Perundingan Linggarjati

From Ensiklopedia

Perundingan Linggarjati merupakan serangkaian perundingan antara Indonesia dan Belanda di desa Linggajati, Kuningan, Jawa Barat pada tanggal 11-13 November 1946 (Daniswari 2022). Hasil perundingan Linggarjati diparaf oleh anggota kedua delegasi pada tanggal 15 November 1946 dan diratifikasi serta ditandatangani secara resmi di Istana Rijkswijk atau Istana Negara di Jakarta pada tanggal 25 Maret 1947 (Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 228; Tirto.id, 27 Januari 2021).

Kesepakatan yang diambil dalam perjanjian Linggarjati tidak dapat dilepaskan dengan perundingan-perundingan yang diselenggarakan sebelumnya. Setelah kegagalan perundingan Hoge Veluwe pada 2 Mei 1946,  Van Mook mengajukan  usul yang terdiri dari 3 butir, yaitu: 1) pemerintah Belanda mengakui RI sebagai bagian dari persemakmuran (gemeenebest) Indonesia yang berbentuk federasi (serikat), yakni Indonesia Serikat; 2) Negara Indonesia Serikat di satu pihak akan terdiri dari Nederland, Suriname, dan Curacao, namun di lain pihak akan merupakan bagian-bagian dari Kerajaan Belanda; 3) Pemerintah Belanda akan mengakui de facto kekuasaan RI atas Jawa, Madura dan Sumatera, dikurangi dengan daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Inggris dan Belanda (Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 222).

Pemerintah RI menolak usul yang disampaikan oleh Van Mook tersebut. Sebagai gantinya, Sjahrir mengajukan usul kepada Belanda pada tanggal 17 Juni 1946 sebagai berikut: 1) Republik Indonesia berkuasa secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatera ditambah dengan daerah-daerah yang dikuasai oleh tentara Inggris dan Belanda; 2) Republik Indonesia menolak ikatan kenegaraan dan menghendaki agar Belanda menghentikan pengiriman pasukan Belanda ke Indonesia, sedangkan pemerintah RI tidak akan menambah pasukannya; 3) Pemerintah Republik menolak suatu periode peralihan di bawah kedaulatan Belanda (Abdullah & Lapian [ed.] 2012:  222; Notosusanto 1975: 37).

Usul yang disampaikan Syahrir tersebut ditolak oleh Belanda, sehingga upaya perundingan antara Indonesia dengan Belanda mengalami kemacetan. Kemacetan itu mendorong Sekutu pada bulan Agustus 1946 menawarkan  arbitrasi melalui tokoh diplomat Inggris yaitu Lord Killearn. Diplomat Inggris ini berhasil meyakinkan Syahrir bahwa berunding kembali dengan  Belanda merupakan cara yang terbaik. Terlebih lagi pasukan Sekutu telah ditarik dari Indonesia yang memungkinkan Belanda menggunakan cara-cara kekerasan untuk menguasai Indonesia (Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 225).

Selain mendorong terwujudnya perundingan antara Indonesia dengan Belanda, pertemuan antara Syahrir dengan Lord Killearn membicarakan pula tentang gencatan senjata. Untuk merealisasikannya, pada  17 September 1946 Syahrir mengirim delegasi Tentara republik Indonesia (TRI) untuk berunding dengan Sekutu guna membicarakan mengenai masalah gencatan senjata. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mayor Jenderal Sudibjo beserta 6 orang anggota, antara lain Komodor S. Suryadarma, Kolonel M. Simbolon, dan Kolonel T.B. Simatupang. Dalam perundingan itu, delegasi Indonesia mengajukan nota yang terdiri dari 5 pasal, yaitu: 1) Gencatan senjata total di darat, lalut, dan udara; 2) Penghentian pemasukan pasukan Belanda ke Indonesia; 3) Jaminan dari Amerika Serikat bahwa AS tidak akan menyerahkan senjata-senjatanya kepada pihak Belanda; 4) Pembukaan atau kebebasan memakai jalan darat, laut, dan udara oleh pihak RI; dan 5) penyingkiran orang Jepang baik sipil majupun militer dari seluruh Indonesia (Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 225; Notosusanto 1975: 41).

Nota yang diajukan oleh delegasi Indonesia itu ditolak oleh Sekutu. Walaupun demikian, pemerintah RI masih berkomitmen untuk melakukan perundingan dengan Belanda. Hal itu terlihat pada upaya Syahrir membentuk delegasi Indonesia untuk berunding dengan Belanda, setelah Syahrir membentuk kabinetnya yang ke-3 pada tanggal 2 Oktober 1946. Delegasi Indonesia dipimpin sendiri oleh Perdana Menteri Syahrir dengan anggota terdiri dari Mr. Mohammad Roem, Mr. SusantoTirtoprodjo, dr. A.K. Gani, Ali Budiarjo sebagai sekretaris, dan beberapa anggota cadangan seperti Mr. Amir Sjarifuddin, dr. Soedarsono, dan dr. J. Leimena (Budiarjo 1992: 13). Sementara itu pihak Belanda menyusun komisi Jenderal yang ditugaskan untuk berunding dengan Indonesia. Komisi Jenderal dipimpin oleh Prof. Schemerhorn dengan beberapa anggota delegasi, yaitu  Max van Poll, F. de Boer, dan H.J. Van Mook (Notosusanto 1975: 42-43).

