Passen en Wijken Stelsel

From Ensiklopedia


Istilah Passen en Wijken Stelsel merupakan istilah yang muncul untuk membatasi mobilitas dan pencampuran etnis Tionghoa dengan golongan lainnya. Peraturan tersebut digunakan untuk membatasi pergerakan orang Tionghoa di wilayah kekuasaan Belanda, dengan tujuan utama untuk mempertahankan monopoli ekonomi dan menghindari persekutuan yang mucul antara orang Tionghoa dengan bumiputera.

Dalam Staatsblad No.37 Tahun 1835, dijelaskan pernyataan pemerintah Belanda, bahwa pemerintah melihat adanya kecenderungan bercampurnya (laten amalgameren) berbagai bangsa, seperti Timur Asing, Tionghoa, Bugis dan lain-lain. Pemerintah Hindia-Belanda tidak suka melihat percampuran tersebut, mereka menginginkan berbagai bangsa itu dipisahkan dan tidak bercampur. Sehingga dibuatlah dua kebijakan tersebut untuk membatasi percampuran antar bangsa (Onghokham, 2017:10).

Kebijakan Passenstelsel merupakan system pembatasan mobilitas masyarakat Tionghoa, dimana mereka mereka diwajibkan memiliki surat izin perjalanan untuk bisa keluar dari kampung mereka. Pada masa sebelum abad ke-19 ada kemungkinan untuk melakukan hubungan yang erat diberbagai bangsa, karena tidak ada pembatasan mobilitas, namun sesudah itu sangat sulit terjadi, karena politik pemisahan golongan (Onghokham, 2017:2).

Wijkenstelsel merupakan system pengaturan pemukiman orang Tionghoa, hanya boleh bermukim diwilayah tertentu. Sistem ini mengharuskan tiap suku bangsa tinggal di kampung-kampung tersendiri. Dengan demikian tidak ada hubungan diluar hubungan ekonomi, di antara suku bangsa dalam satu kota, walaupun ada kemungkinan terjadi hubungan antara elit-elit suku bangsa dalam satu kota tersebut terjadi sebuah hubungan (Onghokham, 2017:31).

Setelah VOC bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799, wilayah kekuasaan VOC diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Untuk melindungi monopoli atas produk ekspor dan monopoli tenaga kerja pertanian, peraturan tersebut terus diberlangsungkan. Pemerintah Hindia Belanda mulai menjalankan peraturan pembatasan tempat tinggal dan bepergian untuk orang Tionghoa secara lebih ketat lagi pada tahun 1830 sampai awal tahun 1900an (Onghokham, 2017:63).

Kebijakan Belanda ini sangat menyulitkan kehidupan orang Tionghoa yang tinggal di wilayah pedalaman. Mereka hanya diperbolehkan tinggal di wilayah kota-kota yang terlah disediakan pemukiman khusus untuk orang Tionghoa. Pada 1830-an awal diberlakukan kembali kebijakan tersebut memaksa orang-orang Tionghoa yang tingga di pedalaman untuk berpindah ke Kota dan meninggalkan usaha yang telah dibangun dan rumah yang mereka miliki sebelumnya (Onghokham, 2017:64).

Kebijakan ini berdampak besar bagi golongan Tionghoa, banyak dari mereka yang harus pasrah dengan kemiskinan tanpa bisa berkembang keluar dari kampung mereka. Untuk melawan kebijakan tersebut mereka melakukan agitasi melalui Pers Melayu Tionghoa, untuk menghilangkan kebijakan Passen en Wijken Stelsel. Mereka juga melakukan pergerakan emansipasi menuntut kesetaraan dengan orang-orang Eropa. Baru pada tahun 1914 kebijakan Passenstelsel dihapuskan, walau pada akhirnya diberlakukan lagi karena kepentingan tertentu. Kebijakan system Wijkenstelsel benar-benar dihapuskan pada tahun 1918, di Jawa dan Madura untuk pertama kali, dikarenakan pemerintah mulai sadar bahwa kebijakan tersbut merupakan penghinaan (Onghokham, 2017:97-98).

Kawasan Pecinan di Batavia, sebelum 1870. Sumber: Digital Collection Leiden University (http://hdl.handle.net/1887.1/item:783006)


Penulis :


Daftar Pustaka

Onghokham. 2017. Migrasi Cina, Kapitalisme Cina dan Anti Cina. Depok: Komunitas Bambu.

__________. 2017. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Depok: Komunitas Bambu.