Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan adalah tokoh pembaruan Islam dan pendiri Muhammadiyah. Ia lahir di Yogyakarta pada 1 Agustus 1868 sebagai putra keempat dari KH. Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta pada masa itu. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kiai Ilyas, Kiai Murtadla, K.H. Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Noer, 1978: 48).
Pendidikan dasar Dahlan kecil didapat langsung dari orang tuanya (Mu’thi dkk., 2015: 182). Pengetahuan dasar tentang agama Islam dan Qur’an menjadi materi pelajaran yang pertama kali dipelajarinya. Ayahnya sendiri yang langsung menguji pemahaman materi keagamaan yang diberikannya kepada Dahlan kecil. Jika dinilai sudah mampu, maka Dahlan akan mendapat materi lanjutan yang lebih sulit pada pada materi pelajaran berikutnya. Dengan sistem pendidikan seperti ini, pada usia delapan tahun, Muhammad Darwis sudah mampu membaca Qur’an sesuai dengan kaidah ilmu tajwid yang sesuai. Muhammad Darwis juga menuntut ilmu-ilmu agama pada ulama lain, sehingga pengetahuannya terus bertambah dan semakin luas.
Setelah dinilai menguasai pengetahuan agama yang cukup, Abu Bakar memerintahkan Muhammad Darwis pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam pengetahuan agama. Berkat bantuan biaya dari kakak iparnya yang bernama K.H. Soleh, Muhammad Darwis berangkat ke Mekkah di umur 15 tahun pada 1883 (Mu’thi dkk., 2015: 22). Ia pergi berhaji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada periode inilah Muhammad Darwis muda mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Setelah menunaikan ibadah haji dan sebelum ia kembali ke kampung halaman ia mendapat nama baru, yakni Ahmad Dahlan (Kutojo dan Safwan, 1973).
Selanjutnya pada tahun 1888 ia pulang ke kampung halamannya. Tidak lama sesampainya di rumah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kiai Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah kemudian kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah (Kutojo dan Safwan, 1973). Beberapa tahun setelahnya, ia berangkat kembali ke Makkah dan menetap di sana selama dua tahun. Pada keberangkatan kedua ini tampaknya ia sengaja ingin memperdalam ilmu keagamaan. Untuk ini, dia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Asyari (Mu’thi dkk., 2015: 22). Ia juga makin intensif membaca berbagai literatur karya para pembaharu Islam. Pada gilirannya, pemikiran mereka yang kemudian menginspirasi Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan Islam di Indonesia.
Ahmad Dahlan sadar bahwa persoalan pendidikan sebagai akar utama yang menyebabkan bangsa Indonesia, terutama umat Islam, tertinggal. Karena itulah ia mengambil jalur pendidikan sebagai sarana utama berdakwah sekembalinya dari Makkah. Namun demikian, untuk memperluas gerak langkah dakwah ini, sekedar mendirikan lembaga pendidikan rupanya memiliki banyak keterbatasan. Sehingga, beberapa sahabat Ahmad Dahlan menyarankannya untuk mendirikan organisasi (Mu’thi dkk., 2015: 23). Akhirnya ia mendirikan organisasi Muhammadiyah. Pada tanggal 20 Desember 1912 ia mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta.
Perlu disampaikan bahwa Muhammadiyah bukan perkumpulan politik, karena itu bidang kegiatannya meliputi bidang keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan. Ada tujuh poin penting dari tujuan Muhammadiyah saat itu, dan bahkan sampai sekarang, yakni: 1) Mengembalikan dasar kepercayaan umat Islam kepada Al Qur’an dan Hadis; 2) Menafsirkan ajaran Islam secara modern; 3) Mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat; 4) Memperbaharui sistem pendidikan Islam secara modern sesuai dengan kehendak dan tuntutan zaman; 5) Mengintensifkan ajaran-ajaran Islam ke dalam, serta mempergiat usaha dakwah ke luar; 6) Membebaskan manusia dari ikatan-ikatan tradisionalisme, konservatisme, dan formalisme yang membelenggu kehidupan masyarakat Islam sebelumnya; dan 7) Menegakkan hidup dan kehidupan setiap pribadi, keluarga dan masyarakat Islam sesuai tuntutan agama (Salam, 1968: 57–58).
