Partai Nasional Indonesia (PNI)

From Ensiklopedia

Partai Nasional Indonesia (PNI) adalah satu partai politik yang memiliki sejarah panjang dalam dinamika kekuasaan di Indonesia. Didirikan pertama kali oleh Sukarno pada Juli 1927, PNI telah berkontribusi sangat berarti dalam pembentukan kesadaran nasionalisme masyarakat Indonesia.  PNI berhasil menarik banyak simpati masyarakat dan menjadi salah satu partai massa terbesar yang pernah berdiri dalam catatan sejarah politik Indonesia.  

Technische Hoge School Bandung sekitar tahun 1926, tempat Sukarno muda menempuh pendidikan, telah menghantarkannya aktif dalam Algemeene Studieclub, sebuah perkumpulan mahasiswa yang terinspirasi Indonesische Studie Club yang diprakarsai Dr. Soetomo. Bersama dengan teman-temannya dalam kelompok tersebut, Sukarno aktif mengikuti berbagai pertemuan dan perkembangan politik di Hindia-Belanda (van Niel, 1984: 297). Dalam hal ini, dia memberi perhatian khusus pada perkembangan Sarekat Islam (SI)—sebagai organisasi terbesar di Hindia-Belanda saat itu—yang terpecah menjadi dua faksi menyusul masuknya paham komunis (McVey 1965: 170), sehingga inti gerakan nasional yang kuat sudah tidak ada lagi.

Oleh karena itu, Sukarno merasa perlu sebuah kekuatan politik yang dapat merepresentasikan perjuangan rakyat untuk mencapai kemerdekaan. Maka pada  4 Juli 1927, “…dengan dukungan dari enam orang kawan dari Algemeene Studieclub, aku mendirikan P.N.I. Partai Nasional Indonesia…”, kenang Sukarno dalam Autobiografinya (Adams 2018: 42). Sejak saat itu PNI resmi berdiri dengan Sukarno sebagai ketua dewan pengurus umum dan Iskaq Tjokrohadisurjo sebagai sekretaris-bendahara (Giebels 2001: 81)

PNI di bawah kepemimpinan Sukarno mengalami perkembangan yang cukup pesat. Diketahui pada akhir 1928 jumlah anggota PNI telah mencapai 2.787 orang, dengan cabang-cabang yang tersebar di beberapa wilayah, antara lain yaitu Bandung, Batavia, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Pekalongan, Palembang, Makassar, serta Manado (Suhartono, 1994: 58). Selain hasil perjuangan para anggota, penting dicatat bahwa keberhasilan tersebut juga tidak terlepas dari pengaruh Sukarno, yang dengan kemampuan orasinya berhasil menarik simpati dari banyak pihak (Minarno 2011: 67). PNI telah berhasil menyelenggarakan kongres sebanyak dua kali. Kongres pertama pada Mei 1928 di Surabaya, sedangkan kongres kedua diselenggarakan pada Mei 1929 (Legge 1985: 115).

Sejak kongres kedua inilah guncangan terhadap partai besutan Sukarno ini mulai terjadi. Merasa Gubernur Jenderal Andries C.D. de Graaff (berkuasa 1926-1931)  kooperatif dan tidak terlalu keras terhadap gerakan nasionalisme, Sukarno mulai menunjukkan sikap radikal menuntut kemerdekaan, yang kemudian menarik perhatian pemerintah kolonial. Sejak saat itu semua tindakan dan pergerakan PNI mulai diawasi dan dibatasi oleh polisi Hindia-Belanda (Legge 1985: 129), yang puncaknya terjadi pada 1930 ketika pemerintah kolonial melakukan penangkapan terhadap para petinggi PNI, termasuk Soekarmo yang dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. PNI secara resmi dibubarkan pada 11 November 1930 (Zalukhu dan Subaryana 2020: 13; Asshiddiqie 2006: 171).  

Setelah Indonesia merdeka, pada 29 Januari 1946, PNI resmi terbentuk kembali dengan S. Mangoensarkoro sebagai ketua. Pembentukan PNI terjadi setelah Serikat Rakjat Indonesia (Serindo), berdiri pada November 1945, memutuskan fusi bersama beberapa partai lain yang memiliki asas dan tujuan yang sama, diantaranya PNI Pati dan Madiun, Partai Kedaulatan Rakyat, PNI Palembang dan Sulawesi, Partai Republik Indonesia (PRI), dan partai kecil lainnya. Mereka sepakat mendirikan partai baru dengan nama PNI (Rocamora 1970: 143-144).  

Munculnya kembali PNI berhasil memperoleh banyak dukungan dari berbagai lapisan masyarakat. Hal ini salah satunya karena ada nama Sukarno yang melekat dalam tubuh PNI. Dukungan tersebut membuat PNI tumbuh menjadi partai besar dalam waktu relatif singkat (Kahin 1970: 171-195). Selama di bawah kepemimpinan  Mangoensarkoro, PNI berhasil menyelenggarakan setidaknya empat kali kongres nasional. Pada tahun 1950, tampuk kekuasaan PNI secara resmi pindah pada Sidik Djojosukarto (1950-1955). Akan tetapi, terdapat penolakan dari beberapa anggota PNI, yang kemudian berujung pada pecahnya PNI menjadi dua partai. Mereka yang menolak Sidik kemudian memisahkan diri dan membentuk PNI Merdeka, yang kemudian berubah nama menjadi Partai Rakyat Nasional (PRN) (Kementerian Penerangan, 1951 :126).