Secara keseluruhan, perundingan Linggarjati berlangsung dalam tiga tahap (Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 226).  Perundingan pertama, yang merupakan perundingan pendahuluan, berlangsung di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1946. Pada tanggal 14 Oktober 1946 tercapai kesepakatan mengenai unsur-unsur pokok yang akan  dibicarakan, yaitu: 1) Delegasi Indonesia, Inggris, dan Belanda setuju mengadakan gencatan senjata atas dasar kedudukan militer pada waktu kini dan atas dasar kekuatan militer; 2) Disetujui pembentukan komisi gencatan senjata yang bertugas untuk menimbang dan memutuskan pelaksanaan gencatan senjata dan pengaduan terhadap pelanggaran; 3) Komisi ini bekerja sampai 30 November 1946 dengan susunan anggota adalah: Mr. Wright (ketua), Mayor Jenderal E.C. Mansergh, Kolonel Laut Cooper, Air Commodore Stevens, Mayor Jenderal Formann, dr. Sudarsono, Jenderal Soedirman, Laksamana Muda M. Nazir, Marsekal Pertama Surjadarma, Dr. Idenburgh, Letnan Jenderal Spoor, Laksamana Pinke, dan Mayor Jenderal Kengen; 4) Disetujui bersama membentuk sub-komisi teknis yang terdiri atas para kepala staf militer Inggris, Indonesia, dan Belanda. (Notosusanto 1975: 41-42).

Perundingan kedua diadakan di desa Linggajati Kuningan Jawa Barat pada tanggal 11-13 November 1946. Dengan perdebatan yang sengit, perundingan ini berhasil menyetujui naskah perundingan yang terdiri atas 17 fasal, yang isinya antara lain: 1) Belanda mengakui secara de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatra; 2) Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda bersama-sama menyelenggarakan berdirinya sebuah negara berdasarkan federasi dengan nama Negara Indonesia Serikat; 3) Pemerintah Republik Indonesia Serikat akan tetap bekerjasama dengan pemerintah Belanda dengan membentuk Uni Indonesia-Belanda (Kahin 1980: 244; Notosusanto 1975: 43).

Perundingan tahap ketiga berlangsung di Istana Rijswijk (sekarang Istana merdeka) di Jakarta pada tanggal 15 November 1946 dengan agenda pengumuman secara resmi naskah persetujuan dan pidato perpisahan dari Lord Killearn yang mewakili Inggris. Pada sore harinya naskah dalam bahasa Belanda diparaf di rumah Syahrir dan naskah dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris baru diparaf pada tanggal 18 November 1946. Perjanjian Linggarjati setelah diparaf masih memerlukan persetujuan dan ditandatangani oleh Parlemen Belanda serta Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bertindak sebagai parlemen RI (Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 228). Besarnya pro kontra ditubuh KNIP dan banyaknya partai-partai politik yang kecewa menyebabkan naskah ini baru ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 (Ibrahim 2014: 44).

Penulis: Julianto Ibrahim
Instansi: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Abdullah, Taufik dan Lapian, A.B. (2012). Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

Dini Daniswari. (2022). “Isi Perjanjian Linggarjati, Tokoh, Dampak, Lokasi, dan Waktu”, https://regional.kompas.com/read/2022/03/01/205105578/isi-perjanjian-linggarjati-tokoh-dampak-lokasi-dan-waktu?page=all, diunduh 8 Juni 2022

Alhidayath Parinduri. (2021). “Sejarah Perjanjian Linggarjati: Latar belakang, Isi, dan Tokoh Delegasi” https://tirto.id/sejarah-perjanjian-linggarjati-latar-belakang-isi-tokoh-delegasi-f9zC, diunduh 8 Juni 2022.

Notosusanto, Nugroho ed. (1975). Sejarah Nasional Indonesia VI: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Budiarjo, Ali. (1992). “Langkah Pertama Menuju Dekoloni Indonesia” dalam A.B. Lapian & P.J. Drooglever. Menelusuri Jalur Linggarjati: Diplomasi Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Kahin, George Mc., (1980), Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, terj. Ismail bin Muhammad, Dewan Bahasa dan pustaka, Kuala lumpur.

Ibrahim, Julianto. (2014). Sejarah Sosial Pilitik Masa Revolusi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.