa, PSII, dan PII) yang tergabung dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada rapat 4 Juli 1939. Rapat ini memutuskan untuk mengadakan Kongres Rakyat Indonesia (KRI) dalam usaha memperjuangkan penentuan nasib bangsa sendiri serta kesatuan dan persatuan Indonesia (Kartodirdjo 1999: 187).
Pada konferensi GAPI di Jakarta, 19-20 September 1939, diputuskan sejumlah poin berikut: pertama, membentuk parlemen yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat; kedua, membentuk suatu pemerintahan yang bertanggungjawab kepada parlemen tersebut; dan ketiga, jika hal itu dipenuhi dalam waktu yang ditentukan terlebih dahulu maka GAPI akan menganjurkan kepada rakyat supaya menyokong Belanda dengan sekuat mungkin (Sitorus 1988: 79).
Kongres Rakyat Indonesia pertama dilaksanakan di Jakarta pada 23-25 Desember 1939 dihadiri oleh anggota-anggota GAPI dan berbagai perkumpulan ekonomi, sosial, dan budaya serta serikat sekerja. Agenda utamanya adalah persiapan aksi untuk Indonesia Berparlemen (Suhartono 1994: 95). Selain itu, keputusan penting lain adalah penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional, bendera merah putih sebagai bendera nasional, dan lagu Indonesia Raya menjadi lagu kebangsaan (Kartodirdjo et al., 1975: 238).
Setelah kongres itu dibentuk badan-badan Komite Parlemen Indonesia di seluruh Indonesia dengan maksud meningkatkan aksi-aksi GAPI. Tuntutan GAPI dibicarakan dalam Tweede Kamer, namun hanya mendapat dukungan dari Social Democratische Arbeiders Partij (SDAP). Partai-partai lain dan kalangan pers Belanda menolak. Mereka memandang belum waktunya Indonesia Berparlemen. Menyikapi hal itu, pada 5 Februari dan 5 Maret 1940, GAPI mengeluarkan resolusi bahwa tuntutan Indonesia Berparlemen akan diteruskan sampai berhasil.
Pada bulan Agustus, ketika Belanda telah dikuasai oleh Jerman, GAPI kembali mengeluarkan resolusi, yaitu mengganti Volksraad dengan parlemen sejati yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, merubah fungsi kepala-kepala departemen menjadi menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen, dan meminta dukungan rakyat dan organisasi-organisasi sosial, politik, dan ekonomi. Merespon resolusi itu, pemerintah membentuk sebuah komisi yang dipimpin oleh Dr. F.H. Visman atau Komisi Visman. Namun, langkah itu ternyata tidak mendapat sambutan baik dari anggota Volksraad. GAPI juga tidak setuju dengan komisi itu (Kartodirdjo et al. 1975: 238-239).
GAPI terus melakukan usaha-usaha untuk mewujudkan visinya. Pada konferensi GAPI di Jakarta bulan Desember 1940 diputuskan membentuk satu tim kerja yang bertugas mempropagandakan kepada khalayak tentang aksi Indonesia Berparlemen. Tim ini terdiri dari enam orang, yaitu Abikusno Cokrosuryo dari PSII, A.K. Gani dari Gerindo, Sukardjo Wiryopranoto dari Parindra, Ratulangi dari Perserikatan Minahasa, Sartono dari Gerindo, dan Moh. Husni Thamrin dari Parindra (Sitorus 1988: 80).
Untuk mengefektifkan perjuangan, KRI diubah menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI) pada konferensi GAPI di Yogyakarta pada 14 September 1941. Majelis tersebut dianggap mewakili segenap rakyat Indonesia yang akan mencapai kesentosaan dan kemuliaan berdasarkan demokrasi. Dewan pimpinan MPI terdiri perwakilan organisasi politik (GAPI), organisasi agama (MIAI), dan federasi serikat sekerja dan pegawai negeri (PVPN). MPI dipimpin oleh Dr. Sartono. Formasi organisasi ini dipandang paling maju saat itu karena di dalamnya terdapat perwakilan berbagai organisasi politik, sosial, dan keagamaan (Suhartono 1994: 95-96). Namun, ketika MPI diakui oleh organisasi-organisasi lain dalam kongres Rakyat Indonesia di Yogyakarta pada 13 September 1942, Indonesia telah dikuasai oleh Jepang. Usaha majelis ini pun terhenti karena harus menyesuaikan diri dengan kebijakan rezim militer Jepang.
Penulis: Abd. Rahman Hamid
Instansi: Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Kartodirdjo, S. (1999). Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid 2: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kartodirdjo, S., Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (1975). Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sitorus, L. M. (1988). Sejarah Pergerakan dan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Suhartono (1994) Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908 - 1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.