Sutan Sjahrir
Sutan Sjahrir termasuk tokoh yang memberi warna dalam jejak sejarah bangsa. Pada usianya yang masih 36 tahun, dia telah menjadi salah satu Perdana Menteri Indonesia. Bukan hanya pergerakannya, pemikiran-pemikiran briliannya mampu mendorong lahirnya hal-hal baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sutan Sjahrir lahir di Padangpanjang, Sumatra Barat, pada 5 Maret 1909. Dia besar dalam lingkungan kota Medan yang saat itu penuh dengan kondisi kemelaratan kaum pekerja atau koeli, sebagai imbas dari eksploitasi dari sistem kapitalisme kolonial. Suasana tersebut telah diakrabi sejak kecil. Ketika Sjahrir berusia empat tahun, ayahnya yaitu Mohammad diangkat menjadi penasehat dari Sultan Deli. Alhasil dia mengikuti ayahnya untuk tinggal di Deli, sehingga masa kecilnya juga dihabiskan di tempat itu (Yohana, 2010: 21-22).
Sjahrir kecil adalah anak yang sangat gemar membaca buku. Ketika belajar di Sekolah Dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) di Medan, dia banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku dari berbagai pengarang yang terkenal, dari mulai buku karya Don Quioxote, Karl Max, hingga Baron Von Munchausen. Mungkin hingga ratusan buku serta novel anak-anak berbahasa Belanda telah dia baca hingga remaja. Selain membaca buku, dia pun gemar bermain biola ketika malam hari dan kerap tampil di hotel untuk menghibur khusus orang kulit putih seperti Hotel de Boer di Medan. Di sekolah menengahnya, Sjahrir menjadi anak yang berprestasi. Itulah sebabnya, dia mendapatkan peringkat di sekolahnya dan bisa melanjutkan lagi sekolah di AMS Bandung pada tahun 1926 (Yohana, 2010: 22).
Apa yang dilakukan Sjahrir selama bersekolah di Bandung? Mula-mula Sjahrir aktif dalam kegiatan dalam sekolah AMS. Dia bergabung dengan sebuah kelompok seni Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia, bernama Batovis. Perannya sangat banyak dalam kelompok ini sebagai seorang sutradara, penulis naskah skenario hingga menjadi aktor yang pentas di atas panggung (Yohana, 2010: 22). Di luar itu, Sutan Sjahrir juga tergabung dalam sebuah perkumpulan dengan gagasan untuk mendorong kesatuan nasional Indonesia dengan berbagai upayanya yaitu Jong Indonesie. Sutan Sjahrir pernah menjadi pemimpin rapat dalam perhimpunan tersebut. Berkat geraknya di beberapa lini tersebut, dengan cepat Sjahrir dikenal luas oleh berbagai kalangan di Bandung. Hal ini karena dia adalah pimpinan redaksi dari majalah yang digerakan oleh Jong Indonesie (Mrazek, 1996: 63-64).
Bersama dengan kawan-kawannya dalam perhimpunan ini, Sjahrir membentuk sebuah sekolah bernama Tjahja Volksuniversiteit yang memberikan pendidikan pada banyak kalangan bawah, di antaranya adalah kuli, petani, para pekerja, hingga puluhan wanita dan orang tua yang umurnya di atas empat puluh tahun. Sjahrir ikut menyumbang pendanaannya dengan cara menyetorkan hasil bayarannya tampil dari teater Batovis (Mrazek, 1996: 68). Jong Indonesie kerap menggelar diskusi di AMS bersama dengan kelompok studi belajar Patriae Scientiaeque dengan topik yang paling sering dibicarakan adalah mengenai “anti-feodalisme”. Pada tahun 1928, Kongres Pemuda Se-Hindia kedua berlangsung di Batavia. Perwakilan dari Jong Indonesie ikut ke sana dan terlibat dalam deklarasi sumpah pemuda di Batavia (Mandaralam, 1987: 14).
Sjahrir menyelesaikan pendidikannya di AMS Bandung pada tahun 1929. Selanjutnya Sjahrir mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam, di mana garis pemisah antara warga negeri penjajah dengan penduduk wilayah jajahan tidak terlihat. Sjahrir merasa tergairahkan di lingkungan universitasnya. Ia kontak langsung dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia lainnya. Tidak hanya itu, Sjahrir tidak membatasi pergaulannya hanya dengan mahasiswa Indonesia saja, namun ia juga memperluas pergaulannya dengan mahasiswa-mahasiswa Belanda berdasarkan persamaan derajat dan menjalin persahabatan berdasarkan simpati atau persamaan wawasan tanpa harus dikekang perbedaan ras (Marazek, 1996: 100-04).
