Liem Sioe Liong
Liem Sioe Liong adalah pengusaha konglomerat terkemuka di Indonesia. Ia lahir di Shaoliang, Fuqing, Provinsi Fujian, Tiongkok pada tahun 1917 atau hari ke tujuh bulan ke delapan tahun Ular dalam tahun zodiak Cina. Namun begitu, dalam administrasinya disebutkan bahwa Liem lahir tahun 1916. Ia berangkat dari pelabuhan Xiamen, Tiongkok dan berlayar selama dua pekan serta tiba di Tanjung Perak, Surabaya tanggal 21 Juli 1938 (Borsuk dan Chng 2014: 22, 27, 39). Liem kemudian menyusul kakaknya yaitu Liem Sioe Hie dan perantau Fuqing lainnya yang telah tinggal di Kudus. Liem kemudian memulai usahanya sebagai pedagang keliling yang mengkreditkan dagangannya di kampung-kampung dan pintar dalam menarik perhatian para pembelinya (Mappapa, 2017).
Setelah pendudukan Jepang, Liem berusaha keras untuk mengumpulkan kembali modal yang hilang karena keputusan Pemerintah Indonesia tidak memberlakukan kembali uang milik Jepang. Dengan dukungan jalinan kekerabatan Hokchia, Liem mendapat pinjaman modal dan ikut menyelundupkan kebutuhan pokok bagi tentara Republik, dan membangun relasi awal untuk bisnis ke depannya. Menurut Twang Peck Yang (1998), sebagaimana dikutip Rohaini (2016: 210), bergabungnya para pengusaha Tionghoa, yang memiliki sumber barang dan sarana pembayaran, dengan kaum revolusioner sehingga dapat menjamin jalur pasokan barang, adalah awal terciptanya struktur ekonomi dan politik pasca-kemerdekaan.
Pada masa revolusi, Liem Sioe Liong diminta oleh perhimpunan klan Hokcia di Kudus untuk memberikan tempat perlindungan Hasan Din (ayah Fatmawati, mertua Sukarno, wafat 1974) (Borsuk & Chng, 2014: 90). Hal ini kemudian membuka jalan dan nasib Liem ketika berbisnis cengkeh melalui PT Mega yang didirikan oleh Hasan Din pada tahun 1950 (Rohaini, 2016: 212-213). Dari Kudus, Liem memperluas interaksinya di Semarang dan berkenalan dengan Panglima Divisi Diponegoro, yaitu Soeharto, atas jasa baik Sulardi (kakak Sudwikatmono) yang mengurusi logistik prajurit (Mappapa, 2017).
Tahun 1952 Liem dan keluarganya pindah ke Jakarta ketika kondisi perekonomian nasional mulai melemah. Nasib Liem mulai berubah ketika Soeharto yang dianggapnya ‘suka bisnis’ membangun pemerintahan Orde Baru. Tahun 1966, Liem terhubung dengan para jenderal finansial, yaitu Suro Hadiputro dan Sofjar yang membangun awal pilar militer orde baru (Rohaini, 2016: 210-211). Liem juga memahami budaya Jawa, seperti arti nama ‘Soe’ yang berarti ‘baik’, dan terbukti nama tersebut digunakan oleh presiden pertama dan kedua di Indonesia. Dengan itulah, ia memilih nama Soedono Salim sebagai pendiri dan pimpinan Grup Salim (Suk dkk., 2021: 313-314; Borsuk dan Chng, 2014: 4).
Liem kemudian memiliki peran penting menggantikan peran Ibnu Sutowo untuk memelihara berbagai proyek-proyek penting pada tahun 1970-an (Borsuk dan Chng, 2014: 158). Tidak hanya berpatronasi dengan para jenderal saja, Liem juga terhubung dengan akses modal dan bergelut dengan jaringan bisnis manufaktur. Dengan dukungan presiden, maka Liem dapat meyakinkan jaringan taipan Tionghoa perantauan seperti banker Tionghoa-Thailand, Chin Sophonpanich, untuk menyediakan koneksi terutama dengan produsen semen Taiwan. Liem juga terhubung dengan Robert Kuok Hock Nien di Malaysia—orang Hokchia dari Fuzhou—yang memiliki jaringan hotel Shangri-La. Kuok memberikan panduan kepada Liem serta ikut menanam saham dalam bisnis tepung terigu Bogasari (Rohaini, 2016: 212). Oleh karenanya, Liem kemudian membangun persahabatan ‘empat serangkai’ yaitu Liem Sioe Liong, Sudwikatmono, Djuhar Sutanto, dan Ibrahim Risjad dan mendirikan PT Bogasari yang berdiri 7 Agustus 1970 (Suk dkk., 2021: 308) setelah keluar keputusan pemerintah untuk penggilingan tepung kepada PT Prima dan PT Bogasari (Al-Fadhat, 2019: 181).
Liem juga terhubung dengan Piet Yap—yang menghubungkan Liem dengan Kuok Nien—yang lahir di Sumatra untuk meminta bantuan dalam memenuhi permintaan beras Soeharto pada awal tahun 1967. Liem juga berbisnis cengkeh yang merupakan bumbu rokok kretek di Indonesia. yang membuatnya kaya-raya. Liem mendapatkan izin sekali pakai untuk memasukkan 3.000 ton cengkeh dari Afrika, dan keuntungan sekali impor saja mampu meringankan beban hutannya. Usaha cengkeh dan sigaret kretek di Indonesia terus menggeliat, dan justru meningkat ketika terjadi krisis keuangan pada 1997-1998. Realitas tersebut menjadi gambaran penting bagi sosok Liem Sioe Liong yang merupakan pengusaha yang berani merambah wilayah yang baru sama sekali dan tipe pembelajar yang gigih (Borsuk & Chng, 2014:84; Rohaini 2016:212).
