Jembatan Merah
Jembatan Merah merupakan monumen bersejarah di Surabaya yang terletak di jalan kembang Jepun. Nama Jembatan Merah pernah digunakan seorang pengarang lagu ternama, Gesang, sebagai judul lagu gubahannya. Jembatan Merah sejak masa VOC memiliki peran vital karena sebagai sarana penghubung untuk menyeberangi sungai Kalimas menuju kota Surabaya.
Wilayah jembatan merah merupakan daerah perniagaan yang berkembang sejak masa VOC, lebih tepatnya setelah Paku Buwono II—melalui perjanjian dengan VOC pada 11 November 1743—menyerahkan sebagian daerah pantai utara Jawa, termasuk Surabaya. Sejak saat itu wilayah Surabaya sepenuhnya di kuasai Belanda dan dijadikan pusat perniagaan. Jembatan Merah kini menghubungkan jalan Rajawali dan jalan Kembang Jepun di sisi Utara Surabaya.
Peristiwa sejarah penting di Jembatan Merah berawal dari pendaratan Brigade 49 pimpinan A.W.S Mallaby di Surabaya pada 25 Oktober 1945, dengan tugas melucuti senjata tentara Jepang. Antara pemerintah Indonesia dan Sekutu bersepakat bahwa kedua belah pihak akan menjaga keamanan dan ketentraman, dan hanya senjata milik tentara Jepang yang akan dilucuti. Inggris juga berjanji bahwa pasukan yang memasuki Surabaya tidak terdapat tentara Belanda didalamnya. Namun kesepakatan dari hasil perundingan tanggal 26 Oktober 1945 tersebut tidak berlangsung lama. Sehari setelah disepakatinya perjanjian tersebut, pesawat Inggris menyebarkan pamflet berisikan ultimatum kepada masyarakat Surabaya untuk segera menyerahkan senjatanya kepada tentara Inggris. Pamflet tersebut berisikan perintah langsung dari Mayor Jenderal Hawthortn yang merupakan Panglima Divisi 23. Disebarnya pamflet ini memancing kemarahan masyarakat Surabaya, dan Brigjen Mallaby mengaku tidak mengetahui soal penyebaran pamflet tersebut ketika ditanya oleh pemerintah RI.
Tentara Inggris tidak hanya melanggar soal pelucutan senjata. Lebih dari itu, di bawah pimpinan Kapten Shaw, mereka juga menyergap penjara Kalisosok dan membebaskan seorang kolonel Angkatan laut Belanda, yaitu Kolonel Huiyer. Inggris juga menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio serta objek vital lainnya. Kontak senjata antara pemuda dan tentara Inggris pertama terjadi pada tanggal 27 Oktober sebelum akhirnya semakin meluas. Sehari setelahnya terjadi pertempuran besar-besaran guna mengusir tentara Inggris dari Surabaya. Para pemuda berhasil merebut objek-objek yang sebelumnya diduduki oleh Inggris pada tanggal 29 Oktober 1945.
Untuk menghindari kontak senjata lebih lanjut, Pemerintah RI bertemu dengan Mallaby guna melakukan perundingan. Dalam perundingan ini disetujui bahwa pamflet yang sebelumnya disebarkan atas perintah Mayjen Hawthorn tidak lagi berlaku. Kontak Biro yang terdiri atas perwakilan Inggris dan Indonesia didirikan guna menghentikan pertempuran yang masih berlangsung di beberapa titik. Kedua belah pihak juga diwajibkan melepaskan tahanan-tahanan dan dikembalikan ke masing-masing pihak.
Dalam upaya penghentian pertempuran di Surabaya oleh Kontak Biro, Mallaby ikut serta turun untuk menghentikan pertempuran, namun terjadi insiden di Jembatan Merah Surabaya yang menyebabkan terbunuhnya Mallaby. Mobil yang dikendarainya dihentikan oleh pasukan Indonesia. Mallaby tewas tertembak oleh salah satu pemuda dan mobilnya meledak akibat dilempar sebuah granat.
Kematian Mallaby di Jembatan Merah inilah yang menyebabkan pihak Inggris menuntut pertanggungjawaban. Panglima AFNEI menyerukan kepada rakyat Surabaya untuk menyerah apabila tidak ingin diperangi oleh Inggris. Mayor Jendral E.C. Mansergh yang didatangkan sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan sebuah ultimatum kepada pasukan Indonesia di Surabaya untuk menyerahkan senjata yang mereka miliki kepada Inggris. Secara resmi, Gubernur Surabaya saat itu menyatakan bahwa mereka menolak ultimatum yang diberikan oleh Inggris. Para pemuda sudah bersiap siaga untuk mempertahankan Surabaya dan menolak menyerahkan senjata yang mereka miliki. Komandan Pertahanan Kota, Soengkono, mengumpulkan seluruh tentara yang ada mempertanyakan ketersediaan mereka dalam mempertahankan Surabaya. Pada pertemuan tersebut, seluruh tentara menyatakan ketersediaannya dan memutuskan untuk menunjuk Soengkono sebagai komandan pertahanan.
Radio yang dipimpin oleh Bung Tomo terus disiarkan untuk membakar semangat juang masyarakat. Sesudah batas waktu ultimatum yang diberikan oleh Inggris habis, kontak senjata mulai terjadi di berbagai titik. Para pemuda berhasil mempertahankan Surabaya dalam pertempuran yang berlangsung selama tiga pekan. Pertempuran terakhir berlangsung di Gunungsari pada 25 November 1945 sebelum akhirnya belanjut secara terpisah di beberapa titik.
Penulis: Abdurakhman
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid Jilid VI, Jakarta Balai Pustaka, 2008
Roeslan Abdulgani, Api Revolusi di Surabaya. Jakarta: Yayasan Idayu. 1964
https://core.ac.uk/download/pdf/223126497.pdf