Abdul Kahar Muzakkar

From Ensiklopedia
Abdul Kahar Muzakkar. Sumber: Perpustakaan Nasional RI  - L15471


Abdul Kahar Muzakkar adalah pemimpin gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi. Gerakan ini menjadi salah satu perlawanan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia, yang berlangsung selama kurang lebih 15 tahun, yakni sejak 1950-1965 (Faisal, 2017: 144). Sebelum menjadi pemimpin perlawanan, Kahar Muzakkar merupakan seorang pejuang kemerdekaan, yang aktif bidang pergerakan dan militer. Meskipun dalam narasi sejarah ia banyak disebut sebagai ‘pemberontak’, tetapi ia juga dikenal sebagai seorang pengusaha, pemimpin yang sangat karismatik, dan seorang komandan pertempuran yang terpercaya kejituan siasat perangnya (Mattulada, 1978: 178).

Abdul Kahar Muzakkar memiliki nama asli La Domeng. Lahir pada 24 Maret 1921, di sebuah desa bernama Lanipa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan (Harvey, 1977: 157). Kahar Muzakkar merupakan anak kedua dari 13 bersaudara, dari orang tuanya yang bernama Malinrang dan Hajjah kessa (Aqamuz, 2001: 2). Ayah Kahar merupakan seorang pengusaha yang sukses dan juga terpandang, oleh sebab itu sang Ayah bisa memberikan fasilitas pendidikan yang memadai untuk anak-anaknya. Bahkan sejak tingkat menengah, Kahar sudah memperoleh kesempatan untuk bisa menempuh pendidikannya di Pulau Jawa (Bruinessen, 2013: 149).

Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat dasarnya di Palopo, pada 1938 Kahar dikirim oleh orang tuanya ke Solo, Jawa Tengah, untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru Mu’allimin Muhammadiyah.  Akan tetapi, belum sampai selesai ia menamatkan pendidikannya, pada tahun 1939, menjelang usianya yang ke-18 Kahar Muzakkar terpikat oleh seorang ‘Putri Solo’ bernama Siti Walidah. Mereka akhirnya menikah dan kembali ke kampung halaman Kahar pada 1941. (Aning, 2005: 6; Druce, 2020: 154).

Sekembalinya ke Palopo pada 1941, berkat kecerdasannya, Kahar Muzakkar menjadi guru sekolah Muhammadiyah di sana. Bahkan ia juga aktif menjadi anggota sekaligus pengurus dari Hizbul Wathan, sebuah organisasi kepanduan milik Muhammadiyah (Aning, 2005: 6). Satu tahun kemudian sekembalinya Kahar ke Sulawesi, Jepang datang untuk ‘menduduki’ Indonesia. Selama periode tersebut, ia bekerja untuk Jepang di Makassar, namun tidak lama kemudian Kahar terlibat konflik dengan pemimpin adat. Ia dituduh melawan adat karena menghasut orang-orang untuk mengecam sistem feodal dan menuntut penghapusan sistem aristokrasi. Hal ini membuat ia akhirnya dijatuhi hukuman ri-pappang tana, yakni diusir dari Tanah Palopo (Dijk, 1981: 155-156).

Setelah dijatuhi hukuman harus meninggalkan kampung halaman, Kahar Muzakkar dan keluarga kecilnya memutuskan kembali ke Surakarta pada 1942. Di Surakarta mereka kembali menata hidup dan membuka sebuah usaha dagang bersama dengan teman-teman seperantauan dari Palopo (Dijk, 1981: 156). Perusahaannya tersebut diberi nama “Usaha Semangat Muda”. Nampaknya jiwa berdagang dari sang Ayah diwariskan dengan baik kepadanya. Berkat keuletan dan dukungan penuh dari keluarga –khususnya sang Istri– usaha Kahar berjalan dengan baik. (Aqamuz, 2001: 4).

