Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)

From Ensiklopedia
Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) di Canduang tahun 1930an. Sumber: https://tarbiyahislamiyah.id.


Perti atau PTI bermula dari Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang lahir untuk mengkoordinir sekolah-sekolah tradisional  ke dalam satu sistem yang sama. Upaya itu dimulai pada 5 Mei 1928, ketika Syekh Sulaiman Arrasuli, seorang ulama kaum tua dari Canduang (Sumatra Barat) melakukan pembaharuan surau-nya dengan meniru sistem madrasah kaum muda. Sang Syekh memperkenalkan sebuah sistem sekolah modern bertingkat dan mengubah nama sekolahnya menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (Abdullah 2018: 171; Noer 1996: 241). Langkah Sulaiman diikuti sejumlah ulama kaum tua lainnya dengan “mengubah surau mereka menjadi madrasah yang terorganisasi” (Djamal 2002: 29; Yunus 1971: 59).

Kerja sama kaum tua inilah yang menghasilkan konferensi kaum tua untuk membentuk Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti atau PTI) (Hamka 1967: 295). Konferensi yang dimaksud diadakan di Canduang, tidak begitu jauh dari Fort de Kock (Bukittinggi) pada tanggal 20 Mei 1930. Dalam konferensi itu, kaum tua menyatakan tekad mereka untuk melanjutkan perjuangan mereka atas mazhab Syafii, di mana mereka "mendasarkan program pendidikannya pada pelestarian dan penguatan harmoni antara adat yang abadi dan hukum agama yang wajib (adat nan kawi, syarak dan lazim)" (Abdullah 2018: 170). Untuk itu, mereka berkehendak untuk memajukan amal-amal sosial dan ibadat dengan membangun masjid dan mushala, serta mendirikan madrasah-madrasah dari tingkat rendah sampai tingkat yang paling tinggi (Yunus 1971: 60).

Selain hal  di atas itu, upaya kaum tua memperluas dan mengembangkan MTI menjadi Perti lebih didasari tujuan utama untuk "mempersatukan segenap golongan Islam tradisional di Indonesia" (Noer 1996: 241). Pendirian Perti menandai "suatu titik balik yang baru bagi konfrontasi dengan kaum muda yang telah lebih dulu terorganisir secara lebih baik dalam bentuk Thawalib dan Diniyah" (Abdullah 2018: 170).  

Pada tahun 1932, Perti sempat mengubah nama menjadi Persatuan Pendidikan Islam Indonesia (PPII) (Indisch Verslag 1933: 15). Memakai nama Indonesia, organisasi ini dicurigai pemerintah kolonial sebagai organisasi politik. Beberapa pengurusnya memilih menarik diri dan PPII tidak pernah berkembang lagi setelah itu, vakum dan bahkan sempat bubar. Pada 1937, dalam kongres di Suliki, pedalaman Minangkabau, Perti dihidupkan lagi dan upaya ini mendapat sokongan luas dari ulama senior kaum tua. Nama lama mereka tampaknya dikembalikan lagi dan nama baru yang dicetuskan tidak pernah populer dipakai.

Mahmud Yunus menulis sejak berdiri Perti telah "hidup dengan kokoh dan subur", mempunyai madrasah-madrasah yang tidak sedikit jumlahnya, dan mempunyai cabang yang melingkupi tidak hanya seluruh Minangkabau, tetapi juga di luar Minangkabau (Yunus 1971: 57). Pada 1930 saja, misalnya, Perti memayungi 36 madrasah. Mulai dari awal 1931, Perti punya 30 cabang dan sekitar 4.000 anggota (Abdullah 2018: 170-1). Pada akhir tahun 1930-an, Perti memiliki 127 madrasah Islam tradisional di bawah naungannya (Kahin 2008: 116). Sementara jumlah anggotanya bertambah berkali-kali lipat selama satu dekade berselang. Pada 1941, misalnya, keanggotaan Perti tercatat sudah mencapai 20.000 anggota (De Sumatra Post, 17-03-1941).

Karakter Perti yang becorak personal dan terbatas serta agak otoriter, di mana pemimpinnya yang kebanyakan bergelar syekh dan menjadi figur kunci yang ditakzimkan, menjadikan Perti sulit berkembang, serta memperlemah kemampuannya untuk bersaing dengan organisasi kaum muda (Abdullah 2018: 171). Selama masa kolonial, Perti hanya organisasi yang relatif kecil dan tidak dapat mengimbangi organisasi kaum modernis Muslim seperti Sumatra Thawalib dan Diniyah (Noer 1996: 241; Djamal 2002: 70).

Bagi pemerintah kolonial, Perti dianggap organisasi yang loyal dan tidak terlibat dalam politik (Abdullah 2018: 172). Namun, setelah Indonesia merdeka, ketika Maklumat Pemerintah RI tanggal 2 November 1945 yang menganjurkan untuk mendirikan partai-partai politik keluar, Perti "dengan suara bulat" diubah menjadi partai politik bernama Partai Islam Perti (Djamal 2002: 70; Yunus 1971: 59). Dalam kongres Partai Islam Perti tanggal 11 Agustus 1955 di Jakarta diputuskan untuk memindahkan pusat pimpinan partai dari Bukittinggi ke Jakarta (Yunus 1971: 60). Pada Pemilu 1955 di Sumatra Barat, partai ini menjadi partai Islam terbesar kedua setelah Masyumi (Asnan 2007: 83, 119). Partai Islam Perti, tidak seperti Masyumi, selamat dari penghancuran setelah Orde Lama jatuh dan tetap bertahan sebagai partai politik hingga awal Orde Baru. Pada pemilu 1971, partai ini termasuk yang terbesar di Sumatra Barat setelah Golkar dan Parmusi (Kahin, 2008: 403). Tahun 1973 partai ini digabungkan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sejak itu, Perti kembali menjadi organisasi masyarakat Islam non-partai sampai sekarang.

Penulis: Dedi Arsa
Instansi: IAIN Bukittinggi
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan


Referensi

Abdullah, Taufik, 2018. Sekolah dan Politik: Pergerakan Kaum Muda di Sumatra Barat, 1927-1933, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Asnan, Gusti, 2007. Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Nederland Institut voor Oorlogdocumentatie & KITLV-Jakarta.

De Sumatra Post, 17 Maret 1941.

Djamal, Murni, 2002. Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20, Jakarta: INIS.

Hamka, 1967. Ajahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abd. Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta: Djajamurni.

Indisch Verslag, 1933.

Junus, Mahmud, 1971. Sedjarah Islam di Minangkabau, Jakarta: Al-Hidajah.

Kahin, Audrey, 2008. Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Noer, Deliar, 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES.