Wage Rudolf Soepratman

From Ensiklopedia
Wage Rudolf Soepratman. Sumber: Perpustakaan Nasional RI - ALB 517 (4) A

Wage Rudolf Soepratman adalah Pahlawan Nasional Indonesia kelahiran Purworejo, Jawa Tengah pada 19 Maret 1903, dari pasangan suami-istri Djoemeno Senen Sastrosoehardjo (versi lain: Jumeno Senen Kartodiharjo) alias Abdoelmoein dan Siti Senen.

Ada kontroversi yang berkaitan dengan tanggal kelahiran sang komponis, yaitu antara versi 9 Maret 1903 dan versi 19 Maret 1903. Kedua tanggal itu jatuh pada pasaran yang sama, yaitu wage. Namun, tanggal 9 Maret telah dicanangkan sebagai Hari Musik Nasional oleh Presiden Republik Indonesia, berdasarkan Keputusan Presiden No. 10 tahun 2013 tentang Hari Musik Nasional yang ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini menunjukkan bahwa tanggal 19 Maret lebih diakui oleh keluarga besar Soepratman, yang juga diperkuat oleh Pengadilan Negeri Purworejo dengan surat keputusan, tertanggal 29 Maret 2007.

Pada tahun 1907, Soepratman memulai pendidikannya di taman kanak-kanak atau Frobelschool ketika berusia 4 tahun. Selebihnya ia mengikuti kakak sulungnya, Roekijem Soepratijah ke kota Makassar. Ia disekolahkan di Tweede Inlandsche School atau Sekolah Angka Dua (1914-1917) oleh kakak iparnya, yang bernama W.M. van Eldick. Keluarga Roekijem menjadi latar belakang pengenalan Soepratman terhadap dunia musik karena gemar akan musik, khususnya biola. Pengaruh kakak sulungnya itulah yang menjadikan Soepratman berminat main dan mempelajari musik. Tambahan lagi, W.M. van Eldick telah menghadiahkan sebuah biola pada saat ulang tahun ke-17 dan memberi pelajaran musik yang lebih intensif sehingga Soepratman amat lihai memainkan biola dan mampu menggubah lagu, serta mendirikan grup jazz yang bernama Black and White. Kemampuan menggesek biola Soepratman tidak diragukan lagi oleh kalangan masyarakat Belanda di Makassar sehingga ia pernah mendapat undangan dari Kamar Bola (semacam societeit kalangan Belanda) untuk mengiringi musik pada perayaan kelahiran Ratu Wilhelmina tanggal 31 Agustus (Notodidjojo, 1985: 26).

Soepratman lulus ujian Klein Ambtenaar Examen pada 1919 yang dihargai seperti pemilik ijazah HIS (Hollands Inlandse School) sehingga ia menjadi guru Sekolah Angka Dua pada sekolah desa di Singkang (di luar Makassar). Pada kesempatan itu, Soepratman belajar bahasa Belanda selama tiga tahun, kemudian bersekolah di Normaalschool di Makassar hingga lulus. Rupanya, guru bukanlah panggilan hidupnya sehingga kakaknya Roekijem menyarankan agar Soepratman mengajukan pengunduran diri sebagai guru (Notodidjojo, 1985:28-29).

Pada tahun 1924, Soepratman berpindah dari Makassar ke Bandung untuk memulai karier sebagai wartawan harian Kaoem Moeda. Ia berpindah ke koran Kaoem Kita pada 1925 dan sempat memimpin redaksinya. Pada saat itu, istilah Indonesia belum ada, melainkan masih disebut bumiputra. Selain itu, Soepratman juga bekerja di kantor berita PAIT (Pers Agentschap India Timur). Kemudian, ia berpindah ke Jakarta untuk bergabung dengan Parada Harahap dalam perintisan kantor berita Alpena (Algemene Pers en Nieuws Agentschap), tetapi tidak berlangsung lama karena ia beralih kerja sebagai wartawan koran Sin Po (Notodidjojo, 1985: 34-35). Di sini, Soepratman mulai bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan, baik dalam rapat-rapat organisasi pemuda maupun partai politik, serta sidang-sidang pengadilan sehingga ia dikenal sebagai publicist Melayu atau diterjemahkan sebagai jurnalis.

