Long March Siliwangi
Long March Siliwangi adalah suatu perjalanan panjang (kurang lebih 600 km) yang ditempuh oleh pasukan dari Divisi Siliwangi. Perjalanan ini dimulai pada 19 Desember 1948 dari Yogyakarta dan Jawa Tengah yang menjadi target Agresi Militer Belanda II menuju Jawa Barat, daerah asal pasukan Siliwangi. Patut dijadikan catatan bahwa Long March berbeda atau justru merupakan lawan kata dari Hijrah Siliwangi yang merupakan perpindahan pasukan Siliwangi dari Jawa Barat ke Jawa Tengah-Yogyakarta dan terjadi pasca Perjanjian Renville, 17 Januari 1948 (Dinas Sejarah 1979: 129)
Pada awal tahun 1947, Pasukan Siliwangi, unit militer Jawa Barat berlogo harimau (maung) tersebut, diperintahkan untuk meninggalkan kampung halamannya. Perintah ini dikeluarkan sebagai hasil dari perundingan di geladak kapal USS Renville, yang menurut Siliwangi dilakukan karena Belanda dalam kondisi terdesak. Patuh dengan hasil perundingan, anggota Pasukan Siliwangi dari berbagai daerah di Jawa Barat dan Banten melakukan perjalanan ke Jawa Tengah dan Yogyakarta melalui jalur darat dan laut. Selanjutnya, Pasukan Siliwangi turut meredakan berbagai gejolak keamanan di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan bahkan Jawa Timur seperti Madiun Affair yang terjadi pada September 1948. Kedudukan Pasukan Siliwangi ini bertahan selama hampir dua tahun hingga Desember 1948 (Dinas Sejarah 1979: 247).
Pada Desember 1948, Tentara Belanda menduduki Yogyakarta, jantung dari aktivitas republik kala itu. Selain mengasingkan para pemimpin, agresi militer ini turut memaksa pasukan Siliwangi untuk meninggalkan Yogyakarta. Bagi pasukan ini dan keluarganya, perintah untuk meninggalkan Yogyakarta terdengar seperti berita baik. Betapapun, dalam prakteknya, Long March Siliwangi penuh dengan kisah heroik dan tak jarang tragis.
Perintah untuk memulai Long March dikenal sebagai perintah siasat no.1 dengan sandi “Aloha.” Siasat ini dikeluarkan langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Melalui perintah ini, Panglima Sudirman memerintahkan Siliwangi untuk bergerak di bawah komando Letnan Kolonel Daan Yahya. Pasukan yang bergerak berasal dari batalyon-batalyon yang dipimpin oleh Sudarman dan Kosasih dari Magelang, Darsono dari Banjarnegara, Nasuhi dari Wonosobo, Kemal Idris dan Daeng dari Yogyakarta, serta batalyon-batalyon lain dari Solo (Badan Pembina Corps Siliwangi Jakarta Raya 1991: 236).
Selanjutnya, rombongan digabungkan ke dalam tiga brigade yang diarahkan menuju tujuh lokasi. Brigade pertama di bawah kepemimpinan Kusno Utomo bergerak menuju Bandung, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor. Brigade kedua di bawah kepemimpinan Sadikin menuju Jawa Barat bagian Utara, dan Brigade ketiga yang dipimpin oleh Samsu menuju daerah Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya. Selain tiga brigade tersebut, sebuah batalyon di bawah komando Ahmad Wiranatakusumah disiagakan di belakang sebagai pengawal Long March (Dinas Sejarah 1968: 154).
Berbeda dengan Hijrah, Long March Siliwangi berlangsung tanpa bantuan dari militer Belanda. Justru, tentara Belanda kerap memberikan gangguan yang mempersulit perjalanan keluarga besar Siliwangi. Belanda tak segan-segan melakukan pengeboman dari udara, mengadakan pertempuran terbuka, atau bahkan menahan pimpinan Siliwangi ketika perjalanan yang melibatkan ribuan orang tersebut dilaksanakan. Sebagai contoh, ketika rombongan melewati daerah di selatan Kota Cirebon, serangan udara menghantam rombongan ini. Selanjutnya, pertempuran terbuka dengan Belanda juga terjadi setidaknya lima kali di sepanjang perjalanan pasukan menuju Jawa Barat (Badan Pembina Corps Siliwangi Jakarta Raya 1991: 278). Salah satu gangguan paling serius dari tentara Belanda terjadi daerah Sukowaluh-Kaliboto, Kebumen pada 22 Desember 1948. Di daerah tersebut, serbuan tentara Belanda berujung pada penawanan pimpinan utama Long March, Letnan Kolonel Daan Yahya, dan Daeng yang memimpin rombongan dari Solo (Dinas Sejarah 1968: 310).
Selain dengan Belanda, Pasukan Siliwangi juga diganggu oleh aksi gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Patut diingat, DI/TII memang menggunakan Jawa Barat (utamanya daerah pedalaman yang dilewati rombongan) sebagai daerah persembunyian mereka. Di sisi lain, pasukan Siliwangi harus melewati daerah pedalaman ini karena menghindari wilayah-wilayah dimana Tentara Belanda bercokol (Dinas Sejarah 1979: 186).
Rombongan Long March juga mengalami gangguan “alami” dari situasi alam yang sulit dan logistik yang harus mencukupi kebutuhan seluruh rombongan. Kisah heroik Long March ini kemudian diabadikan dalam sebuah film layar lebar berjudul “Darah dan Doa” karya Usmar Ismail dan Sitor Situmorang. Film ini diproduksi pada tahun 1950, hanya berselang kurang lebih satu tahun dari berakhirnya pelaksanaan Long March pada awal tahun 1949 (Barker 2019: 27).
Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Badan Pembina Corps Siliwangi Jakarta Raya & Kodam III/Siliwangi. Album Kenangan Perjuangan Siliwangi. Bandung: Badan Pembina Corps Siliwangi Jakarta Raya, 1991.
Barker, Thomas. Indonesian Cinema after the New Order: Going Mainstream. Hong Kong: HKU Press, 2019.
Dinas Sejarah Kodam VI/Siliwangi. Siliwangi Dari Masa Ke Masa. Bandung: Angkasa, 1979.
Dinas Sejarah Kodam VI/Siliwangi. Siliwangi Dari Masa Kemasa. Bandung: Fakta Mahjuma, 1968.