Pan Islamisme
Pan Islamisme merupakan gerakan sekaligus ideologi yang pandangan utamanya mengajak semua umat Islam di dunia menjadi satu komunitas (umat). Gagasan ini dipelopori dan disebarluaskan oleh beberapa tokoh seperti Al Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, dan Muhammad Abduh. Pan Islamisme begitu popular sepanjang abad ke-19 sampai 20, terutama di daerah-daerah di kasawan semenanjung Iberia, benua Afrika, Kawasan China, hingga Asia Tenggara. Bersama dengan kebangkitan nasionalisme, pan Islamisme menjadi katalis di wilayah jajahan untuk melawan kekuatan imperialisme dan kolonialisme. Pan Islam juga bisa jadi penanda dari sebuah perjumpaan antara anti imperialisme dengan ekumenisme Islam (Keddie, 1969: 18).
Secara historis, istilah Pan-Islamisme diserap oleh Al-Afghani dan Abduh dari konsep ittihad-i Islam (kesatuan Islam) yang dipromosikan oleh Turki Utsmani (Formichi, 2010: 127). Tentu saja setelah diadopsi ada pergeseran pemaknaan dari yang awalnya menekankan kesatuan geo-politik di seluruh kawasan Islam hingga menjadi kesatuan yang diikat oleh identitas keagamaan.
Dalam perjalanannya, Al-Afghani tetap membuka ruang interpretasi bahwa Pan Islam juga bisa diarahkan menjadi semacam kesatuan politik (polity). Namun Abduh justru mempersempit visi Pan Islam menjadi lebih fokus religiusitas, utamanya dengan fokus pada ikatan persaudaraan agama yang mengesampingkan aspirasi-aspirasi geografis. Gagasan Abduh kemudian diteruskan oleh muridnya, Rashid Rida. Akan tetapi, pendulum gagasan Pan Islam yang diusungnya masih terombang-ambing antara memperjuangkan “persaudaraan muslim” atau kebutuhan mewujudkan kekhalifahan (al-din wa al-dawla) (Rida, 1938). Dalam perjalanannya, beberapa tokoh Muslim seperti Hasan al-Banna dan Taqiyuddin an-Nabhani terus mengembangkan konsep ini.
Gagasan ini berkembang dan terus menggelinding hingga terdengar oleh umat Islam di seluruh Hindia Belanda. Semua ini tersiar baik dari arus orang-orang yang melakukan ibadah haji dan para pelajar yang kembali dari Timur Tengah, distribusi surat kabar Arab, maupun pers lokal yang berkembang pesat. Dampak terbesar dari menyebarnya gagasan Pan Islam mungkin dipengaruhi oleh majalah Universitas al-Azhar, al-Manar. Namun, terbitan lokal seperti al-Imam (Singapura), Seruan Azhar (Batavia dan Kairo), dan al-Irshad (Surabaya) juga memainkan peran penting (Laffan, 2003: 142-151). Selain itu, adanya pelemahan kekuasaan khalifah yang terpusat di Turki Utsmani membuat gagasan Pan Islam yang diusung oleh para pembaharu Muslim seperti Afghani, Abduh, dan Rida menemukan momentumnya. Hal ini juga dimanfaatkan oleh kepemimpinan Turki Muda untuk menggalang dukungan eksternal bagi rezim baru mereka, terutama setelah meruntuhkan kekuasaan khilafah pada 1924. Para Turki Muda misalnya mendirikan Committee of Union and Progress yang mengusung gagasan Pan Islam. Organisasi ini didirikan di Istanbul. Selain itu, mereka juga mendirikan the Benevolent Islamic Society, yang di dalamnya terdiri dari orang-orang Turki, Mesir, Tunisia, Arab Yaman, dan Arab Hijaz (Landau, 1994: 86).
Ketika Timur Tengah dilanda oleh pembongkaran internal lembaga khalifah dan fragmentasi eksternal Turki Utsmani, sepanjang tahun 1920-an pan-Arabisme dan nasionalisme mulai menikmati dukungan yang lebih luas dari merebaknya gagasan Pan-Islam di wilayah tersebut. Namun pada titik sejarah inilah umat Islam di pinggiran dunia Islam mulai memainkan peran penting dalam kebangkitan Pan Islam yang lebih konkrit (Niemeijer, 1972).
Ini misalnya terlihat dari bagaimana tokoh Muslim di Hindia Belanda merespon kegiatan gerakan Khilafat di India. Terinspirasi pada aktivitas Chilafaat Islam, masyarakat Muslim di Hindia Belanda mengutus beberapa tokoh ke India untuk menjalin hubungan dengan Komite Khilafat Pusat di India. Pada tahun 1924, para pemimpin Partai Sarekat Islam telah mendirikan Central Comittee Chilafat di Surabaya, dan kemudian pada tahun itu juga kota yang sama menjadi tuan rumah kongres al-Islam. Kongres ini membahas bagaimana mendekati masalah kekhalifahan. Akhirnya, Tjokroaminoto menghadiri Mu'tamar 'Alam Islami Mekah pada tahun 1926, dan Haji Agus Salim diutus sebagai utusan Hindia Belanda pada tahun 1927 (Amelz, 1952: 163). Pada perkembangan selanjutnya, gagasan Pan Islam juga menginspirasi Kartosuwirjo mendirikan apa yang disebut dengan Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (Formichi, 2010: 130).
Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Daftar Pustaka
Amelz. 1952. H.O.S. Tjokroaminoto: hidup dan perdjuangannja. Jakarta: Bulan Bintang.
Formichi, Chiara. 2010. “Pan-Islam and Religious Nationalism: The Case of Kartosuwiryo and Negara Islam Indonesia”, Indonesia No. 90, 125-146.
Keddie, Nikki R. 1969. "Pan-Islam as Proto-Nationalism," The Journal of Modern History 41 (1), 17-28.
Laffan, Michael. 2003. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds. London: RoutledgeCourzon
Landau, Jacob M. 1994. The Politics of Pan-Islam: Ideology and Organisation. Oxford: Oxford University Press.
Niemeijer, A. C. 1972. The Khilafat Movement in India, 1919-1924. The Hague: Nijhoff.
Rida, Muhammad Rashid. 1938. Le Califat dans la Doctrine de Rasid Rida: Traduction Annotte d'al-Hilafa au al Imama al-'uzma (Le Califat ou l'Imama Supreme), vol. 6, trans. Henri Laoust, Memoires de l'institut francais de Damas. Beirut: Institut Francais de Damas.