Usaha keluarga Kahar terus berkembang pesat, hingga ia berhasil mendirikan sebuah usaha baru di Jakarta, yang diberi nama “Toko Luwu” (Aning, 2005: 7).  Selain itu, ia juga memperluas usahanya dengan bergabung bersama dengan Haji Idrus, membuka usaha pembakaran kapur di Jakarta dan Bandung (Aqamuz, 2001: 4). Seiring dengan berkembangnya usaha dari Kahar Muzakkar, ia memboyong keluarga kecilnya untuk pindah ke Ibukota Jakarta. Di kota inilah, ia memulai perjalanannya dalam usaha untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia bergabung bersama beberapa laskar, dan bahkan ia sendiri kemudian menjadi pelopor berdirinya laskar-laskar tersebut.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Kahar Muzakkar memulai perjuangannya dengan menjadi salah satu pendiri Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (GEPIS). Pada 21 Oktober 1945, GEPIS bergabung dengan organisasi pemuda Sulawesi lainnya, dan berubah menjadi Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS). Tidak lama berselang, APIS kemudian menjadi sebuah organisasi baru yakni Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS)  (Dijk, 1981: 156; Aning, 2005: 7). Ketika tergabung kedalam KRIS, Kahar menjadi sekretaris umum dan Komandan Laskar yang memiliki tugas untuk membentuk cabang-cabang baru di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di dalam tubuh KRIS, terdapat banyak pemuda yang bergabung, dengan mayoritas dari mereka berasal dari Minahasa. Pada periode pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, terdapat banyak sekali pemuda Minahasa dan Manado yang menjadi anggota dari KNIL (Koninklijke Nederlandsch-Indie Leger). Hal itu menyebabkan banyak dari pemuda Minahasa dan Manado yang dianggap pro-Belanda. (Dijk, 1981: 156). Oleh karena itu, KRIS dibentuk dengan tujuan untuk membela diri dan menunjukkan bahwa mereka tidak pro-Belanda, dan akan berjuang untuk Republik Indonesia. Selain itu, Jozef A. Warouw (1999), yang juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri NIT, menjelaskan bahwa, “....KRIS ingin menyampaikan dan melestarikan nilai-nilai perjuangan kemerdekaan tahun 1945 yang direbut dan dipertahankan dengan lumuran darah...” (Warouw,  1999: vi).  

Terdapatnya berbagai masalah internal membuat Kahar Muzakkar tidak bertahan lama di KRIS. Ia memutuskan untuk keluar dan pindah ke Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia mendirikan sebuah badan baru, yang kemudian diberi nama Batalyon Kesatuan Indonesia  (BKI) (Druce, 2020: 155). Adapun anggota dari  BKI ini mayoritas adalah mantan para tahanan di Nusakambangan, yang diberikan pelatihan militer singkat oleh Kahar Muzakkar. Menurut penjelasan beberapa sumber, para mantan tahanan ini bisa keluar dari Nusakambangan atas negosiasi yang dilakukan oleh Kahar Muzakkar (Druce, 2020: 155; Dijk, 1981: 156; Bruinessen, 2013: 149). Laskar ini kemudian menjadi bagian Angkatan Perang RI, yang diperbantukan pada Markas Besar Tentara (Aning S., 2005: 8). Dari sinilah Kahar Muzakkar mulai merintis karir militernya yang resmi dengan serius.

Karir militer Kahar Muzakkar menjadi semakin cemerlang ketika pada Maret 1946, laskar besutannya resmi menjadi bagian dari Tentara Republik untuk Persiapan (Pembebasan) Sulawesi (TRIPES), dengan ia sendiri sebagai komandannya, berdasarkan mandat langsung dari Panglima Besar Jenderal Soedirman (Dijk, 1981: 157). Selama menjalankan misinya ini, TRIPES beberapa kali mengalami perubahan nama dan status. Setelah perjanjian Linggarjati pada November 1946, TRIPES berubah nama menjadi Lasykar Sulawesi. Sebagai sebuah laskar, Lasykar Sulawesi kemudian tergabung kedalam Biro Perjuangan, Menteri Pertahanan, dan berubah nama menjadi Resimen Hasanuddin. Hal ini menandakan bahwa kontrol dari pasukan ini bukan lagi berada di bawah Tentara Republik, melainkan berada di bawah kontrol Menteri Pertahanan. (Dijk, 1981: 157, Aning, 2005: 8-9).

