Sitor Situmorang

From Ensiklopedia
Sitor Situmorang. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L14100 A


Sitor Situmorang adalah salah seorang sastrawan Indonesia angkatan ’45 yang kiprahnya amat menonjol sejak usai kemerdekaan hingga runtuhnya Orde Lama selepas peristiwa berdarah Gerakan 30 September (G30S) 1965. Sitor menjelma menjadi sosok sastrawan revolusioner sekaligus penjaga kebudayaan dalam kebijakan pemerintahan Presiden Sukarno.

Lewat buku kumpulan puisi Dalam Sajak (Situmorang 2016: 70), diketahui bahwa Sitor Situmorang dilahirkan dengan nama Raja Usu tanggal 2 Oktober 1923 di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Darah patriotisme mengalir dalam nadinya karena sang ayah, Ompu Babiat Situmorang, adalah orang kepercayaan Sisingamangaraja XII yang turut berjuang melawan Belanda.

Setelah menuntaskan pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Balige dan Sibolga, lalu menempuh pendidikan menengah pertama di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Tarutung, Sitor Situmorang kemudian merantau ke Batavia (Jakarta). Di Batavia, ia melanjutkan pendidikan menengah atas di Algemeene Middelbare School (AMS). “Periode menyelesaikan SD dan SMP seluruhnya saya jalani di daerah pedalaman Batak, ketika Bahasa Indonesia masih terbatas penggunaannya pada kaum pergerakan sebagai budaya tandingan terhadap budaya penjajah,” sebut Sitor Situmorang (dalam Eneste [ed.], 2009: 33).

Ketertarikan Sitor Situmorang terhadap tulisan dan sastra bermula saat ia masih bersekolah di MULO Tarutung pada 1939. Di suatu hari kala itu, Sitor Situmorang sedang berkunjung ke rumah abang tertuanya yang tinggal di Sibolga. Sitor Situmorang tertarik membuka isi lemari tempat buku-buku koleksi kakaknya disimpan, awalnya ia ingin membaca buku-buku detektif atau cerita petualangan untuk mengisi waktu. Di lemari itu terdapat banyak buku, tapi ada satu yang kemudian menarik perhatian Sitor. “Di sana saya temukan buku berjudul Max Havelaar karya Multatuli. Saya tertarik untuk membacanya. Saya ambil, lalu saya baca 2-3 hari tak putus-putusnya sampai selesai. Isinya terlalu menarik dan menyentuh kesadaran kebangsaan yang mulai bersemi di hati saya,” kenang Sitor Situmorang (dalam Eneste [ed.], 2009: 34).

Di titik inilah kecintaan Sitor Situmorang—yang saat itu masih berusia 16 tahun—terhadap sastra sekaligus rasa nasionalismenya mulai bertumbuh. Karya sastra pertamanya pun berawal dari sini, yakni dengan menerjemahkan sajak “Saijah dan Adinda” dari Max Havelaar ke dalam bahasa Batak.

Pada masa Jepang, Sitor dengan memanfaatkan program pemerintah Dai Nippon Jepang kembali ke Sibolga dan lebih tekun mempelajari sastra. Ia menghabiskan waktunya dengan membaca termasuk mengunjungi sisa-sisa perpustakaan orang Belanda yang belum sempat dihancurkan oleh Jepang.

Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Sitor Situmorang memulai kariernya sebagai wartawan. Ia bekerja untuk surat kabar Harian Suara Nasional yang berkantor di Tarutung pada 1945-1946. Tahun berikutnya, Sitor Situmorang ke Medan untuk menjadi wartawan Harian Waspada.

Sitor Situmorang kemudian berkesempatan kembali ke Jawa sebagai koresponden Harian Waspada. Ia mantap memilih Yogyakarta sebagai area tugasnya dengan transit di Jakarta terlebih dulu. Selama berada di Jakarta lalu menetap di Yogyakarta, Sitor Situmorang mulai mengenal dan belajar dari sosok-sosok seniman terkemuka, termasuk Chairil Anwar, Affandi, Sudjojono, dan lainnya.

Dekade 1950-an menjadi periode paling produktif bagi Sitor Situmorang sebagai seorang sastrawan. Di masa-masa inilah karya-karya sastranya yang fenomenal tercipta, termasuk kumpulan puisi dengan tajuk Surat Kertas Hijau (1954), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), hingga antologi cerpen berjudul Pertempuran dan Salju di Paris (1956).

