Penjara Boven Digul
Boven Digul adalah sebuah wilayah yang pada masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda termasuk ke dalam Karesidenan Maluku, Nieuw Guinea Selatan. Wilayah ini berada di sebelah timur Sungai Digul, Papua bagian selatan, dan dikenal sebagai jungle sanatorium (wilayah yang terisolir karena hutan belukar, rawa, dan hewan buas) yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen (Handoko 2016). Di wilayah ini, dibangun sebuah kamp seluas 10.000 hektare dengan tujuan khusus, yaitu untuk mendisiplinkan pegawai sipil Belanda yang melanggar aturan, serta untuk mengasingkan para pejuang kemerdekaan dan tahanan politik (ANRI 1938). Eksplorasi Kolonial Belanda di Boven Digul pertama kali terjadi di tahun 1907. Selain pembangunan kamp pengasingan pada tahun 1927, Kapten L. Th. Becking yang memimpin pengembangan wilayah menjadi koloni baru Belanda, membangun pula barak militer, gudang, rumah sakit, stasiun radio, kantor pos, koperasi, serta sarana pendidikan dan olahraga. Setidaknya terdapat tiga kamp yang dibangun, yaitu kamp Tanah Merah, Tanah Tinggi, dan Gudang Arang (Mirawati 1990).
Sepanjang tahun 1927 hingga 1942, para interniran, sebutan bagi orang-orang dalam pengasingan, ditempatkan di Kamp Konsentrasi Boven Digul (Deportatie Kamp Boven Digoel) (Shiraishi 2001). Penyebab utamanya adalah oleh karena di antara tahun tersebut, terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Banten tahun 1926, di Sumatera Barat tahun 1927, dan seterusnya. Selain itu, sejumlah aktivis dari organisasi politik lainnya juga turut diasingkan ke kamp ini, seperti tokoh Partai Republik Indonesia (PARI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (PARTINDO), Perhimpunan Muslim Indonesia (PERMI), Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), dan lainnya karena dianggap berpotensi menimbulkan ketidakstabilan politik di Hindia Belanda melalui pemikiran dan pergerakan mereka (Handoko 2016).
Pembuangan para tokoh politik ke Boven Digul tidak berupa sanksi yang diberikan setelah melewati proses hukum (penal sanction), tetapi tindakan administratif yang ditetapkan oleh gubernur jenderal (exorbitant rechten), yang mewajibkan seseorang untuk menetap di luar wilayah yang dikehendaki Pemerintah Hindia Belanda (Handoko 2016). Pendirian kamp Boven Digul disetujui dalam Pertemuan Luar Biasa Dewan Hindia Belanda (Raad van Nederlandsch-Indie) pada 18 November 1926, setelah serangkaian peristiwa pemberontakan komunis di Jawa, berdasarkan usul Gubernur Jenderal A.C.D. de Graaff (Shiraishi 2021). Sementara itu, alasan dipilihnya wilayah sekitar Sungai Digul itu adalah karena kondisinya yang terisolasi, berada di tengah hutan dan rawa dengan nyamuk malaria, buaya, dan penduduk lokal kanibal yang masih suka berburu manusia. Sebagai gambaran, Handoko (2016) mencatatkan bahwa jarak antara kamp dengan muara Sungai Digul adalah sejauh 455 kilometer, dengan kata lain sejauh Jakarta-Semarang atau Amsterdam-Paris.
Pada awal beroperasinya, para tahanan kamp hidup secara terpisah berdasarkan etnis mereka, antara lain Kampung Ujung Sumatera (etnis Minangkabau), Aceh, Lampung, Kampung Jawa (meliputi orang Jawa, Sunda, dan Madura), dan Banten. Selain itu, mereka juga terbagi atas beberapa kelompok aktivitas, seperti kelompok opera, musik, teater, kethoprak, wayang orang, dan keroncong. Kelompok aktivitas seni dan olahraga bernama Kunst en Sportvereeniging Digoel ini bertahan hingga dibubarkannya kamp Boven Digul pada 1943. Lebih jauh, Handoko (2016) menjelaskan empat kategori kehidupan struktural di Tanah Merah untuk menggambarkan kehidupan sosial dan kekeluargaan di dalam kamp, dengan meminjam konsep Mrazek (1994) tentang normalitas (normality) (lihat juga Kusno, 2010).
