Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI)
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) berdiri pada 25 Oktober 1965, tepat di tengah suasana di mana penumpasan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), dan kaum kiri secara umum, menjadi agenda utama utama. KAMI beranggotakan organisasi mahasiswa Islam, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan sejumlah organisasi mahasiswa Katolik. Mereka kerap melakukan demostrasi jalanan dan kempanye pamflet. Selain itu, KAMI disponsori oleh, dan bekerjasama dengan, Brigadir Jenderal Kemal Idris dan Kolonel Sarwo Edhie yang antikomunis. Sejak Januari 1966, KAMI mengungkapkan aspirasinya melalui demontrasi besar-besaran dengan tuntutan Tritura (Tri Tuntutan Hatinurani Rakyat): bubarkan PKI, bersihkan kabinet, dan turunkan harga. Dalam Sebagian besar aksinya, KAMI bekerjasama erat dengan Komando Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) yang mewakili anak-anak sekolah, dan Komando Aksi Sarjana Indonesia (KASI) yang dibentuk pada awal tahun 1966 dan mewakili para lulusan perguruan tinggi (Cribb dan Audrey Kahin 2012; Ricklefs 2005).
Pada Februari 1966 terjadi peristiwa demonstrasi berskala besar yang melibatkan puluhan ribu orang, berjalan tidak terkendali dan bahkan cenderung brutal. Didorong sentimen anti-komunis dan anti-Cina yang kian berkobar, maka kantor Pusat PKI dibakar dan diikuti aksi bakar rumah dan fasilitas lain. Puncak gerakan protes tersebut terjadi pada 24 Februari 1966, saat demonstrasi digelar di depan Istana Negara. Peserta demontrasi akhirnya bentrok dengan Resimen Cakrabiwara (Pasukan Pengawal Presiden) hingga menelan korban jiwa, salah satunya adalah seorang demonstran dari Universitas Indonesia (UI), Arif Rahman Hakim. Demonstrasi besar-besaran itu dilakukan KAMI dan rombongannya sebagai protes atas reshuffle kabinet yang diumumkan Sukarno pada 21 Februari 1966. Mereka tidak puas karena Presiden masih melibatkan orang-orang PKI di pemerintahan. Sehari setelah demonstrasi besar itu KAMI akhirnya dibubarkan pemerintah (Fic dkk. 2005).
Pada awal rezim Soeharto (Orde Baru), mahasiswa secara terbuka menjadi pendukungnya dengan mengangkat sejumlah pemimpin KAMI dalam berbagai jabatan pemerintahan. Namun demikian, pada awal 1970-an, KAMI terpecah antara mereka yang semakin terserap dalam pemerintah dan mereka yang kritis terhadap kebijakan Orde Baru. Pada 1973, kelompok pro-pemerintah menjadi inti dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI). Mahasiswa yang tidak puas terhadap Orde Baru mempelopori protes terhadap sistem otoriter yang semakin berkembang dan korupsi yang merejalela. Mereka menjadi penggerak utama demonstrasi Malari pada Januari 1974 yang meminta penurunan harga dan diakhirinya korupsi. Beberapa pemimpin mahasiswa ditangkap dalam pembersihan aksi ini, tetapi demostrasi kembali terjadi pada tahun 1977-1978, terutama di Bandung dan Jakarta yang menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden. Akan tetapi, pemerintah memangkas aktivitas mahasiswa tersebut melalui Undang-Undang Normalisasi Kehidupan Kampus 1978, di mana para dekan universitas diberi tanggung jawab untuk menjaga agar kampus bersih dari politik praktis (Cribb dan Audrey Kahin 2012).
Penulis: Sarkawi
Instansi: Universitas Airlangga Surabaya
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Cribb, Robert dan Audrey Kahin. Kamus Sejarah Indonesia. Jakarta: Komunitas
Bambu, 2012.
Fic, Victor M dkk. Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2005.