Revolusi

From Ensiklopedia

Dalam penulisan sejarah Indonesia, revolusi merujuk pada suatu periode dari 1945 sampai 1949 (Reid, 1995: 296 dan Legge, 1993: 1) atau dari 1945 sampai 1950 (Kahin, 1995: 596). Menurut Ricklefs, revolusi merupakan kisah sentral dalam sejarah Indonesia (Ricklefs, 1995: 317). Inti dari periode revolusi adalah bergeloranya semangat kemerdekaan dan dekolonisasi di tengah berbagai bentuk kekacauan yang terjadi. Orientasi pada kemerdekaan ditunjukkan dengan pengorbanan-pengorbanan atas nama revolusi (Ricklefs, 1995: 317). Meskipun saling mencurigai, kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan diplomasi secara bersama-sama berhasil (Ricklefs, 1995: 318) menyelesaikan revolusi politik. Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Republik Indonesia (RI) sebagai unsur didalamnya serta negara-negara Sumatera Timur dan Indonesia Timur digantikan dengan Republik Indonesia dengan konstitusi kesatuan (Ricklefs, 1995: 352).

Legge mengidentifikasi bahwa bagi orang Indonesia, revolusi pada 1945-1949 merupakan manifestasi tertinggi dari tekad nasional, lambang kemandirian suatu bangsa, dan bagi mereka yang terlibat didalamnya sebagai suatu pengalaman emosional yang luar biasa (Legge, 2003: 1). Dalam hal ini, Kahin melihat bahwa revolusi mempunyai pengaruh psikologis umum yang besar sekali. Selain mengusahakan perubahan mendasar dalam status politik Indonesia, revolusi membawa perubahan luas yang mencolok dalam ciri bangsa Indonesia. Selama periode 1945 sampai 1950, keterlibatan pribadi dan martabat kebersamaan, serta rasa menghargai diri sendiri berkembang pesat. Perubahan terbesar terjadi pada penduduk kota yang terpelajar, dan selanjutnya di kalangan penduduk yang bekerja sebagai buruh di kota-kota dan perkebunan-perkebunan. Namun hingga taraf yang penting, revolusi juga mempengaruhi kebanyakan petani  . Dari situ muncul kekuatan dan kreativitas dalam menanggulangi masalah sosial ekonomi maupun politik di kalangan penduduk Indonesia, yang mencengangkan bagi banyak generasi Indonesia yang lebih tua (Kahin, 1995: 596).

Perubahan paling menyolok terjadi pada karakter generasi muda. Selama tahun-tahun kritis, 1945-1950, unsur paling dinamis dalam revolusi adalah pemuda terpelajar Indonesia . Tanpa pengerahan kekuatan mereka, revolusi Indonesia tidak akan berhasil. Selain peranan pemuda terpelajar dalam mengggerakkan revolusi, mereka juga memainkan peranan besar dalam memimpin administrasi pemerintahan angkatan bersenjata. Hal ini disebabkan karena kurangnya pegawai negeri sipil Indonesia dari tingkat atas dan menengah yang dilatih oleh rezim kolonial dan juga kurangnya kelas profesional tingkat apa pun atau kelas komersial menengah, yang dapat diambil dari orang-orang yang berpengalaman untuk mengisi pos-pos tersebut. Untuk memperbaiki kekurangan tersebut, sumber satu-satunya yang ada adalah pemuda terpelajar, khususnya mahasiswa dan pelajar sekolah menengah atas (Kahin, 1995: 596-597).

Menurut Ben Anderson, bagi Belanda, menonjolnya peranan pemuda dalam revolusi nasional Indonesia mengubah makna kata pemuda yang sebelumnya biasa saja, menjadi mengandung kesan yang menakutkan dan kejam. Sementara di pihak Indonesia terdapat kepustakaan yang berisi pemujaan yang memperlihatkan kesadaran yang menggembirakan atas bangkitnya pemuda sebagai kekuatan revolusioner (Anderson, 1988: 21).

Semangat revolusi juga terlihat dalam kesusastraan dan kesenian. Keseluruhan generasi sastrawan yang daya kreatifnya memuncak pada masa revolusi dinamakan Angkatan 45. Di antara mereka adalah penyair Chairil Anwar, penulis prosa Pramoedya Ananta Toer dan wartawan Mochtar Lubis (Ricklefs, 1995: 322). Dalam lukisan modern, Affandi dan Soedjojono tidak hanya menangkap semangat revolusi, tetapi juga memberikan dukungan dengan membuat poster-poster anti-Belanda.

Meskipun periode revolusi berakhir dengan terbentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950, namun proses revolusi terus berlanjut karena masih banyak gangguan-gangguan terhadap keamanan dan kedaulatan negara (Sukarno, 1965: 113). Sukarno membuat periodisasi revolusi menjadi dua. Periode revolusi 1945-1950 dimaknai Sukarno sebagai periode revolusi fisik, periode survival I. Periode selanjutnya, 1950-1962 merupakan periode survival II (Sukarno, 1965: 529). Di luar periodisasi tersebut, Sukarno memaknai revolusi bukan saja berjuang menghadapi musuh tetapi juga menghadapi diri sendiri (Sukarno, 1965: 283) dan syarat mutlak keberhasilan revolusi nasional adalah persatuan nasional (Sukarno, 1965: 118).

Penulis: Asti Kurniawati
Instansi: Universitas Sebelas Maret
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi:

Anderson, Ben (1988). Revoloesi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kahin, George McTurnan (1995). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Legge, J.D. (2003). Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan. Peranan Kelompok Sjahrir. Jakarta: Grafiti dan Freedom Institute, Cetakan Kedua.

Ricklefs, M.C. (1995). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sukarno (1965). Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Kedua, Cetakan Kedua.