Laweyan

From Ensiklopedia

Laweyan adalah kampung dagang dan pusat industri batik di kota Surakarta. Letaknya di sebelah barat kotamadya Surakarta. Kampung Laweyan sudah ada sebelum munculnya kerajaan Pajang (Kuntowijoyo 2006: 82; Wahyono et.al. 2014: 1). Menurut Mlayadipuro (1984) Kampung Laweyan semakin dikenal ketika Kyai Ageng Hanis (Ngenis), putra Kyai Ageng Sela, pada abad ke-16 tinggal di daerah itu. Daerah tersebut merupakan nama sebuah pasar, yaitu Lawe (bahan baku untuk tenun). Pasar tersebut berlokasi sangat strategis karena mendapat dukungan dari sebuah bandar besar di Sungai Kabanaran. Kyai Ageng Hanis merupakan tokoh penyebar agama Islam di Surakarta dan yang mengajarkan teknik membatik kepada masyarakat Laweyan.

Tanah di wilayah Laweyan awalnya merupakan lahan perdikan (lahan pemberian) kerajaan Mataram di Kartasura kepada masyarakat Laweyan yang diberikan tanggung jawab mengurus makam leluhur kerajaan Kartasura. Makam tersebut terletak di seberang Sungai Djenes, Kabupaten Sukoharjo. Tanah itu diberi nama luwihan (kesaktian) yang kemudian berubah menjadi laweyan sebagai bentuk kekaguman rakyat Pajang kepada Kyai Ageng Ngenis.

Pada masa pemerintahan kerajaan Surakarta Hadiningrat, wilayah Laweyan terbagi menjadi dua, wilayah barat dan timur yang dipisahkan oleh Sungai Djenes. Penduduk Laweyan di wilayah barat berhubungan dengan kerajaan karena bertugas menjadi pengurus makam Kyai Ageng Ngenis, tokoh yang disakralkan dan Masjid Laweyan. Sementara masyarakat Laweyan di wilayah timur memiliki aktivitas berdagang batik (Probowati 2011).

Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Kampung Laweyan mengalami perkembangan dalam seni dan industri batik. Masyarakat di kampung ini membentuk komunitas sendiri dengan saudagar sebagai pusat hierarki. Ada tertib sosial-ekonomi mulai dari pemilik hingga kuli. Di sini juga ada gelar-gelar yang hanya berlaku ke dalam untuk menandai status sosial. Keluarga pemilik usaha batik menjadi puncak dari sistem status, mulai dari posisi nenek sebagai mbok mase sepuh, kakek sebagai mas nganten sepuh, ibu sebagai mbok mase, ayah sebagai mas nganten, anak perempuan sebagai masa rara, dan anak laki-laki sebagai mas bagus. Namun, sekaya apa pun mereka tetap dianggap wong cilik (Kuntowijoyo 2006: 84).

Pada awal abad ke-20, Kampung Laweyan semakin terkenal ketika Haji Samanhudi (1868-1956) mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI). Para anggotanya adalah orang-orang Laweyan yang tinggal berdekatan dan bekerja di perusahaan-perusahaan batik Pendirian SDI pada awalnya merupakan perwujudan dari solidaritas keagamaan para pedagang bumiputra dalam menghadapi persaingan dengan para pedagang Tionghoa. Organisasi itu didirikan bertujuan mengusahakan bahan kayu untuk melawan kenaikan harga bahan bakar yang berada di tangan orang Tionghoa (Kuntowijoyo 2006: 91).

Organisasi SDI secara perlahan menjadi organisasi yang menentang pemerintah Hindia-Belanda. Para anggota SDI terdiri atas pengusaha dan pedagang batik. Organisasi ini kemudian berkembang menjadi Sarekat Islam dengan tokoh H.O.S Cokroaminoto (1882-1934).

Penulis: Achmad Sunjayadi
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum

          

Referensi

Kuntowijoyo, 2006. Raja, Priyayi dan Kawula. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Mlayadipuro. 1984. Sejarah Kyai Ageng Anis Kyai Ageng Laweyan. Urip-Urip. Surakarta: Museum Radya Pustaka.

Probowati, Putri Nurul. 2011. Reproduksi Masyarakat dan Implikasi Spasial dalam Proses Transformasi Kampung Laweyan. Tesis Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Wahyono, Tugas Tri et.al. 2014. Perempuan Laweyan dalam Industri Batik di Surakarta. Yogyakarta: Badan Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta.