Volksraad (Dewan Rakyat)
Secara bahasa volksraad berasal dari bahasa Belanda, yang terdiri atas dua suku kata volks artinya rakyat dan raad artinya dewan, sehingga volksraad berarti dewan rakyat. Volksraad merupakan lembaga parlemen yang berwenang sebagai penasihat gubernur jenderal Hindia Belanda (Gouverneur generaal van Nederlands- Indië). Lembaga tersebut dibentuk atas inisiatif pimpinan pergerakan pribumi di Hindia Belanda melalui Comite Indie Weerbaar (Komite Pertahanan Hindia) yang meminta terlibat dalam pengelolaan pemerintahan pemerintahan Hindia Belanda. Comite tersebut beranggotakan para wakil dari organisasi Budi Utomo, Central Sarekat Islam (CSI), Regenten Bond (Ikatan Para Bupati), serta perhimpunan dari empat daerah kerajaan, yaitu Narpowandowo (kawasan Susuhunan di Surakarta), Prinsen Bond Mataram (Kawasan Sultan di Yogyakarta), Mangkunegaran (Kadipaten Mangkunegaran), Abdi Dalem Wargo Pakualam (Kadipaten Pakualaman) (Akira Nagazumi, 1989: 184). Para delegasi tersebut datang ke negeri Belanda dengan maksud menyampaikan tuntutan komite kepada ratu Belanda, Wilhelmina, dan juga kepada Menteri Urusan Tanah Jajahan, terkait milisi pribumi dan pendirian dewan kolonial.
Melalui proses yang cukup panjang, gubernur jenderal Hindia Belanda yang saat itu dijabat oleh Mr. Graaf van Limburg Stirum (1916-1921), bersama dengan Menteri Urusan Kolonial Belanda, Thomas Bastiaan Pleyte (1918-1919), memprakarsai berdirinya lembaga legislatif yang bernama “Dewan Kolonial” yang kemudian berubah nama menjadi Volksraad atau Dewan Rakyat. Volksraad dibentuk pada 16 Desember 1916 di Batavia berdasarkan keputusan Indische Staatsregeling, wet op de Staatsinrichting van Nederlandsch-Indië, pasal 53-80 tanggal 16 Desember 1916. Keputusan ini juga diumumkan dalam Staatsblad No. 114 Tahun 1916, dan secara resmi terlaksana pada 1918. Sejak resmi diundangkan, Gubernur Jenderal Mr. Graaf van Limburg Stirum menyurati Menteri Urusan Jajahan, Thomas Bastiaan Pleyte, untuk melaksanakan pemungutan suara pertama kali, menentukan anggota yang menduduki jabatan di volksraad. Terpilihlah Dr. J. C. Koningsberger (1926-1929) sebagai ketua (Helsdingen 1928).
Periode awal pembentukan volksraad pada 1918, susunan anggota volksraad telah termaktub dalam Koninklijk besluit van 30 Maart 1917 No. 69 tertera juga dalam Staatsblad No. 441 yang berisi bahwa volksraad terdiri atas 39 anggota. Dari 39 anggota tersebut, kebijakan pemerintah menentukan 1 orang ketua yang dipilih oleh raja/ratu, 15 dari pribumi, dan 23 dari Belanda dan Timur Asing. Jumlah 39 tersebut dipilih dengan alasan untuk dapat memberikan keterwakilan dari masing-masing daerah (gewest) di Hindia Belanda (Hekmeijer 1917: 24). Kemudian, aturan dalam anggota volksraad yakni: pertama, ketua ditunjuk langsung oleh ratu/raja; kedua, anggota diajukan oleh Gubernur Jenderal maupun dipilih dari tiga kelas masyarakat yaitu, masyarakat berbangsa Belanda (Eropa), pribumi, dan Timur Asing. Ketua harus selalu orang Eropa. Sementara untuk anggota terdiri dari 30 orang Belanda, 25 Pribumi, dan 5 dari Timur Asing. Berikut daftar anggota volksraad di kalangan Pribumi yang telah disetujui oleh Gubernur Jenderal.
Dari periode volksraad pertama (1918-1921) bermunculan sejumlah pemimpin politik yang progresif, seperti Cipto Mangunkusumo (Nationaal Indische Partij), H.O.S Cokroaminoto dan Abdul Muis (Sarekat Islam). Selain itu, keanggotaan volksraad tidak hanya dari kalangan pribumi, tapi juga Tionghoa, dan Arab, termasukk tokoh dari luar pulau Jawa, yaitu T.T Mohamad Thayeb dari Aceh, J.A. Soselisa dari Ambon, Frits dari Minahasa, dan A.L Waworuntu dari Manado. Meskipun, mereka juga bukan berarti tinggal di tempat asal kelahiran mereka. J.A. Soselisa misalnya, berdomisili di Batavia dan bekerja sebagai kepala Komisi di Departemen Perusahaan Pemerintah, sementara Frits Laoh adalah karyawan KPM yang tinggal di Batavia, kelahiran Minahasa tahun 1888. Di volksraad, Loah menjadi delegasi dari Kieskring X Celebes (Susanto Zuhdi dkk. 2019: 53).
Kepemimpinan Volksraad didominasi oleh kalangan Belanda atau orang-orang Eropa. Sedangkan masyarakat pribumi keterwakilannya menempati posisi kedua sebelum Timur Asing. Selain itu, anggota volksraad pribumi yang duduk pun merupakan para pamong praja. Oleh karenanya, beberapa sumber mengatakan bahwa volksraad bukanlah parlemen “sungguhan”, namun merupakan salah satu strategi pemerintah untuk bisa melanggengkan penguasaannya terhadap Hindia Belanda, dengan menempatkan beberapa orang pribumi untuk duduk di Parlemen, dan diberikan jabatan. Kebutuhan pemerintah akan masyarakat pribumi yang masuk ke volksraad tidak lebih dari upaya pemerintah untuk memberikan sedikit akses, menyalurkan aspirasi kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat Pribumi, namun segala upaya yang dilakukan oleh Pribumi ujung-ujungnya diputuskan oleh gubernur jenderal sendiri.
Di awal-awal pendiriannya, volksraad memang didesain oleh Pemerintah hanya sebagai dewan penasihat. Hal ini dimaksudkan sebagai langkah strategis Pemerintah dalam perjuangan untuk mendapatkan otonomi Hindia Belanda. Namun, kelahiran volksraad justru menjadi panggung resmi masyarakat pribumi untuk menyuarakan keinginannya, terutama meningkatnya rasa nasionalisme untuk mencapai pemerintahan mandiri (kemerdekaan). Usaha tersebut tercatat dalam sejarah dengan peristiwa pembentukan Fraksi Nasional atau Mosi Thamrin (27 Januari 1930), dan “Petisi Soetardjo” (15 Juli 1936). Terlebih setelah terbitnya Undang-undang Dasar 1922 dan Undang-undang Pemerintah Hindia Belanda 1924 volksraad resmi menjadi lembaga legislatif yang persetujuannya diperlukan untuk seluruh peraturan yang disahkan oleh Gubernur Jenderal. Sehingga secara fungsional, institusi ini lebih berperan sebagai majelis legislatif. Selain itu, volksraad ini juga memiliki hak untuk memperbaiki rancangan undang-undang dan memajukan rancangan undang-undang, hak mengajukan petisi kepada raja dan majelis perwakilan tertinggi di Belanda, dan hak untuk menginterpelasi Pemerintah.
Sejak resmi terbentuk, dengan anggota yang sudah terpilih, volksraad mulai menjalankan aktivitasnya. Semua anggota volksraad tersebut menerima remunerasi/gaji dari Gubernur Jenderal Kolonial Belanda, termaktub dalam Staatsblad No. 545 Ordonnantie van 8 September 1917 Kegiatan volksraad diantaranya, melakukan masa sidang dua kali dalam satu tahun yaitu pada 15 Mei, dan hari Selasa ketiga Oktober, dengan jangka waktu sidang empat setengah bulan. Selama masa aktifnya, volksraad telah berhasil mengajukan 6 rancangan undang-undang, tiga diantaranya diterima.
Penulis: Tati Rohayati
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Helsdingen, W.H.Van. 1938. Tien Jaar Volksraad Arbeid, 1928-1937. Batavia: landsdrukkerij, link dokumen: https://bit.ly/3AIahdl
Hekmeijer, Mr. F. C. 1917. Wetten en Verordeningen van Ned-Indië: Verordeningen Volksraad. Batavia, Weltevreden: G. Kolff & Co. Link dokumen: https://bit.ly/3nQRqF0
Zuhdi, Susanto, dkk. 2019. “Dari Volksraad ke Komite Nasional Indonesia Pusat 1918-1949” dalam buku Seabad Rakyat Indonesia Berparlemen: Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 1918-2018. Jilid I. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Volksraad 1918-1 Zitting 1), Eerste Gewone Zitting 1918 - Notulen 1)
Koninklijk besluit van 30 Maart 1917 No. 69 tertera juga dalam Staatsblad No. 441
Gouvernementsbesluit van 8 September no. 1, St. no. 548
Staatsblad No. 545 Ordonnantie van 8 September 1917