Muhammadiyah merupakan representasi dari ajaran-ajaran modernis Islam yang dipikirkan oleh Ahmad Dahlan. Ajarannya bahkan memiliki beberapa perbedaan dengan Islam tradisional yang umumnya didakwahkan oleh kelompok ulama Nahdlatul Ulama kala itu. Sehingga, tidak sedikit yang menentang pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh Ahmad Dahlan (Febriansyah dkk., 2013: 5). Namun, menyikapi kondisi yang demikian Dahlan mengambil sikap bijak dengan rajin silaturahmi dan memberikan teladan hidup yang baik. Silaturahmi dijadikan media untuk mendiskusikan gagasannya dengan ulama-ulama yang tidak sepaham, sehingga lambat laun tercapai kesepahaman. Sifatnya yang supel, toleran dan luas pandangan membuatnya mudah diterima oleh berbagai pihak. Bahkan ia juga bersahabat dan berdialog dengan Van Lith, seorang pastor Katolik (Mu’thi dkk., 2015: 134).
Secara sosial, ia bersama dengan muridnya mengimplementasikan pesan-pesan dalam Al-Ma’un, yakni rutin memberikan santunan kepada fakir miskin dan anak yatim dengan benda-benda yang baik (Syoedja’, 1993: 102). Strategi tersebut berhasil mengurangi pandangan negatif pihak-pihak yang tidak menghendaki lahirnya Muhammadiyah.
Barangkali ini tidak terlepas dari sosok Dahlan yang menjadikan tantangan sebagai cambuk untuk lebih bersemangat membangun organisasi Muhammadiyah. Ada motto yang populer yang sering diucapkannya “Muhammadiyah iku yen dijiwit dadi kulit, yen dicethot dadi otot” yang maksudnya Muhammadiyah itu bila disakiti tambah bangkit, bila dimusuhi tambah tangguh (Adham, Asyari, dan Mulkhan, 1986).
Selain itu, langkah yang dilakukan oleh Dahlan lewat Muhammadiyah memberikan pengajaran kepada kaum muda yang nantinya bisa dijadikan sebagai gethoktular untuk memberikan bekal mencerdaskan masyarakat. Dengan mendidik para calon guru dan pamong praja, Dahlan berharap gagasannya mengenai pentingnya pendidikan dapat meluas ke sektor-sektor penting yang menjalankan fungsi pendidikan. Apalagi, pamong praja dan para guru mempunyai pengaruh luas di tengah lingkungan masyarakatnya (Mu’thi dkk., 2015: 30).
Gerakan Muhammadiyah kemudian berkembang begitu pesat, dan pada saat yang sama hal ini menimbulkan kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda. Maka dari itu kegiatan Muhammadiyah dibatasi (Suminto, 1985). Namun, meski kegiatan Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-lain telah berdiri cabang-cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi kekhawatiran Belanda tersebut, maka Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan supaya cabang-cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Di Pekalongan namanya misalnya adalah Nurul Islam, Al-Munir di Ujung Pandang, Komite Muhammadiyah Afdeling Tablegh di Magelang dan sebagainya (Medan Moeslimin, 1915: 240-241). Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Vathonah (SATV) beraktivitas di Keprabon yang diinisiasi oleh para aktivis Sarekat Islam (SI) Surakarta. SATV menjadi cikal bakal Muhammadiyah Cabang Surakarta (Medan Moeslimin, 1915: 182), salah satu cabang Muhammadiyah terpenting dalam perjalanan pendidikan bangsa dan pergerakan nasional.
Ahmad Dahlan juga dekat dengan kelompok pergerakan, umumnya mereka yang berasal dari Sarekat Islam. Beberapa kali Dahlan mengisi kajian di Keprabon, Surakarta bersama dengan tokoh Muhammadiyah lain, seperti Haji Fachroedin. Peserta pengajian di Keprabon ini adalah tokoh-tokoh Islam penting di Surakarta diantaranya adalah Haji Misbach, Harsoloemakso, Moecthar Bukhori dan Sontohartono. K.H. Ahmad Dahlan juga mendukung terbitnya sebuah surat kabar Islam modern yang bernama Medan Moeslimin (Medan Moeslimin, 1915: 17), sebuah koran yang dibentuk M. Sastrositojo dan Haji Misbach (Hartanto, 2007: 117–19). Bahkan beberapa anggota Muhammadiyah di Yogyakarta perlahan-lahan menjadi redaktur surat kabar tersebut diantaranya seperti Haji Fachroedin, M.A. Hamid, Haji Sudja’. Ahmad Dahlan sendiri pernah menjadi penasehat surat kabar Medan Moeslimin tahun 1920 (Medan Moeslimin, 1920: 74–76).
Muhammadiyah sendiri juga memiliki terbitan bernama Soeara Moehammadijah. Surat kabar tersebut awalnya terbit dalam versi bahasa Jawa yang berisikan tentang akhlak Islam, dakwah Islam dan ajaran serta Syariat agama Islam (Islam Bergerak, 1922). Dalam sebuah terbitan (Medan Moeslimin, 1915: 23), dikatakan bahwa Soeara Moehammadijah menjadi inspirasi bagi terbitnya surat kabar Tjermin Islam di Batavia.
