Indonesia Raya
Lagu kebangsan Indonesia Raya, diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman, telah menjadi bagian penguat semangat nasionalisme Indonesia. Wage Rudolf Supratman lahir di Jatinegara (Jakarta) pada 9 Maret 1903 dan meninggal dunia di Tambaksari (Surabaya) pada malam hari menjelang tanggal 17 Agustus 1938 (Kasansengari 1967: 61; Bataviaasch nieuwsblad, De Indische Courant, De Locomotief, 17 Agustus 1938). Nama Rudolf sengaja disematkan di tengah nama Wage Soepratman ketika diasuh oleh W.M. van Eldik (kakak ipar) sebagai upaya agar dapat masuk di sekolah Belanda, meski hanya berlangsung sebentar karena diketahui bukan anak kandung. Pada saat beranjak dewasa, Wage Rudolf Supratman berprofesi sebagai wartawan, pengarang buku cerita, dan pencipta lagu. Karya paling fenomenal adalah Indonesia Raya, yang ditetapkan sebagai lagu kebangsaan nasional.
Syair beserta notasi lagu kebangsaan ini diterbitkan di majalah mingguan Sin Po berjudul "Indonesia" di bawahnya ditulis keterangan,"Rantjangan dari salah satoe lagoe kabangsahan Indonesia jang telah dinjanjiken dalem rapat dari pemoeda-pemoeda Indonesia tanggal 28 October j.l. (jang laloe) di Indonesisch Clubgebouw di Kramat." (Sin Po, 10 November 1928 : 512). Syair ini dinyanyikan pada suatu momentum penting Kongres Pemuda Kedua pada 27 - 28 Oktober 1928. Untuk rekaman gramofon, Wage Rudolf Soepratman menghubungi Yo Kim Tjan dari Toko Populair di Pasar Baru untuk memproduksi piringan hitam (Indische Courant, 23 Agusrus 1950).
Ide menggubah lagu kebangsaan muncul setelah Kongres Pemuda Pertama (30 April - 2 Mei 1926) ketika W.R. Soepratman membaca majalah yang ditujukan kepada pembaca yang berisi tantangan mencipta lagu kebangsaan, seperti halnya bangsa lain yang telah memiliki lagu kebangsaan (Hutabarat 2001: 18). Popularitas lagu kebangsaan menimbulkan ekses bagi pemerintah Hindia Belanda. Pada November 1929, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (7 September 1926 - 11 September 1931), Andries Cornelis Dirk de Graeff mengeluarkan surat edaran yang menyebutkan lagu itu bukan sebagai lagu kebangsaan. Edaran ini kontradiktif dalam hal menyikapi lagu Indonesia Raya. Di satu sisi bersikap meremehkan sebagai lagu perkumpulan (clublied), di sisi lain justru mencemaskan dengan larangan tertentu pada pegawai pemerintah. Pegawai negeri Hindia Belanda dilarang berdiri ketika lagu ini dinyanyikan (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 30 November 1929, Panitia Penyusun Naskah 197, pendahuluan : 17-18, bagian I: 12).
Surat edaran itu berkaitan dengan simpati umum dan popularitas yang dimenangkan oleh lagu Indonesia Raya dalam waktu singkat di kalangan pribumi, dan pada pertemuan-pertemuan pribadi dan publik, lagu itu dinyanyikan dan didengar berdiri oleh mereka yang hadir pada pertemuan (De Sumatra Post, 7 November 1930). Kaum nasionalis telah menjadikan lagu ini sebagai lagu kebangsaan, maka pers yang terbit di Belanda mencurigai akan menjadi lagu pemberontakan (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 30 November 1929). Akan tetapi, pemerintah Hindia Belanda dalam hal ini tidak memiliki dasar bertindak keras kepada siapapun. Dengan membaca kata-kata itu tanpa prasangka tidak akan menemukan apapun yang menyinggung di dalamnya, seperti hasutan terhadap pemerintah, hasutan untuk mengkacaukan perdamaian dan ketertiban umum, penaburan kebencian, dan penghinaan di antara kelompok-kelompok penduduk. Isi syairnya tidak lain selain pemuliaan, pernyataan cinta dan kesetiaan pada tanah air, dan nasihat kepada anak-anak negeri untuk bekerja demi kemajuan negeri ini (De Sumatra Post, 7 November 1930).
Lagu Indonesia Raya sempat digunakan sebagai media propaganda menjelang penyerangan militer Jepang, tetapi dilarang setelah Jepang berkuasa. Pada pertengahan tahun 1944, Indonesia Raya diizinkan lagi dinyanyikan pada rapat dan upacara resmi. Panitia Lagu Kebangsaan Indonesia juga dibentuk dengan tugas melakukan perubahan sekaligus menyusun tata cara menyanyikan lagu kebangsaan saat mengiringi upacara bendera. Panitia ini diketuai oleh Sukarno, anggota Ki Hadjar Dewantara, Achiar, Sudibyo, Darmawidjaja, Koebini, K.H. M. Mansyur, Mohammad Yamin, Sastromoeljono, Sanusi Pane, C. Simanjuntak, Achmad Soebardjo, dan Oetojo. Pada 8 September 1944, lagu Indonesia Raya ditetapkan sebagai lagu kebangsaan dengan mengubah beberapa kata untuk disesuaikan (Panitia Penyusun Naskah 1972, bagian III: 4, Hutabarat 2001: 21-22).
Setelah Indonesia merdeka, presiden memutuskan surat penetapan nomor 28 tahun 1948 membentuk kepanitiaan untuk mengatur ulang aturan terkait menyanyikan lagu kebangsaan dan upacara, tetapi belum terlaksana akibat dilancarkannya agresi militer Belanda kedua yang mampu menguasai ibukota, Yogyakarta. Pekerjaan yang tertunda dilanjutkan lagi hingga ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 1958 dengan penjelasannya pada lembaran negara nomor 72 tahun 1958 (Panitia Penyusun Naskah 1972, bagian III: 10 - 14). Dengan adanya kecurigaan dan larangan sebelum kemerdekaan pada akhirnya menguatkan Indonesia Raya pada kedudukan sebagai lagu kebangsaan yang memperkuat semangat nasionalisme Indonesia.
Penulis: Samidi
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Bataviaasch nieuwsblad, 17 Agustus 1938
De Sumatra Post, 7 November 1930
Hutabarat, Anthony C (2001). Wage Rudolf Soepratman: meluruskan sejarah dan riwayat hidup pencipta lagu kebangsaan Republik Indonesia "Indonesia Raya" dan pahlawan nasional. Jakarta: Gunung Mulia
Indische Courant, 17 Agustus 1938, 23 Agustus 1950
Kasansengari, Oerip (1967). Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. Soepratman Pentjiptanja. Surabaya: Pertjetakan Grafika Karya.
Nieuwe Rotterdamsche Courant, 30 November 1929
Panitia Penyusun Naskah (1972). Brosur Brosur Lagu Kebangsaan - Indonesia Raya. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.