Sejak tahun 1967 Liem ikut menyuntikkan modalnya dan menjalankan Perusahaan Hanurata (berdiri sejak masa Sukarno) yang sahamnya telah dimiliki oleh dua yayasan milik Soeharto, yaitu Trikora dan Harapan Kita. Atas perintah Soeharto, Liem menyuntikkan modal dan menjalankan perusahaan tersebut dengan menempatkan iparnya dan sepupunya bernama Sudwikatmono (Borsuk & Chng, 2014: 110; Rohaini, 2016: 213). Liem juga bekerja sama dengan Sudwikatmono pada PT Giwang Selogam yang memiliki hubungan kerja dengan PT Krakatau Steel pada tahun 1984 (Effendy, 2011: 125). Sebelum Liem Sioe Liong, di lingkaran Soeharto sudah ada dua Liem, yaitu Jantje Liem dan Liem Oen Kian (Djuhar Sutanto), dua Hokchia dari Jawa Tengah. Liem kemudian ikut menyuntikkan modalnya ke PT Waringin Kencana (Beringin Emas), dan kekompakan ‘empat serangkai’ di atas akhirnya berakhir ketika terjadinya krisis 1998, terutama hubungan antara Liem dan Djuhar Sutanto (Rohaini, 2016: 212-213).
Bisnis raksasa Liem di Indonesia dibangun atas tiga pilar: perbankan (BCA), bahan bangun (Indocement), serta makanan (Bogasari dan Indofood) yang ikut melemah ketika kejatuhan Soeharto pada Mei 1998. Namun begitu, usaha makanan membuat Anthony Salim Group tetap bertahan dikarenakan meskipun mengalami krisis, orang Indonesia dan luar negeri tetap saja makan mie instan. Hal tersebut adalah salah satu kesuksesan dan keberhasilan Liem Sioe Liong dalam mengenalkan terigu sebagai pengganti beras dan mengalihkan makanan nasi yang sudah sedemikian memasyarakat menuju mie instan. Kesuksesan itulah yang mengantarkan Liem menjadi taipan sepanjang zaman (Rohaini, 2016: 213).
Kedekatan Liem dan Soeharto selama tiga dekade dikarenakan terdapat berbagai kesamaan karakter di keduanya. Soeharto menginginkan kekuasaan, Liem menginginkan kekayaan sehingga dapat berpasangan menjadi tim tangguh yang mampu bertahan di puncak politik dan bisnis Indonesia sampai tahun 1998. Disebutkan pula oleh Borsuk dan Chng (2014: 13), bahwa baik Soeharto maupun Liem menyukai dan percaya mistisisme. Liem disebutkan percaya takhayul, serta sering meminta saran pada rahib Buddha dan peramal Tao sebelum memulai usaha, sementara Soeharto muda juga suka belajar kepada para guru kebatinan dan melakukan praktik ritual untuk mencapai kesempurnaan batin dan kebijaksanaan spiritual.
Muhadjir Effendy menyebutkan bahwa Liem Sioe Liong memiliki 350 perusahaan pada tahun 1989 (2011: 119). Menjelang tahun 1990-an, Liem tidak hanya bekerja sama dengan presiden dan keluarganya saja, namun juga memiliki bisnis dengan Akbar Tanjung (Menteri Negara Perumahan Rakyat Kabinet Pembangunan VI, 1993-1998) di perusahaan susu kemasan Indomilk. Akbar Tanjung disebutkan juga bersahabat dengan putra Liem, yaitu Anthoni Salim (Mappapa, 2017). Setelah rubuhnya rezim orde baru, Liem dan keluarga pindah ke Singapura dan masih sempat untuk mengunjungi Soeharto pada tahun 2006. Liem Sioe Liong atau Soedono Saliem meninggal di Rumah Sakit Raffles Hospital di Singapura pada 10 Juni 2012 di usianya yang ke 95 (Borsuk & Chng, 2014: 503).
Penulis: Ahmad Athoillah
Referensi
Borsuk, Richard dan Chng, Nancy (2014), Liem Sioe Liong’s Salim Group: The Businness Pillar of Suharto’s Indonesia, Singapore : Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).
Faris Al-Fadhat (2019), The Rise of International Capital: Indonesian Conglomerates in Asean, Singapore: Palgrave Macmillan.
Kim Sung Suk dkk., (2021), Corporate Governance and Cases, Yogyakarta: Penerbit Andi.
Pasti Liberti Mappapa (2017), “Juragan Fuqing dan Jenderal Kemusuk” dalam https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20170207/Juragan-Fuqing-dan-Jenderal-Kemusuk/ diakses 1 November 2021.
Muhadjir Effendy, “A Nepotism and Crony in a Business, Case of Industrial Deregulation in Indoensia”, Jurnal Ekonomi Pembangunan 12, 1(2011), 118-127.
Rohaini Budi Prihatin, “Book Review: Liem Sioe Liong dan Salim Grup: Pilar Bisnis Soeharto”, Aspirasi 7, 2 (Desember 2016), 209-214.