Sementara itu pada 1946/47 di Jawa, lebih tepatnya di Madiun, Kahar Muzakkar kembali membentuk sebuah batalyon yang diberi nama Barisan Berani Mati (Druce, 2020: 155). Pada 1947, Tentara Republik Indonesia berubah nama menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia), dan kemudian mengharuskan semua “unit-unit tidak beraturan” tergabung menjadi satu di bawah payung TNI. Akibatnya, Resimen Hasanuddin pimpinan Kahar berubah menjadi Brigade II.X, dan terdapat pula brigade-brigade lain, seperti misalnya brigade I.X di bawah komando J.F. Warouw. Pada 1948, di bawah komando AH. Nasution –yang pada saat tersebut merupakan Kepala Staf Angkatan Darat– brigade-brigade tersebut menjadi satu brigade baru, yakni Brigade XVI. Pada saat inilah, Kahar Muzakkar mendapatkan posisi penting sebagai Komandan II, dengan J.F. Warouw sebagai Komandan Brigade XVI (Dijk, 1981: 160-161).

Tidak lama berselang, terjadi perselisihan paham antara Kahar Muzakkar dan Warouw, yang menyebabkan pasukan mereka terbagi menjadi dua. Kahar dan pasukannya akhirnya pindah ke Yogyakarta, sedangkan Warouw dan pasukannya tetap di Jawa Timur (Druce, 2020: 155-156). Ketika bertugas di Yogyakarta, Kahar kembali terlibat konflik, kali ini dengan Letnan Kolonel Soeharto. Akibatnya, Kahar Muzakkar ditegur dan direndahkan. Selain itu, ia dan pasukannya juga dilarang memasuki Kota Yogyakarta (Dijk, 1981: 160-161). Untuk mengurangi ketegangan, akhirnya pada 1949 Kahar diberikan tugas baru yakni sebagai Komandan dari Komando Grup Seberang, yang meliputi Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku, dan Sulawesi. Pasukan inilah yang kemudian menjadi basis utama perlawanan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan (Aning, 2005: 9).

Dalam kapasitasnya sebagai komandan dari Komando Grup Seberang, pada 1950 Kahar kembali ke Sulawesi, untuk melancarkan negosiasi bersama dengan para pasukan gerilya daerah khususnya Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) (Harvey, 1989: 182). Kahar tiba di Makassar pada 22 Juni 1950. Setibanya di kota tersebut ia langsung melakukan perjalanan untuk membujuk para gerilyawan agar dapat menerima kondisi yang diusulkan oleh republik (Harvey, 1989: 182) Pada 1 Juli 1950, Kahar kemudian menemui Alex Kawilarang untuk menyampaikan proposal yang dibuat oleh para gerilyawan (Bakar, 2018: 57). Mereka meminta jumlah gerilyawan yang diterima di Angkatan Darat, setidaknya harus berjumlah satu brigade, dan tidak dipisah-pisahkan. Artinya, mereka tetap ingin menjadi sebuah kesatuan, Di bawah payung Brigade Hasanuddin (Harvey, 1989: 183, Dijk, 1981: 160-161). Akan tetapi, Kawilarang kemudian menolak permintaan tersebut. Kawilarang justru mengeluarkan dekrit yang berisi pembubaran (KGSS) (Zid, 2009: 42)

Setelah mendengar jawaban dari Kawilarang, Kahar Muzakkar merasa sangat kecewa atas keputusan tersebut. Ia memutuskan untuk meletakkan jabatan di Angkatan Darat dan menyerahkan lencananya kepada komandan. Ia kemudian memilih bergabung bersama dengan para personel KGSS yang dibubarkan Kawilarang, untuk kemudian memimpin perlawanan di Sulawesi Selatan (Azizah, 2019: 98, Bakti, 2005: 124). Sesaat setelah ia memutuskan untuk keluar dari AD dan bergabung dengan pasukan gerilya Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar bertemu dengan Andi Sose (Komandan Batalyon IV Wolter Monginsidi, yang kemudian bergabung dengan gerakan perlawanan Kahar Muzakkar). Ia dibawa ke sebuah daerah bernama Baraka, yang terletak di Kabupaten Enrekang. Daerah inilah yang kemudian menjadi basis pertahanan pertama DI/TII Kahar Muzakkar (Aisyah, dkk., 2018: 99). Sejak saat itulah, Kahar Muzakkar memulai petualangannya untuk bergerilya, dari hutan ke hutan di Sulawesi Selatan.

