Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)

From Ensiklopedia

Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), sebelumnya bernama Majelis Islam Luhur, terbentuk pada 21 September 1937 sebagai tindak lanjut pertemuan para pemimpin dan alim ulama yang berasal dari beberapa organisasi Islam seperti KH Ahmad Dahlan (Taswirul Afkar), KH Mas Mansyur (Muhammadiyah), KH Abdul Wahab (Nahdatul Ulama), W. Wondoamiseno (PSII). Pertemuan yang berlangsung di Surabaya pada 18 hingga 21 September dan melibatkan 13 organisasi Islam ini diselenggarakan utamanya untuk memperkuat Ukhuwah Islamiyah umat Islam di Indonesia (Pringgodigdo 1986:173; Machfoedz 1983: 55).

Asas pendirian MIAI merujuk Al-Qur'an Surat Ali 'Imran: 103: "Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (Q, 3: 103). Tujuan utamanya adalah untuk (1) menyatukan berbagai organisasi Islam dalam satu payung organisasi dan mendorong mereka untuk berjejaring dan bekerja sama satu sama lain, baik fisik maupun spiritual; (2) mendiskusikan sekaligus memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat muslim; (3) memperkuat hubungan dengan muslim di berbagai negara; (4) mempromosikan kepercayaan/iman muslim; dan (5) menyelenggarakan kongres muslim Indonesia (Sekretariat MIAI 1941; Machfoedz 1983: 55; Sitompul 1989: 87).

Sebagai badan federasi bagi ormas Islam, MIAI mengoordinasikan berbagai kegiatan dan menyatukan umat Islam menghadapi politik Belanda, seperti menolak undang-undang perkawinan, aturan tentang warisan, dan wajib militer bagi umat Islam (Machfoedz 1983: 55). Selain sebagai bentuk perlawanan sistemik para pemimpin Islam terhadap pemerintah Kolonial Belanda, MIAI difungsikan untuk mempersatukan umat Islam, khususnya kaum tradisionalis dan modernis yang masih sering terlibat pertentangan terkait orientasi sosial-keagamaan yang berbeda (Sya’roni 1998: 45-50; Pringgodigdo 1994:194). Dengan visi ini MIAI memperoleh dukungan yang cukup besar dari banyak organisasi maupun partai yang berasaskan Islam, ditandai dengan banyaknya organisasi yang bergabung.

MIAI menolak disebut sebagai suatu perikatan politik. Namun demikian, MIAI tetap terbuka untuk bekerja sama dengan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang berdiri pada 21 Mei 1939 dengan tujuan mempersatukan semua partai politik Indonesia Raya di bawah payung demokrasi (Soebagijo 1982:33; Pringgodigdo 1977: 145). Ini merupakan bentuk gerakan stuktural MIAI yang merasa wajib untuk turut terlibat dalam perjuangan umat Islam Indonesia. Seperti yang disampaikan Wondoamiseno, Wakil Ketua Dewan MIAI pada 7 Juli 1941, “MIAI merasa berdosa apabila hanya tinggal diam dengan memeluk tangan apabila melihat dan mengetahui ummat Islam Indonesia bakal terjerumus ke dalam lembah jurang kesengsaraan dan kenistaan, baik moril maupun materiil.” (Buku Peringatan MIAI 1941:29).

Selain gerakan struktural, MIAI juga melancarkan gerakan kultural yang ditandai oleh pelaksanaan tiga proyek penting di awal tahun 1940-an: 1) pembangunan masjid agung; 2) pendirian universitas Islam; dan 3) pendirian kantor perbendaharaan Islam (Bait al-Mal) (Benda 1958, 1980:178).  Sebelumnya MIAI juga aktif menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam, dan membentuk Komite Palestina yang diketuai oleh Wondoamiseno pada 1937. Sebagai upaya memperkuat jejaring dan kolaborasi antartokoh Islam, MIAI telah melanjutkan agenda Kongres al-Islam yang terakhir dilaksanakan pada 1932, antara lain berlangsung di Surabaya (26 Februari-1 Maret 1938) dan Solo (2-7 Mei 1939). Pada 5-8 Juli 1941 MIAI kembali mengadakan Kongres al-Islam ketiga—saat itu berubah nama menjadi Kongres Muslimin Indonesia—di Solo. Pada ketiga kongres ini dibahas berbagai persoalan menyangkut kehidupan sosial keagamaan, ketatanegaraan, serta peradilan agama yang menyangkut hukum perkawinan dan hak waris, dua isu yang masih memperoleh campur tangan Belanda. Dalam kongres tercatat beberapa program yang telah dijalankan MIAI, salah satunya peran MIAI dalam memulangkan kaum muslim Indonesia yang mengalami kesulitan di Mekah sehigga dapat kembali ke Indonesia dengan selamat (Wondoamiseno 1941).