Ketika tinggal di Jakarta inilah, ia membaca sebuah artikel pada koran Fadjar Asia, koran pimpinan Haji Agus Salim, terdapat tantangan yang ditebarkan kepada ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Artikel Fadjar Asia merupakan memetik dari artikel majalah Timboel yang terbit di Sala (Notodidjojo, 1985: 48). Ketika berusia 21 tahun, Soepratman berhasil menggubah lagu Indonesia Raya di Bandung pada tahun 1924 (bandingkan Materu, 1985: 116) yang aslinya berjudul Indonesia, yang teks aslinya meliputi tiga stanza (Sularto, 1991: 24-25) sebagaimana di bawah ini:

Indonesia
I II III
/Indonesia, tanah airku,/ /Indonesia, tanah yang mulia,/ /Indonesia, tanah yang suci,/
/Tanah tumpah darahku,/ /Tanah kita yang kaya,/ /Bagi kita di sini,/
/Di sanalah aku berdiri,/ /Di sanalah aku hidup/ /Di sanalah kita berdiri,/
/Menjaga Pandu Ibuku./ /Untuk s’lama-lamanya./ /Menjaga Ibu sejati./
/Indonesia kebangsaaanku,/ /Indonesia, tanah pustaka,/ /Indonesia, tanah berseri,/
/Kebangsaan tanah airku,/ /Pusaka kita semuanya,/ /Tanah yang kucintai,/
/Marilah kita berseru,/ /Marilah kita berseru,/ /Marilah kita bernyanyi,/
/Indonesia Bersatu./ /Indonesia Bersatu./ /Indonesia Bersatu./
/Hiduplah tanahku,/ /Suburlah tanahnya,/ /S’lamatlah rayatnya,/
/Hiduplah neg’riku,/ /Suburlah jiwanya,/ /S’lamatlah put’ranya,/
/Bangsaku, jiwaku semua,/ /Bangsanya, rayatnya, semua,/ /Pulaunya, lautnya, semua,/
/Bangunlah rayatnya,/ /Sedarlah hatinya,/ /Majulah neg’rinya./
/Bangunlah badannya,/ /Sedarlah budinya,/ /Majulah pandunya,/
/Untuk Indonesia Raya./ /Untuk Indonesia Raya./ /Untuk Indonesia Raya./
/Indones’, Indones’/
/Mulia’, Mulia’/
/Tanahku neg’riku yang kucinta/
/Indones’, Indones’/
/Mulia’, Mulia’/
/Hiduplah Indonesia Raya/


Lagu ciptaan Soepratman itu pertama kali diperdengarkan di depan umum secara instrumentalia pada malam penutupan Kongres Pemuda II, tanggal 28 Oktober 1928 di Gedung Kramat Raya 106 atau Gedung Langen Siswa, yang menghasilkan Sumpah Pemuda (Soejono & Leirissa, 2010a: 430) sehingga disebut Gedung Sumpah Pemuda, yang menjadi salah satu museum perjuangan angkatan muda Indonesia (Sularto, 1991: 12).

Sugondo Joyopuspito selaku Ketua Panitia Kongres menyatakan bahwa pertunjukan instrumen biola itu dimaksudkan agar Pemerintah Hindia Belanda tidak memboikot acara kongres tersebut karena kelugasan lirik lagunya. Selanjutnya, lagu Indonesia Raya menjadi sangat dikenal pada kalangan pergerakan nasional karena lagi tersebut mengarah kepada rasa untuk memperkuat kesadaran bertanah air dan persatuan bangsa, serta kemauan yang tinggi untuk mencapai kemerdekaan sebagai gerbang menuju Indonesia Raya.