Kategori pertama adalah De Werkwillinger atau kelompok tahanan yang bersedia untuk bekerja sama dengan pemerintah, antara lain sebagai kepala kampung, juru tulis, perawat, pekerja dinas pengendali malaria, kuli, pekerja teknik, hingga pekerja kasar lainnya. Kategori ini adalah yang paling banyak ditemukan. Mereka digaji dan mendapatkan kesempatan dipulangkan lebih besar karena sikap kooperatif yang mereka tunjukkan. Beberapa tokoh dari kategori ini antara lain Gondoyuwono, Suprojo, Suprapto, dan Budisucitro. Kategori kedua adalah De Eigenwerkzoekenden atau kelompok pekerja mandiri, seperti nelayan, petani, pemilik toko, dan pekerjaan wiraswasta lainnya. Mereka adalah kelompok yang paling kecil kemungkinannya untuk dipulangkan karena kontribusinya yang kecil terhadap pemerintah.
Dua kategori berikutnya adalah De Steuntrekkers atau kelompok masyarakat dengan penyakit kronis seperti Malaria dan Tuberkulosis atau gangguan jiwa akut, dan De Naturalisten atau kelompok yang menolak bekerja untuk pemerintah tetapi menerima bantuan pemerintah dalam bentuk in natura atau barang. Kelompok yang terakhir adalah kelompok masyarakat yang paling diawasi.
Memasuki masa Perang Dunia II, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berusaha mempertahankan Boven Digul. Namun, kamp akhirnya ditutup pada 1943 oleh karena pemerintah kolonial telah terdesak mundur ke Australia karena serangan tentara Jepang. Pemerintahan pengasingan di Melbourne, Australia merasa khawatir, sebab jika mereka meninggalkan para tahanan politik di kamp, maka ada kemungkinan tentara Jepang akan membebaskan mereka dan mengajak mereka untuk bekerja sama (Handoko 2016).
Oleh karena itu, diputuskanlah bahwa para tahanan politik dibawa serta ke Australia. pemindahan tahanan politik dari Boven Digul ke Australia dipimpin oleh Ch. O. van der Plas. Para tahanan politik inilah yang kemudian turut berpartisipasi dalam mendukung kemerdekaan Indonesia, dengan melakukan pemboikotan kapal Belanda yang hendak kembali ke Hindia Belanda setelah kekalahan Jepang dan proklamasi pada tahun 1945, di bawah Waterside Workers Federation sebagai federasi buruh terbesar di Australia. Peristiwa ini dikenal dengan nama Peristiwa Armada Hitam (Lockwood 1975).
Penulis: Linda Sunarti
Instansi: Institut Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Arsip Nasional Republik Indonesia (1938). “Residen Maluku: Daftar Surat Keputusan tanggal 5 Oktober 1938 No. BB 100/1/1 tentang batas-batas di perkampungan narapidana Boven Digoel, disertai lampiran peta 1 lembar”. https://www.anri.go.id/download/inventaris-arsip-boven-digoel-1605866328.
Handoko, Susanto T. (2016). “Boven Digoel dalam Panggung Sejarah Indonesia: Dari Pergerakan Nasional Hingga Otonomi Khusus Papua”, Jurnal Sejarah Citra Lekha 1(2): 81-92.
Kusno, Abidin (2010). “Chapter 7. Urban Pedagogy: The Appearance of Order and Normality in Late Colonial Java, 1926–42”, dalam The Appearances of Memory: Mnemonic Practices of Architecture and Urban Form in Indonesia. New York: Duke University Press, pp. 182-200.
Lockwood, Rupert (1975). Black Armada. Sydney: Australia Book Society.
Mirawati, Inna (1990). Inventaris Arsip Boven Digoel, 1927 – 1934 & 1954. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
Mrazek, Rudolf (1994). Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia. New York: Cornell Southeast Asia Program.
Shiraishi, Takashi (2021). The Phantom World of Digul: Policing as Politics in Colonial Indonesia, 1926-1941. Singapore: Kyoto CSEAS Series on Asian Studies.