Ikatan Dahlan dengan Sarekat Islam juga terlihat ketika dirinya terlibat sebagai salah satu pendiri SI cabang Yogyakarta. Ia bersama Raden Dwijosoewodjo membangun SI sebagai perhimpunan Islam yang saat itu banyak diminati oleh seluruh kaum Muslimin di Hindia Belanda. tahun 1914 ketika SI menyelenggarakan kongres keduanya di rumah Raden Mas Gondoatmodjo di Pakualaman Yogyakarta, Ahmad Dahlan terpilih sebagai penasehat Central Sarekat Islam (CSI). Ahmad Dahlan dipilih H.O.S. Tjokroaminoto sebagai ulamanya SI dan beberapa kali aktif menemani Tjokroaminoto dalam beberapa vergadering (Sinar Djawa, 1914).
Pada Januari 1914 ketika Tjokroaminoto mengadakan vergadering SI di Semarang, Ahmad Dahlan hadir dan memberi pidato tentang persatuan umat Islam. Dalam vergadering itulah mulai muncul perkumpulan-perkumpulan Islam yang bersifat lokal yang pada saat itu belum banyak didengar seperti Ikhwanul-Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1973: 33).
Sepanjang perjalanan hidupnya, ada beberapa pemikiran dan tindakan penting Ahmad Dahlan yang berkontribusi dalam mewarnai sejarah Indonesia. Di bidang pendidikan, Dahlan menjadi inisiator yang mengkombinasikan sisi baik model pendidikan pesantren dengan model pendidikan Barat untuk diterapkan bagi pelajar-pelajar di Indonesia. Kegiatan belajar-mengajar pun dilakukan di ruang kelas dengan menggunakan meja dan kursi, tidak hanya sorogan seperti yang umumnya dilakukan di pesantren tradisional saat itu. Dahlan juga mendorong agar lembaga pendidikan Islam mengajarkan ilmu-ilmu umum kepada siswa atau santri.
Di bidang sosial, Dahlan sangat peduli dengan penderitaan masyarakat. Lewat Muhammadiyah, berbagai amal usaha dilakukan guna membiayai aktivitas-aktivitas kedermawanan untuk membantu masyarakat yang kesusahan. Ini juga merupakan turunan dari mempraktikkan Qur’an Surat Al-Ma’un. Muhammadiyah misalnya mendirikan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) dan melahirkan banyak rumah sakit dan rumah yatim.
Dalam Catatan Muhammad Soedja’ murid Ahmad Dahlan, bahwa Dahlan adalah seorang pemimpi yang selalu memikirkan banyak orang. Pengkhidmatannya atas Al-Ma’un melebihi siapapun pada masanya. Berikut kesaksian Syudja’ (Syoedja’, 1993: 2):
Entah apa yang muncul di angannya. Mungkin surat al-Maun yang diajarkan oleh gurunya. Atau, oleh jumlah anaknya yang banyak diminta kembali oleh Allah setelah sebentar dipinjamkan kepadanya. Dari istrinya yang pertama, tersisa satu anak lelaki dari empat anak. Dari istrinya ketiga tersisa tiga anak lelaki dari duabelas anak. Dari istri kedua dan keempat tak ada lahir anaknya.
Tetapi, pada tahun 1923 muncul ucapannya akan membuat hospital, rumah miskin dan darul aytam. Tetapi kita tidak tahu apa yang dipikirkan oleh santri yang pengimpi ini. Bahkan dia juga tidak tahu bahwa angannya akan terlaksana.
Lima belas tahun kemudian, 1938, telah berdiri RS PKO Muhammadiyah di Jalan Ngabean; Panti Asuhan Putra di Lowanu dan Panti Asuhan Putri di Jalan Ngabean serta Rumah Miskin di Serangan.
Walau demikian, waktu beliau sakit terakhir kalinya dirawat di rumah sakit Katolik, untung saat meninggal dunia ada di rumahnya.
Dan masih satu kata yang diangankan, “Apakah kita orang Islam tidak dapat membuat rumah sakit sebesar ini?” itu katanya sebelum beberapa hari wafat.