Di bawah kepemimpinan Sidik, PNI berhasil mendapatkan kursi penting dalam kabinet, diantaranya dengan terpilihnya Suwiryo sebagai Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Sukiman, dan Wilopo sebagai Perdana Menteri dalam kabinet yang menggantikannya. PNI terus melebarkan sayapnya ketika pada 1955 mereka berhasil menempati urutan pertama dalam Pemilu 1955, dengan perolehan 22,3% suara. Dengan demikian PNI berhak atas 57 kursi dari 257 kursi di parlemen (Minarno 2011: 59).  Akan tetapi, setelah PNI mencapai kemenangannya, pada tahun yang sama Sidik Djojosukarto meninggal dunia. Kemudian kepemimpinan PNI jatuh kepada Suwiryo (1956-1960), setelah unggul dengan perolehan suara 2655 dalam Kongres PNI yang berlangsung di Semarang pada 30 Juli 1956 (De Nieuwsgier, edisi 30 Juli 1956). Kemudian, pada 1958 kembali terjadi pergolakan internal, yang membuat sayap kiri memisahkan diri pada Juli 1958 dan kemudian membentuk Partindo (Lev 2009: 181-182).

Pada kongres partai kesembilan (1960) kembali diadakan pemilihan pemimpin PNI, dengan hasil akhir Ali Sastroamidjojo terpilih sebagai ketua baru PNI  (McIntyre 1972: 185). Salah satu peristiwa besar yang mewarnai periode kepemimpinan Ali S. adalah meletusnya serangan G 30/S 1965. Pasca peristiwa 1965, terjadi pembersihan besar-besaran terhadap partai politik yang diduga berafiliasi dengan PKI. PNI menjadi satu dari sekian partai yang posisinya cukup terancam. Akan tetapi pada saat yang sama di dalam tubuh PNI kembali terjadi perpecahan, yang menyebabkan adanya dualisme kepemimpinan, yakni kubu Ali Sastroamidjojo yang setuju dengan kebijakan Nasakom Sukarno, dan kubu Hardi yang bersifat antikomunis. Perpecahan ini ternyata justru menyelamatkan PNI dari pembersihan yang dilakukan terhadap partai politik. Jenderal Soeharto yang pada saat itu bertugas untuk memimpin operasi tersebut tetap mempertahankan PNI, karena adanya kubu yang bersifat antikomunis (Historia, edisi 28 September 2019, https://historia.id/politik/articles/pni-pasca-peristiwa-1965-PG8lK/page/1 ).

Memasuki Orde Baru, pemerintah bermaksud untuk tetap mempertahankan PNI agar berada di bawah kontrolnya dengan memilih Osa Maliki sebagai pemimpin PNI. Akan tetapi, pada 1970 Osa meninggal dan digantika  Hadisubeno Sosrowedojo. Sejak itu, kondisi PNI yang mulai melemah. Pada 1973, dalam rangka membatasi jumlah partai politik dan melemahkan kubu oposisi, PNI bersama dengan beberapa partai lainnya dilebur menjadi satu kedalam Partai Demokrasi Indonesia (McDonald 1980: 102-103).

Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto, para anggota PNI terdahulu sepakat untuk menghidupkan kembali PNI, salah satunya adalah PNI-Marhaenisme yang dideklarasikan pada Mei 2002 dengan Sukmawati Sukarnoputri sebagai pemimpin. Namun, partai tersebut gagal dalam proses verifikasi Pemilu 2004, dan tidak dapat mengikuti Pemilu 2009, 2014, maupun 2019 (Setiawan dan Nainggolan 2004: 25-478; Sekretariat Jenderal KPU, 2010: 41-42).

Penulis: Allan Akbar
Instansi: Bank Indonesia Institute
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Arsip Surat Kabar

(De Nieuwsgier, edisi 30 Juli 1956).


Buku dan Artikel

Adams, Cindy. (2018). Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Bung Karno.

Asshiddiqie, Jimly. (2006), Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Giebels, Lambert, (2001), Sukarno Biografi 1901-1950. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Janti, Nur, “PNI Pasca Peristiwa 1965”, dalam Historia edisi 28 September 2019, https://historia.id/politik/articles/pni-pasca-peristiwa-1965-PG8lK/page/1, diakses pada April 2022.

Kahin, George McTurnan.  (1970). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press.

Kementerian Penerangan Republik Indonesia, (1951). Kepartaian di Indonesia. Jakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia.

Legge John D, (1985). Sukarno Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Sinar Harapan

Lev, Daniel S. (2009). The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959. Singapore: Equinox Publishing.

McDonald, Hamish (1980). Suharto's Indonesia. Jakarta: Fontana/Collins.

McIntyre, Angus. “Divisions and Power in the Indonesian National Party, 1965-1966”, dalamIndonesia, No. 13, April, 1972, pp. 183-210.

McVey, Ruth T., (1965). The Rise of Indonesian Communism. New York: Cornell University Press.

Minarno, Santoso. (2011). “Strategi PNI dalam Memenangakan Pemilihan Umum 1955 di Jawa Tengah”, Skripsi. Universitas Negeri Semarang.  

Rocamora, J. Eliseo. “The Partai Nasional Indonesia 1963-1965”, dalam Indonesia, No. 10, October, 1970., pp. 143-181.

Sekretaris Jenderal KPU, (2010). Pemilu untuk Pemula. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum.

Setiawan, Bambang; Nainggolan, Bestian, eds. (2004). Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004–2009. Jakarta: Kompas.

Suhartono. (1994). Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Van Niel, Robert. (1984), Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Zalukhu, Turia Martin, dan Subaryana. “Sukarno dan Perjuangannya dalam Partai Nasional Indonesia”, dalam Akademika: Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol. 19, No. 2, Oktober 2020.