Korps Komando Angkatan Laut (KKO)
Korps Komando Angkatan Laut (KKO) merupakan salah satu korps di dalam Angkatan Laut Republik Indonesia. Kesatuan ini dibentuk pertama kali tahun 1948 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertahanan No. A/565/1948. Pembentukanya berhubungan erat dengan adanya Reorganisasi dan Rasionalisasi ketentaraan yang dilakukan pemerintah saat itu (Muzakky 2018).
Pertama kali dibentuk, KKO memiliki anggota sebanyak 1.200 orang sebagai hasil proses seleksi yang ketat. Di samping fokus pada pelatihan atau pendidikan personil, KKO juga turut serta dalam operasi tempur memadamkan pemberontakan daerah yang banyak terjadi pada tahun 1950-an. Atas prestasinya dalam memadamkan sejumlah pemberontakan daerah, Presiden Sukarno melalui Keputusan Presiden No. 237 menganugerahkan Panji kepada KKO-AL. Panji adalah penghargaan yang diberikan pemerintah saat itu kepada unit-unit TNI yang dianggap berjasa menegakkan keamanan dan ketertiban umum demi keselamatan bangsa dan negara, (Muzakky 2018; Said, 2006).
Pada periode 1960-1966 KKO-AL menikmati masa pucak kejayaannya. Hal ini seiring dengan berubahnya organisasi ALRI menjadi sebuah Departemen dan posisi KASAL sebagai Menteri. KKO-AL mendapatkan wewenang dari Menteri/KASAL untuk mengembangkan sendiri organisasi, personalia, keuangan dan material tempur. Pemberian wewenang tersebut ditambah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri/KSAL tanggal 24 September 1960 No. I.4.1.11 tentang rencana penambahan personil KKO hingga menjadi 13.000 orang dengan rincian 10.000 Militer Sukarela dan 3000 Wajib Militer. Perkembangan KKO selama periode 1960-1966 sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk membebaskan Irian Barat dari cengkeraman Belanda (Soemohadiwidjojo 2017).
Setelah mengalami puncak kejayaan, pada awal Orde Baru keberadaan KKO mulai dikurangi. Status Markas Besar KKO-AL berubah menjadi Markas KKO-AL, yang hanya berfungsi untuk membina personil dan merupakan Sub-Markas Besar Angkatan Laut. Sebutan Panglima KKO ditiadakan dan diganti menjadi Komandan KKO-AL, yang berfungsi sebagai Asisten KSAL urusan pembinaan personil KKO, dan merupakan urutan ketiga dalam unsur pimpinan Angkatan Laut. Perubahan lainnya adalah dibubarkannya Komando Wilayah Timur dan Komando Wilayah Barat KKO-AL, disatukannya Paskoarma I, Paskoarma II, dan Pusat Senjata bantuan (PASINKO) menjadi Pasukan Komando Armada, serta dibentuknya Pangkalan KKO-AL yang berada di Jakarta dan Surabaya dengan nama Lankoal Jakarta dan Lankoal Surabaya. Perubahan lain yang dialami KKO pada masa Orde Baru adalah penyusutan jumlah personil KKO menjadi hanya sekitar 5.000 orang ahun 1974, dan penggantian nama KKO-AL menjadi Korps Marinir pada tahun 1975. Pergantian nama tersebut secara otomatis berdampak pada seluruh identitas dan penghargaan yang telah diterima oleh KKO, termasuk Panji-panji yang diberikan Presiden Sukarno. Hal ini kemudian memang terbukti, semua Panji yang diterima KKO dari Presiden Sukarno dicabut dan diganti dengan sebuah bendera kesatuan tingkat Pataka yang diberikan oleh Menhankam (Muzakky 2018).
Perkembangan organisasi militer di Indonesia sangat terkait dengan situasi politik dan kekuasaan politik. Pada masa perang atau adanya kegaduhan daerah, organisasi dan unit-unit militer menjadi andalan untuk mempertahankan bangsa, namun setelah perang usai, sering kali unit-unit militer tersebut dirasionalisasi atau direorganisasi. Pemerintah yang berkuasa juga sangat menentukan keberadaaan kesatuan dan unit militer. Soeharto sebagai Presiden RI pada masa Orde Baru yang berlatarkan Angkatan Darat cenderung mengerdilkan keberadaan Angkatan lainnya, termasuk Angkatan Laut (Bagian Sejarah KKO AL, 1971).
Penulis: Wiwik Anatasia
Referensi
Muzakky, Ahmad Ammar dan Muryadi. 2018. “Pasukan Amfibi di Tengah Gelombang Orde Baru: Dari KKO AL Menjadi Korps Marinir, 196-1975” dalam VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 13, No.2 Desember.
Bagian Sejarah KKO AL. 1971. Korps Komando AL: Dari Tahun Ke Tahun. Jakarta: Markas KKO-AL.
Said, Salim. 2006. Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak. Jakarta: Surya Multi Grafika.
Soemohadiwidjojo, Rhien. 2017. Bung Karno Sang Singa Podium (Edisi Revisi). Yogyakarta: Second Hope.