Pemandangan
Pemandangan terbit pertama kali pada 8 Agustus 1933 di Jakarta, pada saat krisis ekonomi (maleise) sedang melanda dunia. Pendirinya adalah Saeroen dan Raden Hadji Djunaedi. Saeroen adalah seorang penulis piawai dan jurnalis bumiputra yang cukup terkenal pada masanya dan Hadji Djunaedi adalah seorang aristokrat Jawa dan pemilik perkebunan yang juga menceburkan diri dalam dunia pers pergerakan. Djunaedi punya percetakan di Senen (Rosihan 2012: 11). Dia juga banyak membantu Pemandangan dalam hal pendanaan dan modal. "Djoenaedi “mendjadi ‘raga’ dari daglad Pemandangan", sedangkan Saeroen dapat diumpamaan "mendjadi djiwanja” (Rahzen 2007: 450).
Surat kabar ini pada awalnya terbit sekali seminggu (weekblad), tetapi sejak 27 September 1933 terbit setiap hari (dagblad). Haluan surat kabar ini ialah “mentjoba memihak pada kebenaran”. Surat kabar ini juga memegang prinsip hadir sebagai surat kabar independen yang “berdiri di atas kekoeatan sendiri”, jadi tidak ingin bergantung atau tidak mau diintervensi oleh kekuatan lain, baik dalam permodalan maupun kebijakan politik. Dalam dunia persuratkabaran Hindia Belanda, Pemandangan bisa dikatkan sebagai corong kritik yang adil bagi jalannya kekuasaan. Hal ini terlihat dari pernyataannya “mentjela dan peringatkan pada pemerentah ataoe partij apapoen jang menoeroet Pemandangan haroes diperingatkan dan ditjela” (Rahzen, 2007: 451).
Di bawah Saeroen, harian ini mendapat kemajuan yang pesat. "Kampret", nama pena Saeroen untuk sebuah rubrik pojok di surat kabar itu mulai terkenal dan ditunggu-tunggu pembacanya karena menyajikan artikel-artikel yang berisi pandangan-pandangan tajam dan kritis terhadap persoalan aktual. Pada 1 Juli 1936, pemimpin redaksi surat kabar ini berganti ke Mohammad Tabrani, seorang jurnalis dan politisi zaman pergerakan yang berperan besar menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional (Poeze 1998: 70). Tokoh Jong Java ini memimpin redaksi Pemandangan pada periode Juli 1936 hingga Oktober 1940. Di bawah Tabrani, Saeroen masih menulis artikel untuk pojok koran itu dengan nama pena yang sama.
Namun, pada suatu edisi, Kampret menulis mengenai impiannya tentang Republik Indonesia Serikat (RIS). Kolom di pojok itu ditanggapi serius oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah menafsirkan isi kolom tersebut sebagai seruan agar Indonesia membentuk pemerintah sendiri setelah Belanda diduduki Jerman (Siahaan 1993: 520). Akibatnya, Pemandangan diberangus oleh pemerintah kolonial Belanda (Sinematek 1979: 424). Akibat tulisan tersebut, koran ini pun kena persbreidel ordonantie dan dikenai sanksi berhenti terbit selama seminggu (antara 17 dan 24 Mei 1940). Inilah kali pertama impian orang Indonesia akan pembentukan negara sendiri yang disajikan di koran terkena ranjau pers (Rahzen 2007: 142). Tidak hanya dilarang terbit, percetakan yang mencetak Pemandangan yang dipimpin Djoenaedi dan Mr. Sumanang yang berkantor di Jl. Senen Raya pun diobrak-abrik polisi (Notodijodjo, 1980: 143).
Pada awal zaman Jepang Pemandangan sempat tidak terbit untuk beberapa waktu. Namun kemudian segera diizinkan terbit kembali oleh Bala Tentara Dai Nippon, dengan syarat harus mengganti nama, dan nama yang dipakai adalah Pembangoen (Notodijodjo 1980: 95; Poesponegoro 2008: 99). Karena itu, surat kabar ini menjadi satu-satunya surat kabar yang tidak tutup atau berhenti terbit pada awal masa-masa pendudukan Jepang (Rahzen, 2007: 142).
Pada masa revolusi, Pemandangan tetap ikut meramaikan dunia persuratkabaran tanah air. Meskipun bersifat nasionalis, koran ini memilih untuk tidak berpihak kepada partai-partai politik. Pada waktu itu, oplah harian koran ini sekitar 7.000. Pada tahun 1953, Pemandangan dituduh membocorkan rahasia nasional mengenai gaji pegawai negeri sipil baru dan investasi asing ke-21 perusahaan. Oleh berbagai deraan yang menimpanya, pada tahun 1958 koran ini akhirnya berhenti terbit untuk selamanya.
Penulis: Dedi Arsa
Instansi: IAIN Bukittinggi
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Referensi
Anwar, Rosihan, 2012. Manusia Komunikasi, Komunikasi Manusia, Jakarta: Kompas.
Hamad, Ibnu, 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik, Jakarta: Granit.
Notodidjojo, Soebagijo Ilham, 1980. Sumanang sebuah Biografi, Jakarta: Gunung Agung.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, 1942-1998, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Poeze, Harry A. & Antoinette Liem, 1998. Lasting Fascinations: Essays on Indonesia and the Southeast Pacific to Honour Bob Hering, Jakarta: Yayasan Kabar Seberang.
Rahzen, Taufik (ed.), 2007. 1907-2007 Seabad Pers Kebangsaan, Jakarta: I:Boekoe.
Siahaan, Hotman & Trahjo Purnomo, 1993. Tajuk-Tajuk dalam Terik Matahari: Empat Puluh Tahun Surabaya Post, Surabaya: Yayasan Keluarga Bhakti.
Sinematek Indonesia, 1979. Apa Siapa Orang Film Indonesia, 1926-1978, Jakarta: Yayasan Artis Film & Sinematek Indonesia.