Notasi dan lirik lagu Indonesia Raya diterbitkan pertama kali pada harian Sin Po edisi 10 November 1928 dengan oplah 5.000 eksemplar, yang disusul mingguan Suluh Rakyat Indonesia dan berbagai koran dan majalah yang terbit di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang (Sularto, 1991: 23). Banyak orang yang membelinya secara berebutan dan terjual habis. Pembelinya selain dari Jakarta, juga berbagai daerah, bahkan dari luar Jawa. Tidak hanya itu saja, perusahaan piringan hitam Populer yang dimiliki oleh Yo Kim Chan menawarkan kepada Soepratman untuk merekam lagu Indonesia Raya ke dalam piringan hitam di luar negeri. Namun, Pemerintah Hindia Belanda melarang peredaran piringan hitam itu karena ada kata “merdeka” yang bisa menyuburkan semangat kebangsaan (Notodidjojo, 1985: 58).

Kumandang Indonesia merdeka oleh Soepratman menyebabkan polisi Hindia Belanda resah sehingga memburu Sang Komponis dan Pemerintah Hindia Belanda melarang rakyat Indonesia menyanyikan lagu Indonesia Raya di hadapan umum. Pelarangan terhadap Indonesia Raya mendapat kecaman dari pers nasional dan protes dari wakil-wakil bangsa Indonesia di Volksraad. Akhirnya, pelarangan itu menjadi lebih lunak dengan pernyataan bahwa Indonesia Raya hanya diperbolehkan untuk dinyanyikan di ruang tertutup dan tidak boleh di ruang terbuka. Ancaman hukuman dari Pemerintah Kolonial tidak menyurutkan semangat bangsa Indonesia, tetapi justru semakin berani dengan mengubah ulangan syair lagu tersebut dari /Mulia, Mulia/ menjadi /Merdeka, Merdeka/ (Sularto, 1991: 33).

Teks asli Teks Perubahan
/Indones’, Indones’,/ /Indones’, Indones’,/
/Mulia, Mulia,/ /Merdeka, Merdeka,/
/Tanahku neg’riku yang kucinta,/ /Tanahku neg’riku yang kucinta,/
/Indones’, Indones’,/ /Indones’, Indones’,/
/Mulia, Mulia,/ /Merdeka, Merdeka,/
/Hiduplah Indonesia Raya./ /Hiduplah Indonesia Raya./


Pelarangan yang sama diberlakukan terhadap lagu Indonesia Raya ketika Pemerintah Pendudukan Jepang berkuasa di Indonesia pada bulan Maret 1942. Kenyataan menunjukkan bahwa sebelum pecah Perang Dunia II, radio Jepang selalu mengumandangkan Indonesia Raya dengan tujuan untuk memikat bangsa Indonesia. Radio Belanda juga melakukan hal yang sama seperti radio Jepang, yaitu menyiarkan lagu Indonesia Raya ketika Perang Dunia II berakhir dan Belanda bermaksud akan masuk kembali ke Indonesia untuk menjajah kembali. Agaknya, Belanda pun melakukan propaganda agar bangsa Indonesia terpikat (Notodidjojo, 1985: 14-15).

Rupanya, Belanda melalui gubernur jenderal, sudah lupa dengan larangan menyanyikan Indonesia di ruang terbuka setelah Kongres Pemuda II dengan hukuman kurungan atau denda. Berkat kecaman-kecaman yang termuat dalam majalah dan surat kabar, pemerintah Hindia Belanda memperbolehkan Indonesia Raya dinyanyikan di ruang tertutup (Sularto,1991: 32). Namun, ancaman penangkapan terhadap Soepratman tetap berlaku sehingga pada periode 1933-1937, Soepratman berpindah-pindah tempat tinggal dari Jakarta, kemudian pindah ke Cimahi (tempat tinggal kakang sulung, Roekijem Soepratijah, 1933-1936), Randudongkal, Pemalang (tempat tinggal kakak yang lain Roekinah Soepratirah, 1936-1937). Pada waktu di Randudongkal Soepratman yang sakit-sakitan itu diganti dengan nama tua Kartoyudo oleh kakak perempuan dan suaminya yang bernama Koesnandar Kartodirdjo. Penggantian nama dalam masyarakat Jawa merupakan tradisi dan kepercayaan agar sembuh dan sehat. Namun, nama Kartoyudo tidak pernah dipakai secara resmi.