Sempat berhenti beraktifitas pada awal tahun 1940-an, MIAI kembali berkegiatan pada 4 September 1942 atas izin pemerintah Jepang. Tugas utama MIAI saat itu menjamin tempat yang layak bagi Islam di dalam masyarakat Indonesia, dan mengharmonisasikan Islam Indonesia dengan tuntutan-tuntitan perubahan zaman (Benda 1980: 177). Bagi Jepang, menghidupkan kembali MIAI menjadi salah satu cara untuk dapat memobilisasi masyarakat Indonesia (Daeng Materu 1985: 122). Oleh karena itu MIAI diberi kebebasan oleh pemerintah Jepang untuk melancarkan berbagai program, termasuk mendirikan majalah berita dwi  mingguan, Soeara MIAI, yang sebelumnya sulit terwujud. Melalui majalah ini, MIAI semakin aktif melakukan diseminasi ide dan gagasan dengan target penguatan sosio-religius Islam.

Lambat laun, pemerintah Jepang menaruh kecurigaan atas berbagai kegiatan yang dilancarkan MIAI, utamanya berkaitan dengan Bait al-Mall yang semakin berkembang— hingga Oktober 1943 telah  berdiri 35 cabang Baitul Mal di 35 Kabupaten di Jawa. Dinilai tidak mampu lagi berperan sebagai jembatan di antara pemerintah Jepang dan rakyat. MIAI dibubarkan secara resmi pada Oktober 1943.


Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

AK Pringgodigdo (1960). Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Pustaka Rakjat, Jakarta. Cetakan Keempat

Pringgodigdo A.K. (1986).  Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Benda, Harry J. (1958). The Crescent and the Rising Sun: Indonesia Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945. The Hague and Bandung: W. van Hoeve.

Burhanuddin, Jajat (2007). "Islamic Knowledge, Authority, and Political Power: The ‘Ulama in Colonial Indonesia.” PhD Thesis, Leiden University.

Daeng Materu, Mohamad Sidky (1985). Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia. Jakarta: Gunung Agung

Machfoedz, Maksoem (1983). Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama. Surabaya: Yayasan Kesatuan Ummat Surabaya Indonesia. Cetakan Pertama.

Noer, Deliar (1973). Modernist Muslim Movements in Indonesia. Kuala Lumpur: Oxford University Press

Sitompul, Einar M. (1989). Nahdlatul Ulama dan Pancasila: Sejarah dan Peranan NU dalam Perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam Rangka Penerimaan Pancasila sebagai Satu-Satunya Asas. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Kobayashi, Yasuko (1997). “Kyai and Japanese Military.” Studia Islamika 4, No. 3.

Lakpesdam, Riwayat Singkat Perjalanan MIAI (Jakarta: Koleksi perpustakaan PBNU, n.d.).

Sya’roni, Mizan (1998). “The Majlisul Islamil Ala Indonesia (MIAI): Its Socio-Religious and Political Activities (1937–1943).” McGill University.

Sekretariat MIAI (1941), Buku Peringatan MIAI 1937-1941. Surabaya: MIAI.

Wondoamiseno. “Baitul Mal.” Soeara Madjlis Islam A’lam Indonesia, July 1, 1943.

Wondoamiseno (1941). “Riwajat Singkat Perdjalanan  MIAI 1937-1941” dalam Buku Peringatan MIAI 1937-1941. Surabaya: MIAI.

Madjlis Islam A’la Indonesia, Majalah Islam Soera MIAI, Th. I. No.6, 15 Maret 1943