Negara Indonesia Timur

From Ensiklopedia

Pada masa Revolusi Nasional Indonesia, pola revolusi di wilayah timur berbeda dari yang terjadi di pulau Jawa dan Sumatra. Perlawanan fisik tidak merata, hanya terkonsentrasi di beberapa tempat seperti Sulawesi Selatan dan Bali. Memanfaatkan celah tersebut, Gubernur Letnan Jenderal H. J. Van Mook kemudian berusaha mendirikan negara federal “boneka” pemerintah Belanda di Borneo dan Timur Besar (Groote Oost). Wilayah Timur Besar terdiri atas Sulawesi, Bali, Papua Barat, kepulauan Maluku, kepulauan dan Sunda Kecil. Ia menawarkan ide negara federasi kepada rakyat Indonesia di Timur Besar dan mendapat dukungan di sana (Najamuddin dan Bustan 2017: 390; Mutawally 2021: 2).

Keberhasilan van Mook dalam mengajak rakyat Indonesia timur mendirikan pemerintahan federal kemudian menjadi dasar terlaksananya Konferensi Malino pada 15-24 Juli 1946, yang bertujuan untuk mendirikan Negara Indonesia Timur. Secara resmi Negara Indonesia Timur didirikan pada 24 Desember 1946 dengan diselenggarakannya Konferensi Denpasar (Gde Agung 1985: 38).

Gagasan pendirian NIT berasal dari Mr. Ide Anak Agung Gde Agung, yang dimungkinkan oleh dua hal: pertama, kegagalan perundingan di Hoge Veluwe yang tidak berhasil merumuskan suatu perjanjian antara Belanda dan RI; namun gagasan ferderalisme Van Mook tetap dipertahankan oleh Kabinet Belanda sehingga Van Mook mengambil inisiatif untuk mewujudkan gagasan itu di Indonesia Timur. Alasan kedua, NIT dibentuk berkaitan dengan masalah demobilisasi tentara Jepang. Sudah sejak Februari 1946 tentara Australia memasuki kawasan Indonesia Timur untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang (Leirissa 2006: 79).

Untuk menjadikan wilayah Indonesia timur sebagai negara bagian, para pejabat Indonesia harus diaktifkan, bahkan orang Indonesia harus diberi jabatan-jabatan tinggi dalam tatanan federal yang akan dibangun itu. Pada 16 Juni 1946, van Mook mengumpulkan 39 orang Indonesia yang mewakili daerah-daerah Sulawesi, Sunda Kecil (Bali dan Nusatenggara), Kalimantan dan Maluku, untuk membicarakan gagasan itu. Konferensi itu dilaksanakan di Malino, sebuah tempat yang pernah menjadi peristirahatan kaum elit Belanda yang terletak dilereng Gunung Lompobatang sekitar 70 km dari Makasar. Dalam pidato pembukaan, van Mook membeberkan gagasan Federalismenya yang harus menggantikan tatanan kolonial Hindia Belanda. Indonesia akan dibagi dalam beberapa negara bagian besar dengan kekuasaan penuh dalam tangan elite politik lokal yang didampingi para penasehat Belanda. Di Jakarta akan dibentuk pemerintahan pusat yang terdiri atas orang Belanda dan orang Indonesia (Leirissa 2006: 80-81).

Setelah pandangan umum yang berlangsung pada 17-18 Juni, di tanggal 19 Juni van Mook memberi tanggapannya dengan memberi catatan, bahwa 1). Semua delegasi sependapat bahwa kolonialisme harus dihentikan; 2). Semua delegasi berpendapat bahwan hubungan Indonesia dan Belanda harus diteruskan; dan 3). Semua delegasi sependapat bahwa Indonesia sebagai satu bangsa harus dipertahankan dalam tatanan federal. Setelah itu diadakan pembicaraan-pembicaraan dalam Konferensi Malino di mana van Mook untuk pertama kalinya berhasil menelorkan gagasannya yang gagal diperjuangkan dalam konferensi Hoge Veluwe. Dengan tegas tercatat dalam keputusan Malino bahwa “Permusyawaratan di Malino menyetujui dengan kebulatan suara pembaharuan tatanegara Hindia Belanda sebagai satu federasi yang melingkungi seluruh Indonesia (NIS), terdiri dari bagian-bagian (negara-negara) yang luas yang mempunyai kekuasaan memerintah sendiri sebesar mungkin. Permusyaratan di Malino  berpendapat bahwa federasi yang akan dibentuk untuk seluruh Indonesia harus terdiri dari empat bagian, yaitu:  Djawa, Sumatra, Borneo dan Timur Besar” (Leirissa 2006: 82-83).

Pada 24 Juli 1946 van Mook menutup konferensi Malino dengan kata-kata “kita semua selama Konferensi Malino ini meletakkan dasar di atas mana bangunan Indonesia baru dan merdeka akan diwujudkan. Sebelum itu disusun sebuah resolusi yang kemudian dipublikasikan kepada masyarakat yang intinya adalah: 1). Menerima lagu kebangsaan Indonesia Raya, 2). Menerima tatanan federasi untuk seluruh Indonesia yang disebut Negara Indonesia Serikat, 3) Negara Indonesia Serikat terdiri dari Negara-negara bagian Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Indonesia Timur, 4). Melaksanakan konfrensi kedua untuk mewujudkan sistem federal di Indonesia Timur, 5). Kerjasama dengan Belanda, dengan masa peralihan selama 5 sampai 10 tahun dan selama itu Belanda tetap berdaulat atas Indonesia, 6). Hubungan dengan RI: Kerja sama dengan pemerintah Sjahrir untuk mewujudkan kemerdekaan dengan tatanan federal setelah masa peralihan tersebut di atas (Leirissa 2006: 84).

