Perundingan Hoge Veluwe

From Ensiklopedia

Perundingan Hoge Veluwe merujuk pada peristiwa perundingan antara Indonesia dengan Belanda dalam rangka membicarakan masalah status kenegaraan, kemerdekaan, dan wilayah Indonesia yang berlangsung antara tanggal 14-24 April 1946 di Hoge Veluwe, dekat Den Haag, Belanda (Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 219; Prabowo 2020). Perundingan ini merupakan kelanjutan dari pembicaraan pendahuluan yang dilakukan oleh Perdana Menteri Syahrir dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda de facto Hubertus Johannes Van Mook dalam upaya merancang “Batavia Concept” atau Draft Jakarta yang akan dibicarakan dalam pertemuan ini (Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 219). Pemerintah Syahrir yang berkuasa pada saat itu mengirim delegasi berjumlah tiga orang ke Hoge Veluwe, yaitu Mr. Suwandi (Menteri Kehakiman), dr. Sudarsono (Menteri Dalam Negeri), dan Mr. Abdul Karim Pringgodigdo (Sekretaris Kabinet). Mereka berangkat ke Belanda pada tanggal 4 April 1946 bersama dengan diplomat Senior Inggris Sir Archibald Clark Kerr. Delegasi Belanda terdiri dari  Dr. Van Royen, Prof. van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Suryo Santoso (Notosusanto 1975: 36; 123doc.com, 7 Juni 2022)

“Batavia Concept” yang dibicarakkan dalam pertemuan tersebut adalah : 1) Pengakuan de facto atas wilayah dan kekuasaan Republik Indonesia di Jawa dan Sumatra; 2) Kedua belah pihak sepakat untuk memandang masing-masing pihak sebagai “mitra sejajar” dalam perundingan-perundingan selanjutnya; 3) Struktur federal bagi bangsa Indonesia di masa mendatang; 4) Adanya masa peralihan (Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 219). Sejak hari pertama pelaksanaan perundingan di Hoge Veluwe, perbedaan pendapat mengenai “draft Jakarta” sulit untuk dipertemukan sehingga berakhir dengan deadlock (Agung 1983: 28). Hal ini disebabkan masing-masing pihak memiliki harapan yang berbeda. Delegasi Belanda menganggap pertemuan Hoge veluwe sebagai perundingan pendahuluan sebelum mencapai perundingan-perundingan yang lebih serius, sedangkan pihak Indonesia mengharapkan adanya langkah-langkah yang nyata ke arah pengakuan kemerdekaan Indonesia (Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 220).

Perbedaan pendapat antara dua delegasi yang tajam menyebabkan perundingan Hoge Veluwe itu mengalami kegagalan (Nasution 1977: 37). Sebenarnya, pihak Belanda tidak begitu mempermasalahkan wilayah Republik atas Jawa dan Sumatra, tetapi poin yang tidak bisa diterima adalah kedudukan sejajar antara Belanda dengan Indonesia. Menerima kesejajaran ini berarti pengakuan negeri bekas jajahannya ini dengan kedudukan yang sama di mata dunia internasional. Padahal Belanda masih menganggap dirinya sebagai negara pemegang kedaulatan atas Indonesia dan tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia (Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 220-221).  

Alasan lain adalah penolakan dari politisi di parlemen Belanda karena gagasan kesejajaran ini dapat mempengaruhi pemilihan umum di Belanda (Nasution 1977: 37; Eprints.uny.ac.id, 2022: 8). Peta politik di Belanda memperlihatkan pro kontra mengenai perundingan ini yang mempengaruhi pelaksanaan pemilu pertama di Belanda pascaperang. Fraksi Partai Katolik (Katholieke Volkpartij) yang merupakan salah satu partai kuat di parlemen menentang keras terselenggaranya perundingan ini. Pada saat dimulainya  perundingan Hoge Veluwe, salah satu pimpinan Fraksi Partai Katolik di Parlemen Belanda (Tweede kamer) menulis dalam Harian Volksrant dengan nada keras antinegosiasi berjudul De Week der Schande (Minggu yang Penuh Aib) (Roem 1989: 73-74)

Van Mook juga mempunyai andil dalam penolakan penyelenggaraan Hoge Veluwe oleh sebagian besar politisi di parlemen Belanda. Van Mook rupanya sengaja tidak melaporkan rincian draft Jakarta kepada pemerintah Belanda di Den Haag. Van Mook merasa bahwa penyelesaian masalah Indonesia perlu diselesaikan dengan cepat dan tidak perlu disangkutpautkan dengan pemilu. Perundingan itu seharusnya menjadi kejutan kepada pemerintah Belanda agar bersedia mengambil alih pimpinan dalam penyelesaian masalah Indonesia, dan tidak hanya kepada dirinya Letnan Gubernur Jenderal atau kepala NICA di Indonesia. Sementara itu, pemerintah Belanda tidak mampu melakukannya selama pemilihan umum pascaperang belum diselenggarakan (Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 221).

Penulis: Julianto Ibrahim
Instansi: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Abdullah, Taufik dan Lapian, A.B. (2012). Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

Agung, Ide Anak Agung Gde. (1983). Renville. Jakarta: Penerbit Sinar Mas.

Nasution, A.H. (1977). Sekitar Perang kemerdekaan Indonesia: Diplomasi Sambil Bertempur. Bandung: Angkasa.

Notosusanto, Nugroho ed. (1975). Sejarah Nasional Indonesia VI: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

“Perang Kemerdekaan dan Diplomasi” (2022). https://123dok.com/article/menuju-perundingan-perang-kemerdekaan-dan-diplomas.qokgn7my, Diunduh 7 Juni 2022.

Prabowo, Gama (2020), “Perundingan Hooge Veluwe (1946)”, https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/21/145618269/perundingan-hooge-veluwe-1946?page=all, Diunduh 1 Juni 2022

“Proses Jalanya Diplomasi dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia”, https://eprints.uny.ac.id/21765/5/5%20Revisi%20BAB%20III.pdf, diunduh 8 Juni 2022.

Roem, Muhammad. (1989). Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan Republik Indonesia. Jakarta: Gramedia.