Pertempuran Lima Hari di Palembang

From Ensiklopedia

Pertempuran ini merupakan implikasi dari perbenturan antara keinginan Belanda untuk kembali menguasai wilayah Indonesia pasca berakhirnya Perang Dunia II, termasuk di Palembang yang kaya sumber daya alam, dan bara kemerdekaan yang menyelimuti para pejuang di Palembang. Akibat kesulitan transportasi,  pasukan sekutu hadir relatif lambat di Palembang dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sumatra (Zed 2003: 330-333). Kedatangan terakhir pasukan sekutu di Palembang, yang berada di bawah komando Inggris, terjadi pada pertengahan Maret 1946. Mereka bertugas untuk membebaskan tawanan perang, memulangkan tentara Jepang, dan menjaga kemanan dan ketertiban.

Dalam masa transisi berakhirnya perang dan sebelum kedatangan tentara sekutu tersebut, pihak Indonesia di bawah pimpinan Adnan Kapau Gani berhasil menguatkan posisi Palembang secara ekonomi dan militer. Beberapa sumber ekonomi seperti instalasi penyulingan minyak bumi, pertambangan batu bara, peredaran uang, dan perdagangan luar negeri dapat diambil alih. Kekuatan militer yang berasal dari beberapa anggota laskar dan Tentara Republik Indonesia (TRI) berhasil disusun. Sejak awal April 1946, pihak tentara sekutu dan Indonesia telah memiliki kesepakatan untuk membentuk apa yang disebut dengan "corridor keamanan" di Palembang (Zed 2003: 420).

Kesepakatan tersebut menyebutkan bahwa dalam radius sekitar 1.000 yard dari pusat kota Palembang sebagai kawasan yang bebas dari lalu-lalang orang bersenjata. Kesepakatan ini dapat diwujudkan oleh kedua belah pihak. Kondisi ini berubah ketika tugas 4000 tentara sekutu dialihkan kepada tentara Belanda pada 9 November 1946 (Zed 2003: 413). Pasukan Belanda mulai masuk Palembang sejak awal Oktober 1946. Semula hanya terdapat 150 personil Belanda dalam pasukan sekutu, namun jumlah tersebut menjadi 5300 orang pada awal November 1946. Sejak akhir Oktober 1946, pasukan Belanda melakukan tindakan yang sebelumnya menjadi tugas pihak Indonesia sebelumnya seperti  melakukan patroli, razia, pencegatan, dan pemeriksaan muatan kapal yang keluar-masuk Palembang (Zed 2003: 421).

Tindakan ini mendapat protes keras dari pihak Indonesia melalui Koordinasi Ekonomi Keresidenan (KEK). Pada tanggal 3 Desember 1946, sejumlah pemuda laskar dan TRI mencegat setiap kendaraan militer Belanda yang dianggap melanggar "corridor keamanan" yang berakibat pada bentrokan fisik sehingga menimbulkan korban pada kedua pihak. Seminggu kemudian, pemerintah pusat mengirim sebuah komite untuk menyelesaikan masalah-masalah di daerah sebagai kelanjutan dari Perundingan Linggarjati, yang menuntut baik pihak Indonesia maupun Belanda untuk melaksanakannya (Zed 2003: 422-423; Ricklefs 2001:275).

Komite ini kemudian memasukkan agenda khusus terkait perselisihan antara pihak Belanda dan Indonesia yang tercakup dalam masalah moneter, "corridor keamanan", pengawasan pelayaran.  Dua masalah pertama berhasil disepakati, namun masalah terakhir diusulkan untuk diselesaikan di Jakarta. Pasukan Belanda, dengan dalih menjaga keamanan, tetap melakukan pengawasan pelayaran.  Menanggapi tindakan tersebut, pada pertengahan Desember, kekuatan TRI dari berbagai daerah seperti Bukittinggi, Lahat, Prabumulih, serta beberapa kelompok laskar mendekati Palembang (Zed 2003: 423-427; Taal 2003: 70-74; Toer 2001: 3). Pihak Belanda maupun Indonesia dalam keadaan siap tempur menunggu perintah penyerangan.

Pidato Panglima Besar Sudirman  26 Desember, yang ditangkap melalui radio pukul 8 malam, menyerukan barisan TRI dan segenap laskar untuk bersiap-siaga disambut Panglima TRI Sumatra, Soehardjo Hardjowardojo, dengan menyatakan kepada pusat bahwa pasukan Indonesia dalam posisi siap menyerang dan pihak Belanda dalam posisi terkunci. Insiden pertama terjadi pada 28 Desember 1946 jam 9 malam ketika dua granat dilemparkan kepada iring-iringan truk Belanda yang melintas di jalan Talang Jawa Baru Palembang, yang mengakibatkan dua  korban jiwa dan terluka di pihak Belanda. Esok harinya terjadi serangan terbuka dan pendudukan beberapa tempat strategis oleh pihak Indonesia.

Pagi tanggal 31 Desember pihak Belanda gagal menghubungi Gubernur Mohammad Isa untuk meredakan konflik. Malam harinya, Soehardjo berbicara melalui radio untuk mengobarkan semangat pasukan Indonesia. Siang hari 1 Januari 1947, bentrokan bersenjata antara kedua pihak tidak terhindarkan. Korban jiwa dan material berjatuhan. Pertempuran tersebut baru dapat diredakan pada tanggal 4 Januari pukul 1 dini hari setelah komunikasi berhasil dilakukan antara pihak Belanda dengan Gubernur Isa dan  Baay Salim. Perundingan berjalan alot, meski akhirnya tepat tengah hari tanggal 5 Januari 1947 disepakati bahwa kekuatan Indonesia harus mengundurkan diri sejauh 20 kilometer dari Palembang. Pada saat itu, kondisi Palembang menjadi agak aneh karena bendera dari kedua bangsa, bahkan kadangkala bendera kuning-hijau Negara Sumatera Selatan, berkibar.

Penulis: Johny Alfian Khusyairi
Instansi: Universitas Airlangga
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

Ricklefs, M. C. 2001. A history of modern Indonesia since c. 1200, Hampshire: Palgrave.

Taal, Sandra. 2003. Between ideal and reality, disertasi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Leiden.

Toer, Pramoedya Ananta, Koesalahh Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 2001. Kronik Revolusi Indonesia, jilid III (1947), Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Zed, Mestika. 2003. Kepialangan politik dan revolusi: Palembang 1900-1950, Jakarta; Pustaka   LP3ES Indonesia.