Sutomo

From Ensiklopedia

Sutomo, atau terkenal dengan nama Bung Tomo, adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan pidatonya yang menggeledek, ia mampu membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme pejuang Indonesia melawan tentara sekutu dan Belanda. Nama Bung Tomo seolah identik dengan pejuang yang tak pernah mengenal takut menentang penjajah. Bung Tomo merupakan salah satu tokoh yang mempunyai kelebihan mempengaruhi massa untuk turun ke medan pertempuran dan membela sang saka merah putih.

Bung Tomo lahir di kampung Blauran, Surabaya pada 3 Oktober 1920 dan merupakan anak sulung dari enam bersaudara (Waid, 2009: 13-14). Ia dilahirkan dalam keluarga priayi golongan menengah. Ayahnya, Kartawan Tjiptowidjojo, masih memiliki pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro. Dia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah dan swasta (Waid 2009: 33-34). Sutomo menikahi wanita yang dikenalnya pada tanggal 19 Juni 1947 di masa-masa pergolakan revolusi Indonesia yang juga memiliki visi yang sama yakni sama-sama bergerak untuk menegakan kepentingan dan kesejahteraan orang banyak, yaitu Sulistina. Setelah menikah nama Sulistina berubah menjadi Sulistina Sutomo. Sulistini lahir di Malang, Jawa Timur pada 25 Oktober 1925 (Waid, 2009: 52). 

Sutomo mendapat kesempatan menempuh pendidikan di bangku Sekolah Rakyat di Surabaya, Hollandsch Inlandsche School (HIS), kemudian ia melanjutkan ke sekolah Meet Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Sekolah Menengah Pertama pada zaman pemerintahan Kolonial Belanda. Namun saat berusia 12 tahun Sutomo harus meninggalkan bangku MULO akibat Depresi Besar atau Krisis Malaise yang melanda dunia tahun 1930-an, sehingga ia dan keluarganya harus hidup di bawah tekanan (Waid, 2009: 16). Kesulitan ini tidak mematahkan harapan Sutomo untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Setiap kesempatan digunakan untuk melanjutkan pendidikannya bahkan Sutomo berhasil meneruskan sekolahnya ke pendidikan Hogere Burgerschool (HBS) atau Sekolah Pendidikan Menengah Umum (Waid, 2009: 103). Sutomo melanjutkan pendidikan Tingginya tahun 1957 di Universitas Indonesia. Ia menyusun skripsi yang berjudul “Pengaruh Agama pada Pembangunan Ekonomi di Daerah Pedesaan Indonesia” dengan dosen Pembimbing Prof. Dr. Selo Sumardjan.

Selain belajar dan bekerja, pada usia yang ke-14 tahun ia bergabung dalam Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), sebuah organisasi yang sangat terkenal saat itu. Melalui kepanduan semangat nasionalisme yang diperoleh dari kakeknya, semasa kecil semakin terasah dari kegiatan-kegiatan kepanduan. Menginjak usia yang ke 17 tahun, ia berhasil meraih tingkat Pandu Garuda. Hal yang sangat membanggakan bagi bangsa Indonesia oleh sebab untuk mencapai peringkat ini hanya segelintir orang. Diketahui bahwa sebelum pendudukan Jepang tahun 1942 di Indonesia peringkat ini hanya pernah diraih oleh tiga orang Indonesia (Kurnia, 2007: 36). Oleh karena pangkat inilah ia mulai dikenal oleh banyak orang dan mulai menunjukan kepeduliannya pada bangsa (Kimberly, 2017).

Menginjak usia 19 tahun, Sutomo bekerja sebagai seorang wartawan lepas untuk harian Soeara Oemoem, harian berbahasa Jawa Ekspres, mingguan Pembela Rakyat dan majalah Poestaka Timoer. Melalui surat kabar, ia gencar menulis berita untuk membakar semangat nasionalisme masyarakat Indonesia.  Sutomo juga melibatkan diri dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Pada 1944, saat berusia 25 tahun, Sutomo terpilih menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru dan pengurus Pemuda Republik Indonesia di Surabaya yang disponsori Jepang. Hal ini menjadi titik awal keterlibatannya dalam Pertempuran 10 November 1945. Posisi ini memberi peluang bagi Sutomo untuk mendapatkan akses Radio yang pada era tersebut merupakan salah satu media penyebar informasi tercepat. Melalui radio, Sutomo kemudian menyiarkan orasi-orasinya yang membakar semangat rakyat untuk berjuang mempertahankan Indonesia (Sutomo, 1995). Peristiwa yang masih membekas dalam benak masyarakat Indonesia adalah peristiwa 10 November 1945 di mana Sutomo merupakan sosok paling popular dalam peristiwa tersebut.