Semasa Sjahrir kuliah di Belanda, Mohammad Hatta sudah berada di sana selama delapan tahun. Hatta bersekolah di Sekolah Bisnis Rotterdam. Ia juga dikenal dalam dunia politik Belanda dan menjadi ketua Perhimpunan Indonesia, yakni organisasi mahasiswa patriotik dari Indonesia yang berada di Belanda. Pada 1929 Sjahrir masuk menjadi bagian dari Perhimpunan Indonesia di bawah bimbingan Muhammad Hatta.
Sutan Sjahrir memiliki peranan yang besar dalam perjuangan merebut kemerdekan bagi Indonesia. Pada tanggal 29 Desember 1929 pemerintah kolonial Belanda menangkap Sukarno dan tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) karena dianggap melakukan kegiatan revolusioner untuk melawan pihak Belanda. PNI pada akhirnya dibubarkan oleh aktivisnya sendiri, dan membentuk Partai Indonesia (Partindo). Partindo dianggap terlalu lemah dan mengecewakan kaum nasionalis, mereka pun berharap ada tokoh yang lebih berani (Tempo, 2009: 28). Para anggota yang kecewa atas dibubarkannya PNI tetap berkomunikasi dan berusaha memikirkan rencana ke depannya seperti apa. Mereka yang tinggal di Bandung, Batavia, dan Surabaya membentuk studieclub tiap daerah dan menyebut diri mereka sebagai Golongan Merdeka (Simbolon, 1995: 348).
Pada 1931 Sjahrir memutuskan berhenti kuliah. Ia memilih untuk kembali ke Indonesia dan terjun dalam pergerakan nasional. Sjahrir dan Hatta memberikan dukungan dan secara terang-terangan bergabung dengan kelompok nasionalis Golongan Merdeka. Pada Juni 1932 Sjahrir menggantikan Soekemi sebagai pemimpin PNI-Baru, dan ia kemudian menyerahkan pimpinan tersebut kepada Hatta sekembalinya Hatta ke Indonesia.
Sebagian kegiatan partai adalah menyelenggarakan pendidikan politik bagi anggotanya, sehingga membuat PNI-Baru di bawah kepemimpinan Hatta dan Sjahrir mengembangkan suatu pandangan dunia dan cara yang khas dalam menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi dalam pergerakan kebangsaan. Jalan politik yang diambil oleh Sjahrir dilatarbelakangi oleh jiwa patriotik dan pemikirannya yang menjunjung tinggi persamaan derajat setiap manusia (Legge, 1993: 59).
Pada masa pendudukan Jepang, Sukarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, sedangkan Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Sjahrir yakin bahwa Jepang tidak mungkin memenangkan perang. Oleh karena itu, kaum pergerakan harus menyiapkan diri dalam merebut kemerdekaan pada waktu yang tepat. Jaringan gerakan bawah tanah kelompok Sjahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni mahasiswa progresif. Sjahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Pada saat itu tidak semua radio dapat menangkap berita dari luar negeri karena disegel oleh Jepang.
Berita-berita yang didapatkan disampaikan kepada Hatta, sembari Sjahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Sampai pada tanggal 14 Agustus 1945, Sjahrir mendesak Hatta agar proklamasi kemerdekaan harus segera dilaksanakan secepat mungkin. Sjahrir mendesak Hatta dengan alasan bahwa Jepang telah menyerah kepada sekutu dan berita tersebut telah menyebar. Hatta tidak yakin sepenuhnya atas desakan tersebut, dan membawa Sjahrir ke rumah Sukarno untuk membicarakan hal tersebut lebih lanjut. Sukarno dan Hatta meragukan apakah Jepang benar-benar telah menyerah kepada sekutu, mereka merasa khawatir jika langkah tersebut dilakukan tergesa-gesa dan akan memancing Jepang untuk bertindak yang tidak diinginkan. Sukarno dan Hatta juga berpendapat bahwa pernyataan kemerdekaan harus dikeluarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang akan melangsungkan sidang peresmian pada tanggal 18 Agustus 1945. Pada akhirnya Sukarno tetap dengan keputusan untuk menunggu sampai diselenggarakannya sidang PPKI (Yohana, t.t.: 43-44).
Peristiwa penculikan Sukarno dan Hatta pun terjadi, yang dilakukan oleh kelompok pemuda pada malam hari 16 Agustus 1945 dan membawa mereka ke Rengasdengklok, tepatnya di rumah Laksamana Maeda. Sukarno dan Hatta pada akhirnya menyerah dan setuju untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia keesokan harinya. Mereka pun akhirnya secara musyawarah menyiapkan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi titik penting perjalanan politik Sjahrir. Pada 25 Oktober 1945, Sjahrir diterima menjadi salah seorang anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sekaligus menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP dengan wakilnya Amir Syarifuddin. Prestasi Sjahrir dalam KNIP adalah ia memahami secara mendalam mengenai masalah Negara Republik Indonesia yang baru lahir dan ia mengetahui apa saja yang harus dilakukan. Banyak yang pro dan kontra dengan kepemimpinan Sjahrir dalam KNIP, namun sejarah memperlihatkan bahwa ketika ia menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP, lahirlah Maklumat Nomor X yang memungkinkan lahirnya partai politik di Indonesia (Yohana, t.t.: 43-44).