Akhirnya, Soepratman berpindah ke Surabaya pada April 1937 bersama Roekijem Soepratijah yang sudah berpisah dengan suaminya di Manggaweg no. 21, Tambaksari. Adik perempuan Soepratman yang bernama Gijem Soepratinah tinggal di Surabaya bersama suaminya yang menjadi anggota Parindra (Partai Indonesia Raya), yaitu Oerip Kasansengari (Notodidjojo, 1985: 67). Perkenalannya dengan Surya Wirawan dan dokter Sutomo menjadikan Soepratman sebagai anggota aktif Parindra. Ketika dokter Sutomo wafat pada 30 Mei 1938, Soepratman telah merasa dirinya juga tidak akan lama lagi bisa bertahan hidup.

Soepratman ditangkap dan dipenjarakan di Kalisosok, Surabaya oleh Belanda ketika ia menyiarkan lagu Matahari Terbit pada 7 Agustus 1938 di studio radio NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep). Lagu tersebut dituduh oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai wujud simpati kepada Kekaisaran Jepang atau Dai Nippon, tetapi Belanda tidak mendapati bukti-bukti yang mendukung Jepang. Di sini, Van Eldick berhasil membebaskan Soepratman dari segala tuduhan karena di dalam lagu tersebut tidak ada kata-kata “Bendera Matahari Terbit” atau “Negeri Matahari Terbit” (Sularto, 1991: 38).

Soepratman yang telah dibebaskan dari tahanan itu wafat di rumah tinggalnya di Jalan Mangga No. 21, Tambaksari, Surabaya karena menderita sakit gangguan jantung pada Rabu Wage, tanggal 17 Agustus 1938 pada usia 35 tahun dan dimakamkan Pemakaman Umum Kapasan, Jalan Tambak Segaran Wetan, Surabaya yang hanya dihadiri oleh 40 orang yang melayatnya. Tujuh tahun setelah wafatnya Soepratman, lagu Indonesia Raya dinyanyikan secara spontan pada waktu bendera Merah Putih dinaikkan pada tanggal 17 Agustus 1945 ketika Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta (Soejono & Leirissa, 2010b: 157). Pada tahun 1944, Panitia Lagu Kebangsaan menetapkan susunan dengan perubahan- perubahan meskipun tetap mempertahankan keaslian jiwa lagu Indonesia Raya.

Indonesia Raya
I II III
/Indonesia Tanah Airku,/ /Indonesia tanah yang mulia,/ /Indonesia tanah yang suci,/
/Tanah tumpah darahku,/ /Tanah kita yang kaya,/ /Tanah kita yang sakti,/
/Di sanalah aku berdiri,/ /Di sanalah aku hidup/ /Di sanalah aku berdiri,/
/Jadi Pandu Ibuku./ /Untuk s’lama-lamanya./ /N’jaga Ibu sejati./
/Indonesia Kebangsaaanku,/ /Indonesia tanah pustaka,/ /Indonesia, tanah berseri,/
/Bangsa dan Tanah Airku,/ /P’saka kita semuanya,/ /Tanah yang aku sayangi,/
/Marilah kita berseru,/ /Marilah kita mendoa,/ /Marilah kita bernjanji,/
/Indonesia Bersatu./ /Indonesia bahagia./ /Indonesia abadi./
/Hiduplah tanahku,/ /Suburlah tanahnya,/ /Slamatlah rakyatnya,/
/Hiduplah Negriku,/ /Suburlah jiwanya,/ /Slamatlah putranya,/
/Bangsaku, rakyatku semuanya,/ /Bangsanya rakyatnya semuanya,/ /Pulaunya, lautnya semuanya,/
/Bangunlah jiwanya,/ /Sadarlah hatinya,/ /Majulah Negrinya./
/Bangunlah badannya,/ /Sadarlah budinya,/ /Majulah Pandunya,/
/Untuk Indonesia Raya./ /Untuk Indonesia Raya./ /Untuk Indonesia Raya./
/Indonesia Raya,/
/Merdeka, Merdeka,/
/Tanahku, Negriku yang kucinta!/
/Indonesia Raya,/
/Merdeka, Merdeka,/
/Hiduplah Indonesia Raya./


