Paris Club

From Ensiklopedia

Paris Club adalah kumpulan informal dari negara kreditor untuk menyelesaikan masalah utang negara-negara berkembang. Lembaga ini muncul akibat perkembangan ekonomi dunia dan upaya kerja sama internasional pasca Perang Dunia II. Pada 14-15 Mei 1956, sebuah pertemuan diadakan di Paris untuk memfasilitasi Argentina yang saat itu mengajuan kebutuhan bertemu para krediturnya. Pertemuan tersebut menjadi titik awal terbentuknya Paris Club (https://clubdeparis.org/en/communications/page/historical-development).

Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Prancis, Jerman Barat, dan Belanda adalah beberapa anggota Paris Club. Cara kerja Paris Club dalam melakukan penyelesaian utang ialah dengan mengadakan pertemuan yang mengundang negara kreditor, debitor, dan perwakilan IMF. Setelah pertemuan tersebut, antar negara yang terkibat mengadakan pertemuan kembali untuk menyepakati perjanjian yang bersifat bilateral (Abdullah 2006: 77-78).

Indonesia adalah negara Asia pertama yang menjalin kerja sama dengan Paris Club. Pada 1966 pemerintah Indonesia harus menangani masalah utang yang semakin kritis. Utang-utang yang ditinggalkan pemerintah sebelumnya banyak yang jatuh tempo, sementara nilai pendapatan ekspor tidak mampu untuk membayarnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah Indonesia membawa permasalahan tersebut ke Paris Club dengan melakukan diplomasi utang. Cara tersebut dilakukan dengan upaya meminta keringanan berupa penundaan pembayaran sekaligus pencarian bantuan dana luar negeri dengan syarat lunak (Boediono 2016: 117).

Permohonan penangguhan pembayaran utang pemerintah Indonesia ditanggapi dengan diadakannya beberapa pertemuan antara Indonesia dengan negara-negara kreditor. Pembahasan pertama dilakukan di Tokyo pada 19-20 September 1966. Perwakilan Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Prancis, Jerman Barat, dan Belanda turut menghadirinya. Pertemuan lanjutan dengan negara-negara tersebut diadakan di Paris, juga diadakan pertemuan pemerintah Indonesia dengan masing-masing negara kreditor secara tersendiri, terutama non anggota Paris Club untuk membahas penjadwalan ulang pembayaran utang dengan syarat dan ketentuan yang disepakati bersama. Hasilnya, utang pemerintah Indonesia yang jatuh tempo pada 1968 pembayarannya ditunda menjadi 1972-1978, begitu pula untuk hutang yang harus dibayar pada 1969 dan 1970 diupayakan untuk ditunda pembayarannya (Anhar Gonggong dkk. 1993: 172-173).

Pembahasan pemberian pinjaman pun dikakukan melalui serangkaian pertemuan, yaitu di Amsterdam pada 23-24 Februari 1967, Den Haag pada April 1967, dan di Scheveningen pada Juni 1967. Pertemuan pertama menghasilkan Intern-Governmental Group for Indonesia (IGGI) yang membantu mencarikan hutang bagi Indonesia. Melalui IGGI, pemerintah Indonesia berhasil mendapatkan 3 jenis pinjaman yaitu berupa pinjaman program, pinjaman proyek, dan pijaman komiditas (Boediono 2016: 118). Pinjaman yang didapatkan oleh pemerintah Indonesia untuk tahun 1967 sebesar $ 210 juta, tahun 1968 sebesar $ 325 juta, dan 1969 sebesar $ 500 juta. Selain itu pemerintah Indonesia juga bergabung dalam International Bank for Reconstruction Monetary Fund IMF dan ADB (Asian Development Bank) (Anhar Gonggong dkk. 1993: 172-173).

Penundaan pembayaran utang pemerintah Indonesia yang pembahasannya dilakukan setiap tahun kemudian dianggap tidak sehat oleh Paris Club. Untuk itu, pada Oktober 1968 negara-negara kreditor non-komunis menunjuk Dr. Herman J. Abs, seorang banker Jerman dari Deutsche Bank untuk meneliti persoalan hutang Indonesia dan memberikan rekomendasi penyelesaiannya sesuai dengan kemampuan pemerintah Indonesia. Setelah melakukan penelitian, Dr. Abs merekomendasikan pembayaran pokok hutang Indonesia dilakukan dalam jangka waktu 30 tahun. Selain itu, ia juga merekomendasikan dihapusnya bunga hutang yang belum dibayar. Rekomendasi tersebut meringankan beban pemerintah Indonesia yang akhirnya dapat diterima oleh para kreditur dengan berbagai penyesuaian pada April 1970. Melalui diplomasi hutang yang dilakukan pemerintah Indonesia maka stabilisasi dan pembangunan perekonomian dapat dilanjutkan (Boediono 2016: 118).


Utang yang belum lunas terus coba diselesaikan oleh pemerintah Indonesia melalui Paris Club. Hingga saat ini, tercatat lima hutang pemerintah Indonesia yang sudah lunas, yaitu dalam penanganan yang dilakukan pada 20 Desember 1966, 18 Oktober 1967, 24 April 1970, dan 10 Mei 2005. Sementara itu, pemerintah Indonesia masih memiliki tiga hutang yang tercatat masih aktif, yaitu melalui penanganan pada 23 September 1998, 13 April 2000, dan 12 April 2002 (https://clubdeparis.org/en/sections/pays-debiteur/indonesia ).

Penulis: Siti Utami
Instansi: Universitas Tebuka
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.

Dewi Ningrum


Referensi

https://clubdeparis.org/en/communications/page/historical-development diakses pada 3 Juni 2022 pukul 11.34 WIB.

https://clubdeparis.org/en/sections/pays-debiteur/indonesia diakses pada 3 Juni 2022 pukul 11.34 WIB.

Anhar Gonggong, dkk. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VII: Lahir dan Berkembangnya Orde Baru. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Boediono. 2016. Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Mizan.

Burhanuddun Abdullah, 2006. Menanti Kemakmuran Negeri: Kumpulan Esai Tentang Pembangunan Sosial Ekonomi Indonesia. Jakarta: Framedia Pustaka Utama.