Keluarnya Maklumat Nomor X dan berdirinya partai-partai menyebabkan komposisi dari keanggotaan KNIP diperluas lagi dengan wakil-wakil dari partai. KNIP lebih mencerminkan lembaga yang memiliki keanggotaan dan fungsi legislatif yang mencerminkan aspirasi-aspirasi (kelompok politik) yang hidup, apalagi karena kepala pemerintah atau Perdana Menteri bertanggung jawab kepada KNIP (Moehamad dan Lubis, 1993: 98). Mulai saat itu juga KNIP menjadi badan legislatif yang bertugas menyusun Undang-Undang dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Maklumat Nomor X menandakan berakhirnya kekuasaan presiden dan riwayat Komite Nasional sebagai pembantu presiden. Prestasi Sjahrir dalam KNIP membuktikan bahwa Sjahrir memahami secara mendalam mengenai masalah yang ada di Indonesia sebagai negara yang baru berdiri, selain itu Sjahrir juga mengetahui apa saja yang harus ia lakukan.
Pada tanggal 14 November 1945, Sjahrir menjadi Perdana Menteri pertama di Indonesia dan mulai memimpin kabinetnya. Sjahrir juga sekaligus menjabat Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri. Sebagai Perdana Menteri, Sjahrir telah melakukan perombakan kabinet sebanyak tiga kali, yakni Sjahrir I, Sjahrir II, Sjahrir III. Sjahrir pernah menjadi korban penculikan yang dilakukan kelompok oposisi Persatuan Perjuangan pada 26 Juni 1946. Mereka tidak puas atas diplomasi yang dilakukan saat pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda karena merugikan bangsa Indonesia. Kelompok oposisi Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor Jenderal Soedarsono dan termasuk Tan Malaka di dalamnya. Penculikan Sjahrir tersebut membuat Sukarno marah, pada 1 Juli 1946, 14 pimpinan yang melakukan penculikan tersebut ditangkap dan dipenjarakan oleh polisi Surakarta.
Pada tanggal 2 Juli 1946, Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara tersebut dan berhasil membebaskan para pimpinan tersebut. Sukarno pada akhirnya memerintahkan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai pimpinan tentara di Surakarta untuk menangkap Mayor Jenderal Soedarsono, hingga pada 3 Juli 1946 Mayor Jenderal Soedarsono berhasil ditangkap dan peristiwa tersebut dikenal sebagai sebuah kudeta pertama atas Republik Indonesia yang mengalami kegagalan. Setelah peristiwa penculikan, Sjahrir hanya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, sedangkan tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih oleh Sukarno, namun pada 2 Oktober 1946 Presiden Sukarno menunjuk kembali Sjahrir sebagai Perdana Menteri untuk melanjutkan Perundingan Linggarjati.
Setelah Sjahrir tidak lagi menjabat sebagai Perdana Menteri, ia mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada 12 Februari 1948. PSI bertujuan untuk ikut meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa Indonesia. Meski berhaluan kiri dan menggunakan ajaran Marx-Engels, Sjahrir berpendirian PSI harus menempuh sosialisme kerakyatan yang demokratis dan politik luar negeri yang bebas aktif, oleh sebab itu ia menentang sistem kenegaraan Uni Soviet. Bagi Sjahrir demokrasi merupakan jiwa perjuangan bangsa, dalam pemikirannya perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia tidak didasarkan kepada nasionalisme namun paham demokrasi, dengan demikian kebebasan dari perjuangan tersebut dapat dimiliki segenap rakyat Indonesia (Indro, 2009: 4).
Pada pemilihan umum pertama di Indonesia pada tahun 1955, PSI gagal mengumpulkan suara. Ketika Partai Komunis Indonesia hanya memperoleh 16% suara, maka menurut Sjahrir, rakyat Indonesia tetap berorientasi pada demokrasi karena partai-partai demokratik yang lain memperoleh suara besar (Indro, 2009: 125). PSI tidak berhasil membangun suatu organisasi massa berbasis cabang-cabang lokal yang dapat menghimpun anggota dan memasukkan kekuatan dari lapisan terbawah. Kegagalan tersebut bukanlah hal yang kebetulan. Para anggota partai ini melihat peranan partainya bersifat mendidik dan bukan mengorganisasi, diasumsikan bahwa upaya-upaya di bidang pendidikan dalam jangka panjang akan melahirkan satu basis massa untuk partai. PSI beranggapan bahwa dirinya sebagai partai pendidikan kader bukan partai massa, dan dengan kelemahan ini berakibat fatal ketika Pemilihan Umum 1955, daya tarik PSI ternyata kecil.