Karya Sang Komponis yang monumental itu akan selalu mengumandang Sejarah Indonesia, yaitu Indonesia Raya (1924) dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk karya-karya lain yang meliputi Dari Barat Sampai ke Timur (?), Indonesia Iboekoe (1926), Bendera Kita Merah Poetih (1928), Bangoenlah Hai Kawan (1929), Ibu Kita Kartini (1929), Mars KBI (Kepandoean Bangsa Indonesia, 1930), Di Timoer Matahari (1931), Mars Parindra (1937), Mars Surya Wirawan (1937), Indonesia Moeda (1937), Matahari Terbit (1938), dan Selamat Tinggal (belum selesai, 1938), sedangkan karya novelnya terdiri atas Perawan Desa, Darah Moeda, dan Kaoem Fanatik (Shadily, t.t.: 3246).

Panitia Indonesia Raya dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 16 November 1948 yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara dan sekretaris umum Muhammad Yamin. Namun, panitia tersebut belum bekerja sudah pecah peristiwa Agresi Militer Belanda I dan II. Akhirnya, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 44/1958 tentang lagu kebangsaan Indonesia Raya tertanggal 26 Juni 1958. Peraturan Pemerintah itu menyatakan bahwa lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan sebagai penghormatan kepada kepala negara/wakil kepala negara, atau menghormati negara asing, dan ketika bendera merah putih sebagai lambang negara dinaikkan atau diturunkan pada waktu upacara diselenggarakan harus dihormati setinggi- tingginya (Sularto, 1991: 44). Di samping itu, lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan sebagai pernyataan atau perasaan nasionalisme, pendidikan, dan pengajaran. Selanjutnya, lagu kebangsaan dilarang untuk dipakai dalam reklame dan pemanfaatan lagu Indonesia Raya yang tidak sesuai dengan kedudukan lagu kebangsaan. Peraturan Pemerintah yang ditandatangani Presiden Republik Indonesia Sukarno dan Perdana Menteri Djuanda tersebut telah diundangkan oleh Menteri Kehakiman, G.A. Maengkom pada 10 Juli 1958 (Notodidjojo, 1985: 86).

Bintang Mahaputera Anumerta Kelas III dianugerahkan Pemerintah Republik Indonesia kepada almarhum W.R. Soepratman pada 17 Agustus 1960. Selanjutnya, Soepratman dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia, Soeharto, No.16/SK/1971, tertanggal 20 Mei 1971. Akhirnya, Presiden Republik Indonesia, Soeharto melimpahkan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Utama kepada Soepratman dengan Surat Keputusan No. 107/TK/1974, tertanggal 19 Juni 1974 (Sularto, 1991: 48).

Penulis: Sugeng Priyadi, M


Referensi

Materu, M.S.D. 1985. Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Notodidjojo, Soebagijo Ilham. 1985. Tragedi Kehidupan Seorang Komponis (Biografi Wage Rudolf Supratman). Jakarta: Inti Idayu Press.

Shadily, Hassan. tt. Ensiklopedi Indonesia 6, edisi khusus. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve & Elsevier Publishing Projects.

Soejono, R.P. & R.Z. Leirissa. 2010a. Sejarah Nasional Indonesia V, edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.

Soejono, R.P. & R.Z. Leirissa. 2010b. Sejarah Nasional Indonesia VI, edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.

Sularto, B. 1991. Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Jakarta: Balai Pustaka.