Di bidang keagamaan, Ahmad Dahlan dikaruniai akal yang cerdas, sehingga diberi kemudahan dalam mempelajari dan memahami pengetahuan. Penguasaannya terhadap beragam ilmu pengetahuan menjadikannya mampu bersikap inklusif dalam menjalani kehidupan, sehingga kehadirannya selalu memberi pengaruh baik dalam lingkungan. Dahlan berusaha keras untuk menghilangkan stigma kaum penjajah bahwa agama Islam itu kolot dan bodoh, karena itu umat Islam perlu diberikan pencerahan ilmu dan iman. Spirit keagamaan Dahlan tercermin dari nama perkumpulan yang didirikan dan lambangnya. Nama perkumpulan Muhammadiyah diambil dari nama nabi Muhammad yang ditambah dengan imbuhan yak nisbat yang bermakna pengikut, jadi Muhammadiyah adalah pengikut Nabi Muhammad. Lambang Muhammadiyah berbentuk matahari yang memancarkan dua belas sinar berwarna putih. Pada bagian tengah tertulis kata Muhammadiyah yang dihiasi dengan tulisan melingkar dua syahadat. Lambang tersebut bermakna manusia yang memiliki watak Muhammad adalah manusia yang jiwanya hanya menuhankan Allah dan mengakui Muhammad sebagai rasul.
Dalam pidato kongres pada 1922, Kiai Ahmad Dahlan beberapa kali menyebut nilai sebuah bangsa yang hanya mungkin terbentuk jika didasari kesatuan hati (Mulkhan, 2007). Basis epistemologi kesatuan kolektif dan aksi sosial kemanusiaan itu ialah apa yang dikenal sebagai kesadaran ketuhanan, yang lebih kita kenal sebagai iman dalam praktik agama. Karena itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa Muhammadiyah lebih dulu tampil sebagai gerakan sosial dan kebudayaan, baru kemudian memperkokoh diri dengan basis ketuhanan (Dzuhayatin, Suka Press, dan Pustaka Pelajar (Firm), 2015). Selain itu, sosok Ahmad Dahlan sendiri tidak hanya fokus di bidang dakwah, melainkan dirinya juga menjalani profesi sebagai pedagang batik (Salam, 1968).
K.H. Ahmad Dahlan berpulang ke rahmatullah pada tanggal 23 Februari 1923 dalam usia 55 tahun. Jasanya yang besar di berbagai bidang, diakui oleh Pemerintah dalam Surat Keputusan No. 675 tahun 1961 tanggal 27 Desember, dan Ahmad Dahlan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Dasar-dasar penetapan itu ialah: pertama, Ahmad Dahlan menyadarkan umat Islam Indonesia bahwa mereka adalah bangsa yang terjajah yang masih harus belajar dan berbuat. Kedua, Dahlan, melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, memberikan ajaran Islam yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat. Ketiga, Muhammadiyah telah mempelopori usaha sosial dan pendidikan yang diperlukan bagi kemajuan bangsa. Keempat, Muhammadiyah dengan melalui organisasinya wanitanya; Aisyiyah telah mempelopori kebangunan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan yang setingkat dengan kaum pria. Dan yang paling terpenting adalah pesannya kepada para anggota perkumpulan Muhammadiyah: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan cari hidup di Muhammadiyah”.
Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Adham, D, Hasyim Asyari, dan Abdul Munir Mulkhan. 1986. Pesan-pesan dua pemimpin besar Islam Indonesia Kyai Haji Ahmad Dahlan, dan Kyai Haji Hasyim Asyari. Yogyakarta: publisher not identified. http://books.google.com/books?id=ktLXAAAAMAAJ (Desember 31, 2021).
Dzuhayatin, Siti Ruhaini, Suka Press, dan Pustaka Pelajar (Firm). 2015. Rezim Gender Muhammadiyah: Kontestasi Gender, Identitas, Dan Eksistensi. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.
Febriansyah, M. Raihan dkk. 2013. Muhammadiyah: 100 Tahun Menyinari Negeri. Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Hartanto, Agung Dwi. 2007. Seabad pers kebangsaan, 1907-2007. Jakarta: I:Boekoe.
Islam Bergerak (1920)
Kutojo, Sutrisno, dan Mardanas Safwan. 1973. K.H. Ahmad Dahlan: Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Bandung: Angkasa.
Mulkhan, Abdul Munir. 2007. Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. http://books.google.com/books?id=Mr3XAAAAMAAJ (Desember 31, 2021).
Medan Moeslimin (1915)
Medan Moeslimin (1920)
Mu’thi, Abdul, Abdul Munir Mulkhan, Djoko Marihandono, dan Tim Museum Kebangkitan Nasional. 2015. K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923). Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional.
Noer, Deliar. 1978. The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942. Kuala Lumpur: Oxford university press.
Salam, Junus. 1968. Riwayat Hidup KHA Dahlan. Depot Pengadjaran Muhammadijah.
Sinar Djawa (1914)
Suminto, Husnul Aqib. 1985. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES.
Syoedja’, Muhammad. 1993. Cerita Tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan Catatan Haji Muhammad Syoedja’. Jakarta: Rhineka Cipta.