Kapitulasi Kalijati

From Ensiklopedia

Kapitulasi Kalijati merupakan penyerahan tanpa syarat pemerintah Hindia Belanda kepada pasukan Jepang dalam perundingan di Kalijati Subang Jawa Barat pada tanggal 8 Maret 1942 (Notosusanto 1975: 4-5). Pemerintah Hindia Belanda diwakili oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachouwer yang didampingi Letnan Jenderal Heindrik Ter Poorten sebagai Komandan Angkatan Perang Belanda di Jawa, sedangkan pihak Jepang dipimpin oleh Jenderal Histoshi Imamura (Parinduri, 20 Januari 2021).  Kapitulasi Kalijati menandai berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda dan menempatkan Jepang sebagai penguasa baru atas Indonesia (Ricklefs 1993: 294). Hak-hak kekuasaan ini memungkinkan Jepang membagi wilayah Indonesia dalam tiga komando, yaitu Tentara Keenambelas di Pulau Jawa dan Madura yang berpusat di Batavia, Tentara Keduapuluhlima di Sumatra dengan pusatnya Bukittinggi, dan Armada Selatan Kedua di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua Barat yang berpusat di Makasar (Kanahele 1967: 65).

Agresi militer Jepang ke Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan keterlibatan Jepang dari Perang Dunia II dan keinginannya untuk “memenangkan Perang Asia Timur Raya”. Setelah menyerang pangkalan militer Amerika Serikat Pearl Harbour di Hawai pada tanggal 8 Desember 1941, pasukan Jepang segera bergerak menyerang negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia (Ricklefs 1993: 294). Gelombang serangan pasukan Jepang dimulai pada tanggal 10 Januari 1942 di Tarakan, kemudian serangan menyebar ke Balikpapan, Pontianak,  Martapura dan  Banjarmasin. Militer Jepang berhasil mendarat di Pulau Jawa pada tanggal 1 Maret 1942, di tiga tempat sekaligus, yaitu Teluk Banten, Eretan Wetan (Jawa Barat), dan Kragan (Jawa Tengah) (Sihombing 1962: 62-68).

Setelah mendarat di Eretan Wetan, pasukan Jepang yang dipimpin Kolonel Tosyinari Syoji dengan kekuatan 5000 pasukan berhasil menduduki Subang dan mengusir tentara Hindia Belanda di pangkalan lapangan terbang Kalijati pada tanggal 1 Maret 1942. Hingga tanggal 5 Maret 1942, upaya tentara Hindia Belanda menguasai kembali Subang tidak berhasil, sehingga Kolonel Syoji berkesimpulan bahwa kekuatan tentara Hindia Belanda sangat terbatas dan terpusat di pegunungan Priangan (Notosusanto 1975: 3). Pada tanggal 5 Maret 1942, pasukan Jepang bergerak menyerbu Bandung dengan terlebih dahulu menggempur pertahanan Belanda di Ciater. Kewalahan menghadapi serangan Jepang, serdadu Belanda mundur dan bertahan di kota Lembang. Pada tanggal 7 Maret 1942, Lembang berhasil dikuasai oleh pasukan Jepang yang memaksa pihak Belanda mengajukan permintaan berunding untuk membicarakan mengenai genjatan senjata (Sedjarah.id, 10 Maret 2021).

Mayor Jenderal Jacob Jan Pesman yang bertanggung jawab atas Bandung mengutus Kapten Geharz guna menyampaikan permintaan berunding di Lembang setelah sehari sebelumnya (6 Maret 1942) mendapat perintah dari Letnan Jenderal Ter Poorten agar menghindari pertempuran di kota Bandung, karena dihuni oleh banyak orang (Notosusanto 1975: 3-4). Jenderal Hitoshi Imamura meminta agar dapat berunding langsung dengan Gubernur Jenderal Starkenborgh Stachouwer pada tanggal 8 Maret 1942 di Subang. Semula Gubernur Jenderal tidak bersedia setelah mendengar pertimbangan dari Letjen Ter Poorten. Akan tetapi, setelah kolonel Shoji mengancam akan mengebom kota Bandung melalui udara, maka Gubernur Jenderal bersedia berunding di Subang. Pada tanggal 7 Maret 1942 pukul 16.00, Gubernur Jenderal dan rombongan petinggi Belanda mendarat di Lapangan terbang Kalijati (Notosusanto 1975: 4). Pertemuan yang semula direncanakan di jalan Cagak Subang, akhirnya dilaksanakan di rumah perwira staf sekolah penerbang Hindia Belanda di lapangan Udara Kalijati (Sedjarah.id, 10 Maret 2021).

Perundingan yang dilaksanakan tanggal 8 Maret 1942 itu berlangsung dengan singkat. Jenderal Imamura membuka pembicaraan dengan menanyakan apakah Jenderal Angkatan perang dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda memiliki wewenang untuk melakukan perundingan ini. Berharap dapat mengulur waktu, GJ Tjarda mengatakan bahwa hanya Ratu Wilhelmina yang memiliki kewenangan dalam melakukan perundingan. Jenderal Imamura tidak memperdulikan jawaban dari GJ Tjarda dan meminta agar pihak Belanda segera mengumumkan penyerahan diri mereka melalui radio dengan tenggat waktu 1 hari (Isnaini 2012). Pada akhirnya, Ter Porten dan Tjarda menandatangani kapitulasi penyerahan tanpa syarat mereka kepada Jepang. Pada tanggal 9 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyiarkan penyerahan diri mereka melalui radio (Sedjarah.id, 10 Maret 2012).

Penulis: Julianto Ibrahim
Instansi: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Isnaeni, Hendri F. (2012). “Dalih Belanda Enggan Menyerah” https://historia.id/politik/articles/dalih-belanda-enggan-menyerah-DBNGD/page/1 31 Mei 2012, Diunduh 1 Juni 2022 pukul 19.15.

Kanahele, George S. (1967). “The Japanese Occupation of Indonesia: Prelude to Independence”, Ph.D. Tesis, Cornell University.

Notosusanto, Nugroho ed. (1975). Sejarah Nasional Indonesia VI: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Parinduri, Alhidayath. (2021). “Sejarah Perjanjian Kalijati: Latar Belakang, Isi, & Tokoh Delegasi”, https://tirto.id/sejarah-perjanjian-kalijati-latar-belakang-isi-tokoh-delegasi-f9mo, 20 Januari 2021, diunduh pada tanggal 1 Juni 2022 pukul 19.00

“Perjanjian Kalijati, Penyerahan Hindia Belanda Kepada Jepang”, https://www.sedjarah.id/perjanjian-kalijati-penyerahan-hindia-belanda-kepada-jepang/ 10 Maret 2021, Diunduh taanggal 1 Juni 2022 pukul 19.30.

Ricklefs, M.C. (1983). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sihombing, O.D.P., (1962). Pemuda Indonesia Menantang Fasisme Djepang. Jakarta: Sinar Djaya.