Muslimat NU
Muslimat atau Muslimat NU adalah sebuah organisasi khusus yang dirancang untuk para kader perempuan dari Nahdlatul Ulama (Fathurahman, 2004: 22). Berangkat dari keprihatinan akan nasib dan keadaan perempuan yang mendapat perlakuan tidak adil dan selalu dianggap lemah, gagasan pendirian Muslimat dicetuskan pada Muktamar NU ke-13 di Banten tahun 1938 melalui dua orang tokoh perempuan, Ny. R. Djuaesih dan Ny. Siti Sarah. Mereka dengan lantang menyuarakan urgensi dari kebangkitan perempuan di dalam organisasi. Setelah melewati proses perjuangan di dalam internal NU, pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya tahun 1940 diputuskan pengesahan Muslimat bersama dengan Anggaran Dasar dan Pengurus Besarnya. Baru pada 29 Maret 1946, saat Muktamar ke-16 di Purwokerto, Muslimat NU secara resmi berdiri dengan diketuai Nyai Chadijah Dahlan. Gerakan ini memfokuskan diri kepada isu-isu keperempuanan dan memperjuangkan hak-hak wanita (Zuhdi, Nursam: 330).
Tujuan dari didirikannya Muslimat NU ialah melaksanakan tujuan NU untuk kalangan perempuan dalam menjalankan syariat menurut ahlusunnah waljamaah, dan membawa perempuan Indonesia ke arah kesadaran beragama, berbangsa dan bernegara serta menyadarkan mereka tentang hak dan kewajiban menurut Islam, entah sebagai pribadi maupun anggota (Nizar, 2013: 222).
Muslimat NU kiprahnya terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sosial yang berorientasi menciptakan kesejahteraan warganya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Kegiatan tersebut antara lain program peningkatan pendapatan keluarga dengan menerjunkan para anggotanya ke desa-desa untuk memberikan penyuluhan pengembangan swadaya masyarakat muslimat, memberikan kursus keterampilan, membentuk kelompok usaha, Kelompok Bina Usaha (KBU), dan memberikan pinjaman modal kepada mitra binaan (Fathurahman, 2004: 103).
Upaya lain yang dilakukan juga mengarah pada bidang lain, yakni kesehatan, di mana lewat Yayasan Kesehatan Muslimat mereka terlibat aktif dalam kegiatan bidang kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Di pedesaan dilakukan pemugaran rumah-rumah gedek agar memenuhi standar kesehatan. Bidang pendidikan Muslimat menggerakkan para pimpinan wilayah dan cabang untuk mendirikan lembaga pendidikan karena memang sejak awal organisasi ini telah berkomitmen untuk masalah kebodohan dan kemiskinan (Nizar, 2013: 222). Begitu pula saat ini Muslimat telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam perjuangan NU di kancah politik berbagai tingkatan pada periode-periode pemilu.
Ketika status NU meningkat menjadi partai politik, pada Muktamar ke-19 di Palembang organisasi Muslimat diubah menjadi Badan Otonom dari NU dengan nama Muslimat Nahdlatul Ulama atau Muslimat NU. Biasanya yang menjadi pemimpinnya adalah para istri pemimpin pesantren. Begitu pun dengan para kader-kadernya tentu saja berasal dari para putri kiai atau santri-santri di pesantren (Haris, 2015: 301).
Periode 1940-1952 merupakan fase periodik perjuangan kemerdekaan. Bersama anggota NU, kelompok Muslimat mengambil beberapa peran penting seperti di dapur umum, palang merah, menjadi kurir penghubung, bahkan bergabung dengan Hizbullah, Sabilillah dan pasukan-pasukan pejuang lainnya (Ridwan, 2020: 153). Tahun 1954 di Surabaya saat Muktamar NU ke-20, Muslimat mengadakan kongres pertama kali sebagai Badan Otonom NU. Ketika itu, Muslimat sudah membahas hal-hal terkait perempuan, di antaranya perkawinan di bawah umur, kemudian ikut berperan dalam pembentukan Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4).
Sejak tahun 1956 Muslimat NU ikut bergabung dengan Kongres Wanita Indonesia (Kowani), sebuah federasi organisasi wanita tingkat nasional. Selain tergabung di Kowani, Muslimat NU juga menjadi anggota aktif dalam Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI), sebuah badan yang bertugas melakukan riset tentang kedudukan wanita yang dibentuk pemerintah bersama-sama Kowani dan KAWI (Syukriyah, 2016: 615).
Dalam bidang dakwah, Muslimat mengarahkan kegiatannya kepada usaha amar ma’ruf nahi munkar berupa pengajian-pengajian, majelis taklim, ceramah, seminar, maupun penerbitan jurnal-jurnal dan buku-buku. Di luar itu, untuk menunjang kesehatan Ibu dan anak Muslimat NU mendirikan Yayasan Kesejahteraan Muslimat (YKM) yang mengelola Rumah Sakit bersalin, BKIA, Klinik KB, Panti Asuhan Piatu, Poliklinik dan lain sebagainya (Muktamar NU ke-28). Kehadiran Muslimat NU ini membuktikan bahwa kepentingan ulama wanita yang hidup di dunia pesantren juga memiliki peran yang tak kalah penting dengan potensi para pejuang wanita Indonesia lainnya. Langkah yang dilakukan Muslimat NU merupakan sebuah langkah maju dengan memperjuangkan, meningkatkan peran dan kedudukan kaum perempuan di Indonesia.
Penulis: Tati Rohayati dan Akhmad Yusuf
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Fathurahman, Oman., dan Fauzia, Amelia. Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), UIN, 2004.
Hafiz, Abdul. Pemberdayaan Perempuan Kiprah Muslimat NU, Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, 25 (2), 2021, h. 194-208
Haris, Munawir. Partisipasi Politik NU dan Kader Muslimat dalam Lintas Sejarah, Al-Tahrir, Vol. 15, No. 2 November 2015, h. 283-308.
Nizar, Samsul. Sejarah Sosial & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara, Jakarta: Kencana, 2013.
P.P. Muslimat N.U., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama. Jakarta: P.P. Muslimat N.U., 1979.
Sejarah Singkat Muslimat NU. 1989. Yogyakarta: Seksi Publikasi dan Dokumentasi Muktamar NU ke 28.
Syukriyah, Lailatus. Muslimat Nahdlatul Ulama di Indonesia (1946-1955), AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, Volume 4, No. 3, Oktober 2016, h. 609-620.
Zuhdi, Susanto., dan Nursam. ed. Kamus Sejarah Indonesia Jilid I, Nation Information, Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.