Selama masa-masa awal pemberontakan Kahar, pemerintah beberapa kali berusaha untuk menyelesaikan konflik dengan Kahar Muzakkar. Salah satu usaha pemerintah yang pernah dilakukan adalah dengan melakukan Perundingan Enrekang, meskipun pada akhirnya perundingan ini juga berujung pada kegagalan (Azizah, 2018: 98). Perlawanan menjadi semakin kuat, ketika pada 1953 Kahar Muzakkar secara resmi memutuskan untuk bergabung dengan gerakan DI/TII Kartosuwiryo yang berbasis di Jawa Barat. (Aisyah, dkk., 2018: 56; Advocate, edisi 10 Agustus 1953). Gerakan Darul Islam atau DI/TII, merupakan sebuah gerakan yang dilakukan dengan tujuan untuk mendirikan sebuah negara berdasarkan hukum Islam. SM. Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia ini pada 7 Agustus 1949, sebagai bentuk kekecewaannya terhadap hasil keputusan perjanjian renville (Hasman, 2013: 38).

Untuk mengumumkan gerakannya ini, Kahar Muzakkar menempelkan pamflet di pohon-pohon, sementara sekitar 400 anak buahnya menyerang Ibukota Sulawesi, Makassar, lebih tepatnya ingin merebut Kota Pangkadjene (The West Australian, edisi 10 Agustus 1953). Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar terfokus pada wilayah pedalaman sekitar Sulawesi Selatan. Pada bulan Juli 1950, ia mengawali perlawanannya dengan masuk ke hutan-hutan bermodalkan senjata, peralatan-peralatan, dan sejumlah uang (Harvey, 1989: 196, Ahmad, 2014: 304). Hingga 1954, Kahar Muzakkar berhasil mengumpulkan sekitar 20.000 anggota, yang membantunya dalam melancarkan aksi tersebut (Newcastle Morning Herald and Miners Advocate, edisi 8 Desember 1954). Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, gerakan ini menimbulkan kerusuhan dan pertumpahan darah di Sulawesi Selatan. Jembatan dirusak, pohon-pohon ditebangi, saluran telepon diputuskan, dan banyak kerusuhan-kerusuhan lainnya (Wulandari, dkk., 2020: 166). Koran Australia, Advocate, edisi 26 Februari 1954, menerbitkan sebuah artikel yang juga menceritakan kekacauan yang terjadi di Makassar. Di dalam artikel dijelaskan bahwa:

“...A military communique from Macassar...has announced that 400 armed rebels had attempted to capture the town of Pangkadjene...the rebels also tried to blow up a rail bridge and cut telephone lines. As the gang withdrew it kidnapped a number of male hostages from a nearby village...” (Advocate, edisi Jumat, 26 Februari 1954).

Selain itu, surat kabar The Castle Sun edisi 15 Oktober 1953 juga memberitakan bahwa pasukan Kahar Muzakkar menyerang orang-orang  Kristen di Sulawesi Selatan. Dalam surat kabar tersebut disebutkan bahwa orang-orang Kristen diusir dari gereja, dianiaya, bahkan hingga dibunuh oleh para pasukan Kahar Muzakkar. Hal ini dilakukan karena mereka menolak untuk memeluk agama Islam. Terhitung semenjak 1951 hingga 1953, sebanyak 20.000 orang Kristen di Sulawesi Selatan melarikan diri dari rumah. Banyak gereja, sekolah, hingga buku-buku agama yang dibakar (The Newcastle Sun, edisi 15 Oktober 1953).

Seiring dengan berjalannya waktu, terjadi perbedaan pandangan antara Kahar Muzakkar dengan Kartosuwiryo. Kartosuwiryo menghendaki bahwa bentuk negara tetap sebagai negara kesatuan Islam, sementara sebaliknya, Kahar Muzakkar menghendaki sebuah negara federasi Islam. Oleh karena itu, ia kemudian mencetuskan gagasan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII), yang ia kemukakan pada Pertemuan Urgentie Pejuang Islam Revolusioner III (PUPIR III). Pertemuan ini diselenggarakan pada 14 Mei 1962 (Bakar, 2018:57). Dari pertemuan ini dilahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai Piagam Makalua, dan pada saat itu pula Kahar mendeklarasikan berdirinya Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII). Hal ini membuat secara otomatis pula ia keluar dari Darul Islam (Bakar, 2018: 58).

