Perang Gerilya

From Ensiklopedia

Dalam keseluruhan episode sejarah Indonesia, perang gerilya adalah bagian dari revolusi atau perang kemerdekaan. Perang gerilya merupakan konsekuensi mutlak dari sebuah perjuangan melawan entitas kolonial (Kecik 2009, 4).. Istilah perang gerilya berasal dari bahasa Spanyol guerra de guerrilla. Guerra berarti perang yang dilakukan dengan kelompok kecil terdiri dari 5, 10, atau 15 orang bersenjata (Idris 2001, 191). Nasution mengemukakan bahwa perang gerilya merupakan perang sembunyi-sembunyi yang sangat efektif, dapat menipu, dan mengelabuhi musuh (Uddin, dkk 2020, 89). Kelompok gerilya ini biasanya terdiri dari berbagai unsur pejuang seperti petani, saudagar, guru, mahasiswa, bahkan tentara reguler. Dalam konteks pendudukan Napoleon Bonarpate di Spanyol (1803-1814), para pejuang Spanyol melancarkan serangan secara kontinu terhadap pasukan Napoleon sehingga mereka selalu berada dalam ketakutan dan ancaman (Idris 2001).

Adapun taktik yang dirancang dalam perang gerilya mirip dengan taktik militer, seperti pengadangan, melakukan tindakan sabotase, penyergapan, pendadakan dengan mobilitas yang luar biasa serta memukul sasaran yang lemah kemudian mundur dengan cepat. Ada juga ide-ide yang terkadang tidak masuk akal atau bahkan terkesan seperti main-main, misalnya merusak jembatan, membuat kubangan air di jalan kemudian menutupnya dengan samaran, memasang kawat melintang jalan, menggunakan sarang lebah, menggunakan ketepel, dan berbagai taktik lain (Soedarmadi 2021, 45).

Meskipun demikian, perang gerilya tidak boleh diartikan bahwa setiap orang dapat bertempur sekehendak hati. Taktik gerilya bukan berarti menggempur secara terus-menerus, mencari musuh, atau menyerang, tetapi termasuk juga menghilang jika diserang dan muncul lalu menyerang jika musuh tengah diam. Dengan demikian, musuh merasa ketakutan dan merasa tidak aman. Serangan mendadak itulah yang membuat musuh kalang kabut dan ditakuti. Selama masa pendudukan tantara Belanda, baik di dalam maupun di luar, kaum gerilyawan tidak pernah melancarkan serangan secara frontal terhadap musuh. Di luar kota dilakukan pencegatan terhadap konvoi Belanda yang masuk atau keluar kota (Muljana 2008, 212). Taktik perang gerilya lebih dipilih dibanding perlawanan frontal karena dari personil dan infrastuktur persenjataan yang terbatas (Sjahnan 1982, 328). Perang kemerdekaan yang dicetuskan oleh proklamasi dilakukan dalam bentuk perang gerilya karena para pejuang bersenjata inferior dalam profesionalisme militer, pengalaman, dan persenjataan dibandingkan dengan angkatan perang dari pihak musuh. Perang gerilya mutlak memerlukan dukungan rakyat; dengan demikian hakikat perang gerilya ialah politik dan militer (Oetama 2001, 83).

Kolonel Abdul Haris Nasution telah memberi sorotan serta ulasan penting terkait pokok-pokok peperangan gerilya, salah satunya pemahaman bahwa perang gerilya secara strategis bersifat defensif dan tidak mampu mengalahkan musuh, tetapi hanya untuk memeras darah musuh. Kemenangan terakhir hanya dapat tercapai dengan mengerahkan tentara yang teratur dalam perang yang biasa. Hanya tentara yang teratur yang dapat melakukan offensif sehingga dapat menaklukan musuh (Nasution 1965, 17).

Penulis: Fanada Sholihah
Instansi: Universitas Diponegoro
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.


Referensi

Crouch, Harold. “Generals and Business in Indonesia.” Pacific Affairs 48, no. 4 (1975): 519–40. https://doi.org/10.2307/2756450.

Idris, Soewardi, 2001. Pejuang Kemerdekaan Sumbar-Riau: pengalaman tak terlupakan, Volume 2, 191. Jakarta: Yayasan Pembangunan Pejuang 1945 Sumatra Tengah.

Kecik, Hario, 2009. Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia. Yayasan Obor: Jakarta.

Muljana, Slamet, 2008. Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (Jilid 2). Yogyakarta: LKiS.

Nasution, A. H., “Guerilla Principles,” The Straits Times, 29 November 1965, 17.

Nasution, A.H., 1954. Pokok-pokok Gerilya.

Oetama, Jakob, 2001. Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: menyambut 70 tahun. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Sjahnan, H. R., 1982. Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan. Medan: Dinas Sejarah Kodam-II/ BB.

Soedarmadi (2021) Aku Ingin Cerita 2. Jakarta: Absolote Media.

Uddin, Baha; Harnoko, Darto; Nurhajarini, Dwi Ratna;  Fibiona, Indra; dan Ibrahim, Julianto (2020) Masyarakat Pedesaan dan Revolusi Kemerdekaan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Dinbud DIY.