Pada periode ini pula Sitor Situmorang mulai berminat terhadap politik. Ia bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Sukarno (Darmayana, Berdikari Online, 12 Maret 2012). Sitor Situmorang dipercaya menjabat Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), organisasi kebudayaan sayap PNI. Di bawah komando Sitor Situmorang, LKN setia mendukung kebijakan Presiden Sukarno, terutama untuk urusan seni dan budaya. Sejarawan J.J. Rizal (Tirto.id, 21 Desember 2020) menyebut Sitor Situmorang sebagai “Sang Panglima Kebudayaan Marhaen”. Kumpulan esai Marhaenisme dan Kebudayaan Indonesia (1956) dan Sastra Revolusioner  (1965) karya Sitor Situmorang lahir di sepanjang era politis ini. Sitor Situmorang meyakini bahwa marhaenisme merupakan jalan tengah bagi tiga aliran besar di Indonesia saat itu, yakni kaum nasionalis, agama, dan komunis, sejalan dengan konsep NASAKOM yang digaungkan Bung Karno kala itu.

Menuntaskan kiprah jurnalistiknya di surat kabar Berita Indonesia dan Warta Dunia pada 1957, Sitor Situmorang kemudian terjun ke politik dan pemerintahan. Ia pernah bekerja di Jawatan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, anggota Dewan Nasional, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mewakili kalangan seniman, anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan, serta memimpin LKN hingga tahun 1965.

Meluruhnya pengaruh Sukarno sebagai akibat dari peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang kemudian menggulung Orde Lama berdampak pula terhadap Sitor Situmorang. Oleh rezim anyar pimpinan Soeharto yang menyandang label Orde Baru, sang sastrawan pengikut setia Bung Karno itu dijebloskan ke bui di Salemba tanpa proses peradilan. Sitor Situmorang dipenjara sebagai tahanan politik (tapol) sejak 1967 selama 8 tahun (Rampan, 2000: 426). Bebas pada 1975, ia masih harus menjalani status tahanan rumah hingga 1976. Sebagaimana tahanan politik Orde Baru lainnya, Sitor Situmorang dan keluarga kerap dipersulit dalam berbagai urusan.

Situasi yang tidak menguntungkan tersebut membuat Sitor Situmorang terpaksa meninggalkan tanah air dan berkelana ke Eropa. Mula-mula, ia bermukim di Prancis kemudian pindah ke Belanda dan mengajar di Universitas Leiden sejak 1981 selama 10 tahun. Sitor Situmorang sempat pindah lagi ke beberapa negara, bahkan pernah tinggal di Pakistan (Yudiono, 2010: 138). Ia akhirnya pulang ke Indonesia pada 1998 setelah terjadinya reformasi yang mengakhiri kekuasaan Soeharto sekaligus menutup riwayat rezim Orde Baru.

Tanggal 20 Desember 2014, Sitor Situmorang meninggal dunia dalam usia umur 90 tahun. Kiprah dan pengaruhnya bagi kancah sastra nasional cukup besar. Sitor Situmorang mewariskan puluhan bahkan ratusan karya dengan beragam rupa, dari puisi, sajak, cerpen, esai, naskah drama, buku, dan lainnya.

Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri


Referensi

Korrie Layun Rampan, Leksikon Susastra Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2000.

Pamusuk Eneste, Proses Kreatif 1, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.

Sitor Situmorang, Dalam Sajak, Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 2016.

Yudiono K.S., Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2010.

Hiski Darmayana, “Sitor Situmorang, Sang Penyair Soekarnois”, dalam BerdikariOnline, 6 Maret 2012, diakses tanggal 30 Oktober 2021 dari https://www.berdikarionline.com/sitor-situmorang-sang-penyair-revolusioner-dan-soekarnois/.

J.J. Rizal, “Penyair Sitor Situmorang, Sang Panglima Kebudayaan Marhaen”, dalam Tirto.id, 21 Desember 2020, diakses tanggal 30 Oktober 2021 dari https://tirto.id/penyair-sitor-situmorang-sang-panglima-kebudayaan-marhaen-f8nM.