Perlawanan yang dilakukan oleh Kahar Muzakkar melalui Gerakan DI/TII-nya di Sulawesi Selatan, tidak selalu meninggalkan kesan buruk, khususnya bagi rakyat Sulawesi Selatan. Di balik upaya perlawanannya, Kahar juga berjasa terhadap perkembangan pendidikan, khususnya di bagian pedalaman Sulawesi Selatan. Pada periode awal perlawanannya, Kahar dengan dibantu oleh istri keduanya, Corry van Stenus, mendirikan sekolah di wilayah pedalaman Sulawesi Selatan (Azizah, 2019: 100).

Adapun sekolah yang dibangun adalah sekolah umum dan sekolah keputrian yang berada di bawah payung Gerakan Wanita Islam, gagasan Kahar dan sang Istri (Gonggong, 1992: 109). Dalam menjalankan sekolah ini, Kahar Muzakkar menyerahkan kepengurusannya kepada Corry van Stenus, yang dibantu oleh Sitti Hamry, istri dari Bahar Mattalioe. Siswa-siswa yang bersekolah disini berasal dari berbagai wilayah. Khusus untuk sekolah keputrian, dilaksanakan selama enam bulan, dengan mata pelajaran berupa keterampilan wanita seperti menyulam dan menjahit (Azizah, 2019: 100). Selain membantu untuk mengurusi hal-hal seperti di atas, dalam surat kabar Berita Harian edisi 22 Oktober 1961, disebutkan pula bahwa:

“Kahar Muzakkar baharu-baharu ini dalam bulan September telah menyatakan keinginannya untuk “kembali”. Ia telah mengirim istrinya Corry Muzakkar, sebagai wakil pribadinya untuk menemui Panglima Sulawesi Selatan dan Tenggara Kol. Andi Yusuf dan Menteri Keamanan dan Kepala Staf Angkatan Darat General Nasution di Jakarta....Corry Muzakkar telah masuk kembali kedalam hutan dengan membawa surat dari General Nasution pada tanggal 28 September.....” (Berita Harian, edisi 22 Oktober 1961).

RPII yang dicetuskan oleh Kahar Muzakkar tidak bertahan lama, karena permasalahan internal yang terus-menerus membuat gerakan ini kehilangan banyak anggota. Seiring dengan berjalannya waktu, oleh karena pasukan dan pasokan logistik mereka yang terus-menerus berkurang, posisi Kahar Muzakkar semakin terdesak. Hal ini menyebabkan Kahar dan pasukannya yang tersisa harus mundur, dan masuk ke hutan di wilayah Sulawesi Tenggara (Azizah, 2018: 100) Situasi ini segera dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melumpuhkan Kahar Muzakkar.

Pada 27 Januari 1965, satu pleton Prajurit Siliwangi di bawah komando Pembantu Letnan Satu Umar Sumarsana, diterjunkan di sekitar Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara. Sebelum mengepung wilayah tersebut, terlebih dahulu Prajurit Siliwangi menutup semua akses/jalur pelarian. Akhirnya, pada 3 Februari, Kahar Muzakkar berhasil dilumpuhkan oleh Prajurit Siliwangi (Tirto.id). Kabar mengenai kematian Kahar Muzakkar menjadi berita hangat di berbagai surat kabar pada periode tersebut. “....Kahar Muzakkar, pemberontak selama 15 tahun tertembak mati di hutan di wilayah Sulawesi Tenggara, namun, mayatnya hingga hari ini tidak juga diketahui...” (Azizah, 2018: 100). Meskipun Abdul Kahar Muzakkar dikenal sebagai “tokoh perlawanan”, akan tetapi bagi banyak masyarakat di sekitar Luwu, ia adalah seorang pelopor kemerdekaan, yang telah memupuk perjuangan rakyat Sulawesi Selatan. Namanya bahkan masih menjadi legenda, hingga saat ini.

Penulis: Allan Akbar
Instansi: Bank Indonesia Institute
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Advocate, edisi Jumat, 26 Februari 1954

Berita Harian, edisi 22 Oktober 1961

Newcastle Moring Herald and Miners Advocate, edisi 8 Desember 1954

Newcastle Morning Herald and Miners Advocate, edisi 10 Agustus 1953

The Castle Sun, edisi 15 Oktober 1953

The West Australian, edisi 10 Agustus 1953

Abbas, Yunus Wahid, Hamzah Halim, “Gagasan Negara Hukum dan Demokrasi oleh Abdul Qahhar Mudzakkar”, dalam Konsentrasi Hukum Tata Negara, Universitas Hasanuddin, 2010.

