Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS)
Pasca-Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, kondisi keamanan tidak segera pulih di tengah usaha Belanda untuk kembali lagi berkuasa. Kehadiran pasukan sekutu diboncengi oleh tentara NICA (Netherlands Indisch Civil Administration) justru ditanggapi perlawanan dari bangsa Indonesia. Penduduk di berbagai tempat melihatnya sebagai siasat Belanda untuk kembali berkuasa. Hal ini menyebabkan terjadi pertempuran-pertempuran bersenjata antara rakyat dengan tentara NICA baik di pusat maupun di daerah-daerah. Kondisi tersebut melatarbelakangi munculnya yang dalam waktu singkat puluhan laskar-laskar/ badan-badan perjuangan di berbagai daerah. Laskar-laskar rakyat dan badan perjuangan tumbuh dimana-mana pada bulan-bulan awal revolusi.
Salah satu laskar yang berdiri adalah Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS) pada 8 Oktober 1945. KRIS merupakan peleburan organisasi masyarakat Sulawesi di Pulau Jawa, seperti Pertolongan Kaum Celebes (PKC), Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS), dan Gerakan Pemuda Sulawesi Selatan (GPSS). Meskipun terbentuk di Jakarta, anggota-anggotanya berasal dari Sulawesi dan Indonesia bagian timur. Tujuannya adalah untuk menyatukan perjuangan masyarakat Sulawesi yang berada di Jakarta dan Pulau Jawa secara umum. Bentuk perjuangan KRIS adalah mengadakan infiltrasi langsung ke dalam tubuh KNIL untuk merongrong kekuatan militer Belanda; dan membentuk barisan-barisan rakyat di daerah kekuasaan KNIL, seperti di Kota Makassar dan daerah lainnya (Mukhlis dkk. 1987: 13-15). KRIS juga berjuang di lapangan pendidikan guna memajukan pendidikan generasi bangsa yang baru merdeka, seperti dengan membuka Sekolah Rakyat KRIS pada 15 Januari 1946.
Seperti banyak badan perjuangan lainnya, KRIS adalah organisasi politik dan juga militer. Di antara yang terlibat dalam pembentukannya adalah A.”Zus” Ratulangie, Barth Ratulangie, H.M. Idrus G.P., dan Kahar Muzakkar. Barth Ratulangie terpilih menjadi ketua pertama dalam kepemimpinan KRIS. Dalam waktu singkat, organisasi ini berkembang pesat di kota-kota di Jawa seperti di Yogyakarta dan Surabaya. (Kadir dkk. 1984: 242).
Kegiatan KRIS mula-mula diarahkan untuk melindungi orang-orang Minahasa di Jawa yang dicurigai karena sejarah kerjasama mereka dengan Belanda, sekaligus untuk melakukan propaganda pro-Republik. Sayap politik KRIS terlibat dalam usaha meyakinkan pemerintah Republik untuk membentuk Komisariat Sulawesi di dalam lingkungan Kementerian Dalam negeri, yang sebagian besar stafnya diisi oleh orang-orang KRIS, termasuk Manai Sophian, dan yang menangani masalah-masalah mengenai Sulawesi. Di Jawa Barat KRIS berkerja erat dengan Angkatan Pemuda Indonesia, salah satu kelompok pemuda radikal, dan kemudian menyerap suatu kelompok yang brafiliasi, Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi, yang banyak anggotanya merangkap menjadi anggota KRIS (Harvey 1989: 138-139).
KRIS kemudian terlibat dalam mengorganisir pengiriman pasukan dari Jawa ke wilayah Sulawesi. Melalui TRIPS (Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi) dilatih tenaga-tenaga yang bersedia dikirim ke Sulawesi untuk membantu perjuangan rakyat. Di Sulawesi Selatan, KRIS berusaha didirikan, seperti dengan berdirinya KRIS cabang Suppa, KRIS cabang Gowa, dan KRIS cabang Soppeng (Kadir dkk. 1984: 250).
Penulis: Ilham Daeng Makkelo
Instansi: Universitas Hasanuddin
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Harvey, Barbara Sillars. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar. Dari Tradisi ke DI/TII. Jakarta: Grafiti Press.
Mukhlis dkk, 1987. Monumen Perjuangan di Sulawesi Selatan. Jakarta: Depdikbud.
Kadir, Harun, dkk, 1984. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Sulawesi Selatan 1945-1945. Ujung Pandang: LP Unhas.