Pan Asia
Pan Asia (sering disebut juga Pan Asianisme, Asianisme, atau Greater Asianism) adalah gerakan sekaligus ideologi yang bertujuan membentuk kesatuan ekonomi dan politik (polity) di antara orang-orang Asia. Pandangan lain juga menyebutkan bahwa Pan Asia terbentuk atas dasar kesatuan bahasa Asia yang punya banyak kemiripan (Saaler & Szpilman, 2011a). Sementara itu, dari sisi motivasi, Pan Asia bertujuan untuk menghantam nilai-nilai imperialisme dan kolonialisme Barat di satu sisi, dan mengedepankan nilai-nilai Asia di atas nilai-nilai Eropa di sisi lain.
Dalam perjalanannya, berangkat dari sentimen samar untuk membentuk solidaritas, Pan Asia perlahan-lahan berkembang menjadi sebuah proposal kebijakan yang konkret. Dalam banyak kasus, seruan Pan Asia disertai dengan upaya untuk menciptakan identitas Asia yang berasas pada kesamaan tradisi, interaksi, dan hubungan timbal balik (Saaler & Szpilman, 2011b). Meski begitu, Pan Asia tetap diekspresikan secara beragam di tiap-tiap wilayah di Asia. Meski, ada Jepang yang berupaya menyamaratakan pandangan Pan Asia untuk seluruh masyarakat di benua Asia.
Pendudukan yang dilakukan oleh Jepang di Asia Tenggara setelah Pearl Harbor dan eksploitasi ekonomi kawasan yang mengikutinya akhirnya menimbulkan kebingungan. Retorika Pan Asia yang diawali oleh nilai-nilai pembebasan dan kesatuan akhirnya menjadi sebatas retorika. Ini tergambar dari satu fakta yang terhindarkan dimana Jepang memanfaatkan sentimen pan Asia untuk membantu memobilisasi sumber daya kawasan untuk upaya perang.
Meski demikian, beberapa tokoh nasionalis di berbagai wilayah di Asia Tenggara seperti Indonesia masih menganggap bahwa Pan Asia bukanlah retorika semata. Pada pengalaman Indonesia, pandangan tokoh nasional menjadi ambivalen terhadap Jepang. Di satu sisi mereka menolak Pan Asia versi Jepang, tapi di sisi lain masih melihat Jepang sebagai model negara yang mampu menghantam kepentingan kolonialisme Barat di Indonesia, lebih-lebih di Asia. Ini juga tidak terlepas dari kesadaran masyarakat Indonesia, terutama orang-orang Jawa yang percaya Ramalan Joyoboyo (Kingston, 2001). Ramalan akan kedatangan Jepang sangat dinanti-nantikan. Dalam ramalan tersebut dikatakan bahwa orang-orang kuning berperawakan pendek dari utara akan tinggal hanya tiga tahun dan kedatangan mereka akan diikuti oleh era kebebasan.
Meski demikian, tokoh-tokoh nasional cenderung mengambil sikap yang lebih kritis tapi tetap kooperatif. Mohammad Hatta adalah contohnya. Hatta dikenal karena kerjasamanya dengan penguasa pendudukan Jepang selama perang, tapi di sisi yang sama Hatta bukanlah boneka Jepang. Pada tahun 1930-an, ia bahkan mampu mengkritik dengan bijaksana masalah-masalah yang melekat pada Pan-Asianisme versi Jepang. Hal ini diperjelas oleh sebuah artikel yang ia terbitkan pada tahun 1934, tak lama setelah kembali dari kunjungan ke Jepang, di mana ia dijamu oleh anggota Dai Ajia Kyōkai (Saaler & Szpilman, 2011b). Dalam artikel yang berjudul “Apakah Jepang Ingin Kembali ke Asia?”, Hatta meramalkan kegagalan Pan-Asianisme Jepang karena, dalam pandangannya, dua syarat yang diperlukan untuk memastikan keberhasilannya—perdamaian permanen antara Jepang dan Cina dan pencapaian kesetaraan sempurna antara bangsa-bangsa Asia—tidak dapat diwujudkan dalam waktu dekat. Memang, terlepas dari sambutannya yang antusias di Jepang, Hatta menganggap Asianisme dinodai oleh tendensi fasis, di antaranya ia memasukkan ambisi Jepang yang jelas terlihat ingin menjadi pemimpin Asia.
Di wilayah Asia yang lain, dalam hal ini adalah negara-negara di kawasan Asia Barat, harapan untuk kepemimpinan Jepang dalam perjuangan melawan imperialisme Barat juga tumbuh. Tetapi, pada akhirnya tidak ada kerja sama yang signifikan antara Jepang dan negara Asia Barat mana pun yang terwujud. Pada dekade pertama abad kedua puluh, aktivis pan-Islam datang ke Jepang, di mana (antara lain) mereka bekerja sama dengan pan-Asianis Jepang. Selama Perang Dunia II, harapan akan dukungan Jepang diekspresikan dengan kuat di seluruh dunia Arab; mereka misalnya menginisiasi pembentukan Liga Islam Jepang Raya (Dai Nippon Kaikyō Kyōkai) di Jepang pada tahun 1938. Namun, meskipun sejumlah individu berpengaruh, termasuk kawa Shūmei dan Jenderal Hayashi Senjūrō, bersimpati pada tujuan Arab, kegagalan Jepang untuk maju ke barat India selama perang menjadi halangan bagi kelanjutan kerja sama yang efektif antara Jepang dengan negara-negara Arab (Saaler & Szpilman, 2018).
Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Kingston, Jeff (2001). “Reshaping History: The Pan Asian View on Merdeka”. Critical Asian Studies, 33(3), 473–478.
Saaler, Sven & Christopher W. A. Szpilman (Editor). 2011. Pan-Asianism: A Documentary History, 1920–Present. Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers.
Saaler, Sven & Christopher W. A. Szpilman. 2011. “Pan-Asianism as an Ideal of Asian Identity and Solidarity, 1850–Present". The Asia-Pacific Journal: Japan Focus. 2018.
Saaler, Sven & Christopher W. A. Szpilman. 2018. Routledge Handbook of Modern Japanese History. London: Routledge