Bulan Oktober 1945, Sutomo memimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya dalam pertempuran antara milisi proklamasi kemerdekaan Indonesia melawan tentara Britania Raya dan India. Hal ini merupakan pertempuran pertama dan terbesar antara pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap Kolonialisme. Setelah pertempuran ini usai, dukungan Rakyat Indonesia dan dunia internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia semakin kuat. Peristiwa pertempuran 10 November 1945 ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Laskar BPRI ini ia pimpin sejak 12 Oktober 1945 hingga Juni 1947. Pengalamannya yang luar biasa itulah yang menyebabkan ia ditarik ke Markas Besar Umum Tentara Keamanan Rakyat dan diberi pangkat militer Jenderal Mayor. Walaupun kalah dalam pertempuran 10 November 1945, masyarakat Surabaya menganggap Indonesia berhasil memukul mundur pasukan Inggris untuk sementara waktu dan menjadi momen terpenting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia (Sutomo, 1995).

Tahun 1950 Sutomo dipercaya menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata sekaligus merangkap Menteri Sosial Ad Interim di era Kabinet Burhanuddin Harahap hingga Maret 1956. Tahun 1955 Sutomo juga terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat melalui Partai Rakyat Indonesia. Partai ini merupakan perubahan dari Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang didirikan dan dipimpin langsung oleh Sutomo selama masa revolusi.

Sutomo selalu memprotes pemerintah mulai dari Sukarno hingga Soeharto. Ia memprotes presiden Sukarno pada tanggal 24 Agustus 1960, ia menggugat Kabinet Kerja yang dipimpin Sukarno di depan Pengadilan Negeri dengan topik telah membubarkan Konstituante hasil pemilu 1955. Walaupun tidak mendapat hasil memuaskan, ia telah melakukan upaya menegakan kehidupan berdemokrasi. Sedangkan pada masa kepemimpinan Suharto, ia mendukung aksi unjuk rasa para mahasiswa pada tahun 1965-1966 terkait penolakan komunisme di Indonesia. Di awal Orde Baru, Sutomo lebih memilih sungguh-sungguh dalam kehidupan imannya (Sutomo, 1995).

Pada 11 April 1978 Sutomo ditangkap dan dipenjarakan selama satu tahun dengan tuduhan melakukan tindakan subversif. Setelah ia keluar, Sutomo lebih mencurahkan perhatiannya untuk keluarga dan mendidik keempat anaknya. Ia juga fokus pada kegiatan sosial keagamaan serta menarik diri dari dunia politik dan pemerintahan. Sutomo wafat pada tanggal 7 Oktober 1981 di Padang Arafah saat sedang menunaikan ibadah haji. Jenazahnya dibawa pulang ke Indonesia dan oleh amanahnya, ia dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel, Surabaya.

Sutomo resmi dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan tahun 2008 di Istana Merdeka. Ny. Sulistina menerima langsung surat keputusan bernomor 041/TK/Tahun 2008 yang diserahkan langsung oleh presiden (Kompas.com, diakses tanggal 3 November 2021).

Penulis: Sarlota Naema Sipa
Instansi: UNIVERSITAS NUSA CENDANA
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.


Referensi

Fatmawati, Fadilah. 2015, “Peranan Bung Tomo Dalam Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya”, (Skripsi Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember).

Kurnia, Anwar. dan Moh Suryana. 2007,“Sejarah 3 SMP Kelas IX “ Jakarta:Yudistira.

Kimberly, Aira. 2020, “Bung Tomo: Pandu Garuda Yang Pantang Menyerah”, Jakarta: Media Pustaka.

Ricklefs, M.C.,2005 “Sejarah Indonesia Modern Tahun 1200-2004”, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Mekah.

Sutomo, Sulistina. 1995 “Bung Tomo Suamiku”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Waid, Abdul. 2019, “Bung Tomo” Yogyakarta:Laksana.