Ahmad, Taufik, “Mengail di Air Keruh: Gerakan PKI di Sulawesi Selatan 1950 1965”, dalam Patanjala, Vol. 6, No. 2, Juni 2014: 301-314.

Aisyah, Nur., Patahuddin, dan H.M. Rasyid Ridha, “Baraka: Basis Pertahanan DI/TII di Sulawesi Selatam (1953-1965)”, dalam Jurnal Pattingalloang: Pemikiran dan Pendidikan dan Penelitian Kesejarahan, Vol. 5, No. 2, April-Juni 2018, 49-60.

Aning S., Floriberta. 2005. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia Abad 20. Tangerang: Agromedia Pustaka.

Aqamuz, Erli. 2001. Profil Abdul Qahhar Mudzakkar: Patriot Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia dan Syahid NII/TII. Tangerang: Yayasan Al-Abrar.

Azizah, Nurul, “Corry Van Stenus: Perempuan dalam Perjuangan Abdul Qahhar

Mudzakkar 1950-1965”, dalam Jurnal Rihlah, Vol. 8, No. 1, 2020, 31-45.

____________, “Islamisme: Ideologi Gerakan Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan 1952-1965”, dalam Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 15, No. 2, 2019,  95-104.

Bakar, Abu, “Konsepsi Ketatanegaraan Kahar Muzakkar”, dalam Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan  Islam, Vol. 8, No. 1, April 2018, 51-77.

Bakti, Andi Faisal. 2005. “Remembering the Regional Revolution in Sulawesi: A Study of The Collective Memories of the ‘Long Qahhar 1950-1965’

Movement”, dalam Mary Zurbuchen, Beginning to Remember: The Past in the Indonesian Present. Singapore-Washington: University of Washington Press-Singapore University Press.

Bruinessen, Martin Van (ed). 2013. Contemporary Developments in Indonesian

Islam: Explaining the “Conservative Turn”. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Dijk, C. Van. 1981. Rebellion Under the Banner of Islam The Darul Islam in Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff.

Druce, Stephen Charles, “A South Sulawesi Hero and Villain: Qahhar Mudzakkar(Kahar Muzakkar) and His Legacy”, dalam International Journal of Asia Pacific Studies, Vol. 16, No. 2, (2020), 151-179.

Faisal, Ahmad, “Integrative Approach in Enforcing Sharia Islam in South Sulawesi”, dalam Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 13, No. 2, 2017, 140-155.

Gonggong, Anhar. 1992. Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot hingga Pemberontak. Jakarta: Grasindo.

Harvey, Barbara Sillars. 1977. Permesta: Half a Rebellion. New York: Cornell University Press.

____________________. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TII. Jakarta: Grafiti Press.

Haryanto. 2014. Klanisasi Demokrasi Politik Klan Qahhar Mudzakkar di Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Penerbit PolGov. Hasman, “Darul Islam:

Studi Ide Pembentukan dan Gerakan Negara Islam di Sulawesi Selatan”, Skripsi, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2013.

Muzakkar, Abdul Qahhar. 1982. Revolusi Ketatanegaraan Indonesia: Menuju Persaudaraan Manusia. :Khaeru Ummah.

______________________. 1999. Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia:Koreksi Pemikiran Politik Pemerintahan Soekarno. :Madina Press. Syahabuddin,

“Demokrasi dalam Pandangan Abdul Kahar Mudzakkar”, Disertasi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006.

Warouw, J.F. 1999. KRIS 45 Berjuang Membela Negara: Sebuah Refleksi Perjuangan Revolusi KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia). Jakarta: PustakaSinar Harapan.

Wulandari, Eka., Jumadi, dan La Malihu, “Aktivitas Gerombolan DI/TII danDampaknya Terhadap Masyarakat Sidrap 1950-1965”, dalam Jurnal Pemikiran dan Penelitian Kesejahteraan, Vol. 7, No. 2, Agustus 2020, 160 171.

Zid, Muhammad, dan Sofjan Sjaf, “Sejarah Perkembangan Desa Bugis-Makassar Sulawesi Selatan”, dalam Jurnal Sejarah Lontar, Vol. 6, No. 2, Juli Desember 2009, 38-53.

https://tirto.id/legena-kahar-muzakkar-terbunuh-tapi-dianggap-masih-hidup-cuz7 diakses pada 16 September 2021.