Panglima Polim (Teuku Panglima Polem IX Muhammad Daud Sri Muda Setia Perkasa)

From Ensiklopedia
Panglima Polim (Teuku Panglima Polem IX Muhammad Daud Sri Muda Setia Perkasa). Sumber: ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P09 265


Teuku Panglima Polem IX Mohammad Daud adalah tokoh penting dalam riwayat Perang Aceh. Beliau merupakan salah seorang panglima perang yang mendampingi Sultan terakhir Kesultanan Aceh Darussalam, yaitu Sultan Tuanku Muhammad Daud Syah (1884-1903). Nama Panglima Polem sebenarnya adalah gelar untuk pemimpin sebuah wilayah di bawah Kesultanan Aceh Darussalam. Dalam sistem pemerintahan Kesultanan Aceh, Panglima Polem adalah pejabat Panglima Sagoe XXII Mukim (Pedalaman Aceh Besar) dengan gelar tambahan Sri Muda Setia Peurkasa.

Muhammad Daud diangkat sebagai Panglima Polem IX pada bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya, Panglima Polem Raja Kuala VIII, yang wafat. Setelah pengangkatannya sebagai Panglima, beliau kemudian memiliki nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud. Beliau diangkat sebagai Panglima Polem pada masa pemerintahan Sultan Tuanku Muhammad Daud Syah (1884-1903).

Sampai saat ini belum ditemukan sumber yang pasti terkait tanggal dan tahun kelahiran Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan latar belakang pendidikannya. Ada yang menyatakan tahun 1845, namun sumber lainnya menyebutkan tahun 1840. Teuku Panglima Polem Muhammad Daud  berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Beliau merupakan putra dari Panglima Polem VIII Raja Kuala Anak dan Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan nama Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim Aceh Besar.

Setelah dewasa, Muhammad Daud menikah dengan salah seorang putri dari Tuanku Hasyim Banta Muda, tokoh Aceh teman seperjuangan ayahnya. Muhammad Daud diangkat sebagai Panglima Polem IX pada bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya, Panglima Polem Raja Kuala VIII, yang wafat. Setelah pengangkatannya sebagai Panglima, beliau kemudian memiliki nama lengkap: Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Wazirul Azmi.

Dalam perjuangannya melawan Belanda yang ingin menguasai Kesultanan Aceh Darussalam sebagai pejabat Panglima Sagoe XXII Mukim (Pedalaman Aceh Besar), Teuku Panglima Polem Sri Muda Peurkasa Muhammad Daud dibantu oleh dua orang Panglima, yaitu kakak  iparnya yang bernama Teuku Ali Basyah dari Geudong dan Teuku Ibrahim Montasie'. Di samping itu, Panglima Polem juga mendapat dukungan yang sangat kuat dari mertuanya, Tuanku Hasyim Bangtamuda, dan para ulama Aceh lainnya.

Pada tahun 1893, Panglima Polem bersama kurang lebih 400 pasukannya bergabung dengan pasukan Teuku Umar untuk bertempur melawan Belanda. Dalam pertempuran besar-besaran yang berlangsung selama 14 hari, sejak tanggal 8 sampai 21 April, telah jatuh korban sebanyak 215 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda.

Pada awal bulan Juli 1896, kawasan XXII Mukim, tempat dimana Istana  Sultan Muhammad Daud Syah berada, mendapat serangan besar-besaran dari pihak Belanda. Dalam serangan yang dipimpin oleh oleh Jenderal Jan van Swieten, pasukan Belanda memang berhasil menguasai istana Kesultanan Aceh Darussalam. Bersama para panglima perangnya, pada 29 Juli 1896 Sultan Muhammad Daud Syah menyingkir ke pedalaman Seulimeum dan melakukan perlawanan  gerilya terhadap Belanda.

Sejak awal September hingga akhir bulan Oktober 1896, Belanda menyerang XXII Mukim. Belanda dapat mendesak dan menghancurkan kubu-kubu pertahanan Aceh hingga berhasil menduduki Jantho. Menghadapi hal tersebut, Panglima Polem bersama pasukannya terus bergerilya sambil mendirikan kubu-kubu pertahanan di pegunungan Seulimeum, seperti di Gle Yeueng.

Dalam sebuah pertempuran di Gle Yeueng, dengan kekuatan empat kompi infanteri, Belanda akhirnya berhasil menguasai tiga buah benteng yang didirikan oleh Panglima Polem. Pada bulan Oktober 1897, secara keseluruhan wilayah Seulimeum akhirnya berhasil dikuasai oleh Belanda tanpa banyak perlawanan dan Panglima Polem terpaksa menyingkir  ke Pidie.

Pada bulan November 1897, kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima oleh Sultan Aceh Muhammad Daud Syah bersama dengan beberapa orang tokoh pejuang Aceh lainnya. Pertemuan ini bertujuan untuk menyusun siasat baru dalam mengantisipasi kemungkinan jika Belanda melakukan penyerangan ke Pidie. Mereka juga mengundang Teuku Umar yang pada waktu itu masih berada di Daya datang ke Pidie untuk bergabung.