Pada 17 Agustus 1960 PSI resmi dibubarkan oleh Presiden Sukarno sebagaimana tertuang dalam Keputusan No. 201 tahun 1960. Pembubaran PSI dilatarbelakangi oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang mendukung pemberontakan PRRI dan hal tersebut tidak sepengetahuan dan tidak mewakili partai. Walaupun tidak semua anggota partai terlibat dalam pemberontakan PRRI tersebut, keputusan dari Presiden Sukarno adalah tetap membubarkan PSI, dan hal tersebut ditanggapi secara demokratis oleh pihak anggota partai.
Pada tahun 1962 ditemukan dokumen yang konon isinya organisasi bernama VOC. Ada yang menyebut VOC sebagai Verenigde Ondergrondse Corps atau Korps Perkumpulan Bawah Tanah dan Vernielings Organisatie Corps atau Korps Organisasi Penghancur, di mana dalam dokumen VOC tersebut terdapat nama Sjahrir. VOC dianggap sebagai gerakan subversif yang membahayakan negara. Adanya hal tersebut menyebabkan Sjahrir ditangkap. Selanjutnya Sjahrir ditahan tanpa diadili. Ia dan lainnya sempat ditahan di Jakarta kemudian dipindahkan ke Madiun, hingga ia menderita stroke dan setelah itu ia diizinkan untuk berobat ke Zurich, Swiss, hingga pada tanggal 9 April 1966 Sjahrir meninggal dunia di pengasingan sebagai tahanan politik (Matanasi, 2021).
Sebagai tokoh yang sangat aktif berfikir dan cemerlang dalam gagasan, Sjahrir meninggalkan banyak karya yang bisa dijadikan oleh banyak pihak sebagai pintu masuk memahami bangsa Indonesia lebih dalam. Contohnya adalah buku dengan judul Pikiran dan Perjuangan yang merupakan buah pikirannya selama masa-masa pergerakan nasional Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan tulisannya yang terbit sejak tahun 1931 hingga 1940 di Majalah Daulat Rakjat. Bahkan selama berada di pembuangannya di luar pulau Jawa, dia tetap aktif untuk melakukan pergerakan dan ikut bersumbangsih kepada kemajuan bangkitan kesatuan nasional dengan menulis surat-surat penting yang ditujukan kepada tokoh-tokoh nasionalis lainnya dan masuk dalam buku Indonesische Overpeinzingen. Ada banyak karya lagi yang tentu saja merupakan hasil buah pikirannya yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi gerak jejak sejarah bangsa Indonesia (Wikipedia, 2021).
Penulis: Indriyanto
Referensi
Adryamarthanino, Verelladevanka, “Sutan Sjahrir: Masa Muda, Kiprah, Penculikan, dan Akhir Hidup”
(https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/22/080000479/sutan-sjahrir--masa-muda-kiprah-penculikan-dan-akhir-hidup?page=all, diakses pada 4 November 2021).
Indro Nur, P.Y, Pemikiran Politik Soetan Sjahrir dan Partai Sosialis Indonesia : Tentang Sosialisme Demokrat (Bandung: Inisiatif Warga, UKM Media Parahyangan dan UKM Pusik Parahyangan, 2009).
Legge, J.D, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan Peranan Kelompok Sjahrir (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993).
Mandaralam, Syahbuddi, Apa dan Siapa Sutan Sjahrir (Jakarta: Rosda Jayaputra, 1987).
Matanasi, Petrik, “Jalan Sejarah Sutan Sjahrir Sebelum Jadi Pahlawan Nasional”,(http://tirto.id/jalan-sejarah-sutan-sjahrir-sebelum-jadi-pahlawan nasional-czUD), dikunjungi 02 November 2021).
Moechamad, Djoeir dan Mochtar Lubis, Memoar Seorang Sosialis (Jakarta: Obor, 1993).
Mrazek, Rudolf, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996).
Simbolon T, Parakitri T, Menjadi Indonesia (Jakarta: Kompas Grasindo, 1995).
TEMPO, Edisi 9-15 Maret 2009.
Tempo, Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia), hlm. 198.
Wikipedia, (http://id.m.wikipedia/wiki/Sutan_Sjahrir, dikunjungi 02 November 2021).
Yohana, “Sutan Sjahrir, Sosialisme, dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia” (Skripsi pada Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2010).