Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB)
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, disingkat dengan KOPKAMTIB, dibentuk pada 10 Oktober 1965 oleh Jenderal Soeharto. Pembentukan KOPKAMTIB ini adalah pengartian Soeharto terhadap perintah Presiden Sukarno dalam mengambil komando bersama (Ricklefs, 2005:564-565). Kemudian, pada tanggal 16 Oktober 1965, Suharto memaksa Sukarno untuk mengangkatnya menjadi panglima bersama bersenjata dan kepala staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI), yang direkrut dan direorganisasi oleh Suharto pada akhir November 1965. Selain itu, pada pertengahan November 1965, Suharto memprakarsai pembersihan umum di lingkungan Pemerintah Indonesia dari semua elemen PKI (Redfern, 2010:523).
Dalam beberapa bulan pertama setelah G30S terlihat tanda-tanda konflik yang jelas antara Presiden Sukarno dan Jenderal Suharto dan para perwira lainnya. Konflik-konflik ini mungkin disebabkan dua hal, yang pertama desakan bersama agar PKI dihancurkan serta keengganan untuk mempercayakan tugas kepada Presiden Sukarno, dan kedua keinginan Suharto dan pihak lain untuk membatasi pengaruh dan campur tangan Sukarno dalam urusan militer dan untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dari kekuasaan. Seperti pada 1-2 Oktober, di tengah-tengah Gerakan 30 September, Jenderal Suharto menolak mentah-mentah usulan Presiden Sukarno tentang Jenderal Pranoto sebagai Panglima Angkatan Darat dan bersikeras agar dia saja yang ditugaskan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban (Redfern, 2010:523).
KOPKAMTIB ini menjadi organisasi keamanan terkemuka dimasa Orde Baru sebagai upaya pemberantasan paham komunis. Sampai pada akhir tahun 1968 setelah tidak ada lagi ancaman dari PKI, penjagaan ketat terhadap penduduk masih dilakukan oleh KOPKAMTIB (Ricklefs 2005:580).
Pada masa Orde Baru, KOPKAMTIB memiliki tugas untuk mengamankan suara Golkar pada saat pemilu. KOPKAMTIB ditugaskan menyaring kandidat semua partai dan mendiskualifikasi sekitar 20% dari mereka karena tidak dapat dipercaya secara politik. Para perwira militer dan pejabat-pejabat yang turun ke desa diwajibkan menarik suara dalam jumlah yang sudah ditentukan. Intimidasi disebarluaskan. Sehingga kemenangan GOLKAR pada pemilihan umum 1971, sebesar 62,8% suara (Ricklefs 2005:585).
Pada awal tahun 1970an, kemakmuran yang melimpah pada segelintir elite dan sekutu pedangang Cina, mengundang reaksi masyarakat khususnya mahasiswa, seperti munculnya lelucon-lelucon politik yang tersebar luas samapai demonstrasi dan kekerasan anti-Cina. Kritik dilontarkan kepada pemerintah dan Ali Murtopo yang dianggap dekat dengan Soeharto. Kepala KOPKAMTIB saat itu, Jendral Soemitro, membuka diri untuk berdialog dengan para pengkritik rezim, sampai pecahnya peristiwa MALARI (Malapetaka Januari) ditahun 1974. Kerusuhan masa ini dapat diredam pada 17 Januari 1974, pemerintah menyampaikan kecaman dalang kerusuhan ini adalah aktivis Masyumi dan PSI. KOPKAMTIB sebagai ersama keamanan Orde Baru, menahan 770 orang (Ricklefs, 2005:588).
Seiring dengan tidak adanya Komunisme sebagai ancaman nasional pada masa Orde Baru, pada sekitar tahun 1977 eufemisme-eufemisme atau “ideology impor”, menjadi ancaman baru berupa islam radikal. Pada Februari 1977, sebelum pemilu, KOPKAMTIB mengumumkan bahwa mereka telah mengidentifikasi adanya sebuah organisasi bernama Komando Jihad yang cenderung kepada kekerasan demi mencapai tujuan terbentuknya Negara Islam. Beberapa kalangan menduga bahwa organisasi yang dimaksud tidak ada atau palsu, hanya buatan KOPKAMTIB yang saat itu bertugas sebagai mesin keamanan rezim (Ricklefs, 2005:597-598).
Akhir dari KOPKAMTIB, bersamaan dengan digantikannya Benny Murdani dari Panglima ABRI, karena dianggap terlalu kuat. KOPKAMTIP juga dianggap terlalu kuat dan mengesampingkang badan keamanan lainnya, serta dalam pandangan Soeharto terlalu dekat dengan Murdani. Maka KOPKAMTIB dibubarkan pada September 1988, digantikan dengan BAKORSTANAS (Badan Koordinasi Pemanyapan Stabilitas Nasional) yang berada langsung dibawah Presiden dan Panglima ABRI yang diketuai Try Sutrisno, yang juga menggantikan Benny Murdani menjadi Panglima ABRI (Ricklefs 2005:620-621).
Penulis: Annisaa Khansa Labibah
Instansi: Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.
Daftar Pustaka
Redfern, William A. 2010. Sukarno’s Guided Democracy and the Takeovers of Foreign Companies in Indonesia in the 1960s. Ph.D. Thesis. University of Michigan : Aan Arbon
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.