Pada bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya dan bergabung dengan Panglima Polem serta para pejuang lainnya untuk memperkuat barisan pertahanan di sana. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para ulama serta uleebalang terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada Sultan Muhammad Daud Syah dengan tekad bulat bersama-sama meneruskan perjuangan melawan Belanda.

Sejak tanggal 1 Juni hingga pertengahan September 1898, Belanda melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Pidie. Serangan ini berada di bawah komando Van Heutsz yang sejak bulan Maret 1898 telah diangkat sebagai Gubernur Sipil dan Militer Belanda menggantikan Mayor Jenderal Van Vliet. Dalam menyusun strategi, Van Heutsz didampingi oleh Snouck Hurgronje yang diangkat selaku Penasehat Pemerintah Hindia Belanda urusan Bumiputra.

Untuk menghadapi serangan tersebut, pasukan pejuang Aceh dibagi menjadi beberapa kelompok. Wilayah VII Mukim sepenuhnya dipercayakan kepada Panglima Polem bersama Tuanku Muhammad, sedangkan dalam wilayah Pidie secara langsung berada dibawah komando sultan bersama para pengikutnya. Adapun Teuku Umar dipercayakan untuk memperkuat pertahanan di wilayah Aree dan Garot.

Pada bulan November 1898, Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem akhirnya menyingkir dari Pidie untuk bergerak menuju Timur, ke perbukitan di hulu sungai Peusangan. Sementara Belanda itu terus mengejar mereka sampai akhirnya meletus perang di Buket Cot Phie. Dalam pertempuran ini pasukan Panglima Polem hanya berhasil menewaskan pihak Belanda sebanyak 3 orang dan 8 orang luka-luka, sedangkan korban pasukan di pihak Aceh seluruhnya mencapai 34 orang.

Keberhasilan Belanda dalam serangan ini membuat mereka semakin berani melakukan pengejaran. Setelah menguasai perbukitan di pedalaman Peusangan pada tanggal 21 November 1898, Belanda akhirnya berhasil membuat kesatuan pasukan Aceh menjadi terpencar-pencar. Sultan menyingkir ke Bukit Keureutoe, Teuku Chik Peusangan ke Bukit Peutoe, sedangkan Panglima Polem menuju ke pegunungan di bagian selatan Lembah Pidie. Di wilayah tersebut mereka bertahan selama dua bulan sampai akhirnya Belanda melakukan pembersihan seluruh benteng-benteng Aceh yang masih terdapat di Samalanga dan Meureudu.

Di awal tahun 1901, Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem mengambil inisiatif untuk bersama-sama menyingkir ke daerah Gayo dan kemudian menjadikan daerah ini sebagai pusat pertahanan Aceh. Di daerah ini Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem dan pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan penyerangan terhadap Belanda.

Sementara itu, pihak Belanda sendiri sudah sejak lama ingin menyerang daerah Gayo karena penduduk disana selalu memberikan bantuan Perang Sabil dan perbekalan kepada sultan dan para pejuang Aceh. Apalagi setelah pihak Belanda mengetahui keberadaan sultan dan panglima Polem di daerah tersebut. Daerah pedalaman Gayo yang dijadikan sebagai daerah alternatif bagi pusat pertahanan Aceh akhirnya mendapat serangan pihak Belanda dari segala penjuru.

Setelah mengalami kegagalan demi kegagalan dalam usahanya menangkap Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem, maka selama hampir satu bulan Belanda menghentikan penyerangannya ke daerah Gayo. Selama masa itu pula Belanda mengatur strategi baru dengan cara yang sangat licik yakni dengan cara menangkap orang-orang dekat dan ahli kerabat yang paling disayangi sultan. Oleh karena itu pada tanggal 26 November 1902, pasukan Marsose di bawah Christoffel kemudian melakukan penyerbuan dan berhasil menangkap istri sultan dan Teungku Putroe yang pada saat itu masih berada di Glumpang Payong. Sebulan kemudian Belanda kembali berhasil menangkap istri sultan yang lainnya, Pocut Cot Murong, dan seorang putra sultan di Lam Meulo. Setelah berhasil menangkap para kerabat Sultan Muhammad Daud Syah, Belanda kemudian mengeluarkan ancaman yang berisi: apabila sultan tidak menyerahkan diri dalam tempo satu bulan, maka kedua istrinya akan dibuang.

Menerima berita ancaman itu, pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Selanjutnya Pemerintah Hindia Belanda mengasingkannya ke Ambon dan terakhir dipindahkan ke Batavia sampai sultan wafat pada tanggal 6 Februari 1939. Sedangkan Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud baru secara terpaksa berdamai dengan Belanda pada tanggal 7 September 1903. Selanjutnya Panglima Polem tetap diakui oleh Belanda sebagai Panglima Sagoe XXII Mukim. Beliau wafat pada tahun 1939.

Penulis: Linda Sunarti
Instansi: Institut Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum


Referensi

Alfian, T. Ibrahim.1987. Perang Di Jalan Allah : Perang Aceh 1873 – 1912. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Reid, Anthony (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan Pantai Timur Sumatra hingga penghabisan Kerajaan Aceh masa seratus tahun ke-19. Jakarta: Yayasan Obor.