Konfrensi kedua NIT dilaksanakan di Dempasar Bali, yang rencananya akan dibuka oleh van Mook pada 7 Desember 1946. Namun, ternyata van Mook baru tiba di Denpasar pada 17 Desember, karena harus tetap hadir di Jakarta berhubungan dengan pembahasan yang sangat panas mengenai naskah Linggajati dalam perlemen Belanda. Setelah van Mook tiba di Denpasar pada 18 Desember, Konfrensi kedua dimulai, dan pada 23 Desember pembahasan dilakukan terkait “Peraturan Pembentukan Negara Indonesia Timur” yang terdiri dari 24 Pasal (Gde Agung 1985: 787-798). Kemudian pada 24 Desember dilangsungkan pemilihan Presiden NIT dan Ketua Badan Perwakilan Sementara. Dalam pencalonan presiden NIT terdapat 3 (tiga) nama yang diusulkan antara lain: Tjokorde Gde Rake Sukawati, Tadjuddin Noor dan Nadjamuddin Daeng Malewa. Dalam pemilihan calon presiden yang berlangsung dua kali, yang terpilih sebagai presiden NIT adalah Tjokorde Gde Rake Sukawati (Leirissa 2006: 88-89; Gde Agung 1985: 122-125).

Negara Indonesia Timur memiliki susunan pemerintahan sebagai berikut: Presiden Tjokorde Gde Rake Soekawati yang memimpin dari 24 Desember 1946-15 Agustus 1950 dengan kabinet-kabinet sebagai berikut: 1), Kabinet Nadjamoedin Daeng Malewa (pertama) dari 13 Januari-2 Juni 1947. 2) Kabinet Nadjamoedin Daeng Malewa (Kedua) yang berlangsung 2 Juni-11 Oktober 1947. 3). Kabinet S.J. Warrow yang berlangsung 11 Oktober-15 Desember 1947, 4) Kabinet Ide Anak Agung Gde Agung (Pertama) yang berlangsung 15 Desember 1947 hingga 12 Januari 1949, 5) Kabinet Ide Anak Agung Gde Agung (Kedua) berlangsung 12 Januari-27 Desember 1949. 6) Kabinet J.E. Tatengkeng dari 27 Desember 1949 hingga 14 Maret 1950. 7) Kabinet D.P. Diapari dari 14 Maret hingga 10 Mei 1950. 8) Kabinet J. Poetoehena yang berlangsung dari 10 Mei hingga 16 Agustus 1950 (Gde Agung 1985: 812-816).

Negara Indonesia Timur (NIT) terbentuk setelah melalui dua perundingan yakni Perundingan Malino (15 Juli 1946) dan Konferensi Denpasar (24 Desember 1946). Kepemimpinan NIT dijabat oleh presiden, perdana menteri, dan ketua parlemen. Perdana menteri mengetuai para menteri dalam sebuah kabinet. Sementara itu ketua parlemen memimpin parlemen yang terdiri dari berbagai fraksi partai. Presiden NIT memiliki kewenangan untuk mengganti kabinet dan parlemen. Untuk sistem pemerintahan daerah diberikan kepada raja atau kepala daerah dengan daerah yang dikenal sebagai swapraja. Para pemimpin daerah mendapatkan otonomi dengan syarat mematuhi peraturan korte verklaring (deklarasi jangka pendek) dan lange kontrakten (kontrak jangka panjang) bentukan Belanda. Pola pemerintahan daerah di NIT ada dua, yakni pola Bali dan pola Lombok. Proses pembubaran NIT baru dimulai pada 21 April 1950 dengan pesan Presiden Sukawati yang menginginkan NIT dibubarkan. Presiden Sukawati kemudian melantik kabinet terakhir NIT, yakni kabinet Putuhana pada Mei 1950, yang bertujuan sebagai persiapan pembubaran NIT. Pada 17 Agustus 1950, tepat pada ulang tahun ke lima kemerdekaan Indonesia, Presiden Sukarno membubarkan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan mengembalikan pemerintahan menjadi Republik Indonesia. Negara-negara bagian dan daerah otonom seperti NIT akhirnya secara resmi dibubarkan pada tanggal yang sama dan bekas wilayahnya terintegrasi kembali ke dalam Republik Indonesia. (Mutawally 2021: 13-14).

Penulis: Albert Rumbekwan
Instansi: Fkip-Uncen
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.


Referensi

Anwar Firdaus Mutawally, 2021. Negara Indonesia Timur: Dari Federasi Hingga Integrasi dalam Republik Indonesia (1946-1950). Bandung: Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Indonesia

Ide Anak Agung Gde Agung, 1992. “Negara Kesatuan: Negara Indonesia Timur”, dalam: BKSNT Ujung Pandang (Penyunting), Seminar Sejarah Regional Indonesia Timur. Malino: BKSNT UJUNG PANDANG.

Ide Anak Agung Gde Agung, 1996. From the Formation of the State of East Indonesia towards the Establishment of the United States of Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ide Anak Agung Gde Agung, 1985. Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada Unity Press.

Najamuddin, N., & Bustan, B., 2017. “Terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT) Di Sulawesi Selatan 1946-1950”, dalam: Najamuddin (Penyunting), Seminar Nasional LP2M UNM, hlm. 390-395). Makassar: Universitas Negeri Makassar.

R.Z. Leirissa, 2006. Kekuatan Ketiga, Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Sidar Intan Firsa Tama

Ricklefs, M. C., 2005. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Jakarta: Penerbit Serambi.