Santri
Kata santri biasanya diatribusikan untuk mendeskripisikan murid-murid yang belajar agama dari ahli agama, utamanya dari para kyai di pesantren yang umumnya berlokasi di Pantai Utara Jawa. Kyai dalam hal ini adalah guru dari para santri, yang dulunya juga merupakan seorang santri (Dhofier 2011: 18). Kemudian secara historis, istilah santri juga merujuk pada kategori masyarakat yang mengamalkan praktik keagamaan secara patuh dan taat para aturan-aturan fikih (Geertz 1960). Beberapa masyarakat di Jawa kerap mengkategorikan santri sebagai sebagai kaum putihan (Ricklefs, 2011: 56). Lalu di saat yang sama, santri juga bisa merujuk pada petugas masjid di bawah penghulu seperti misalnya modin, merbot, ataupun kaum (Juynboll, 1882: 267). Di kawasan Priangan, santri juga biasanya disebut sebagai sarat (van den Berg, 1882: 10).
Ada alasan dibalik istilah putihan yang juga digunakan untuk merujuk pada kaum santri. Orang-orang yang taat para aturan fikih umumnya adalah mereka yang baru datang dari Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Para haji ini umumnya menggunakan pakaian serba putih, terutama karena mereka diwajibkan untuk ihram (larangan untuk melakukan sesuatu dalam ibadah haji). Ketika berihram, hanya pakaian putih yang diperbolehkan. Secara kasat mata, inilah sebabnya mengapa para santri juga disebut sebagai kaum putihan (van den Berg, 1882: 10).
Selain itu, karena serius menjalankan ajaran-ajaran agama, kaum santri biasanya akan melakukan sunat, agak berbeda dengan kaum abangan yang biasanya tidak (Ricklefs, 2006: 10). Mereka juga tidak memakan babi. Waktu mereka biasanya habis untuk beribadah di dalam masjid. Baik itu sholat wajib, sholat sunnah, maupun sekedar membaca Quran (Poensen, 1884: 261). Jumlah mereka menurut Poensen (1864-65) mencapai setidaknya 60,000 orang pada tahun 1860an.
Tentang kehidupan santri di masa lalu, dimana santri merujuk sebagai murid-murid yang belajar agama Islam, catatan dari Fokkens (1877) bisa menjadi semacam petunjuk. Tidak begitu banyak berubah seperti saat ini, para santri tinggal di tempat yang disebut sebagai pondok. Namun pada tahun 1870an, pondok merupakan bangunan yang didirikan dari kayu dan bambu. Ada beberapa furnitur kayu sederhana seperti meja dan rak untuk menunjang aktivitas pendidikan dalam pesantren. Dalam kasus pesantren di Tegalsari, Fokkens mencatat bangunan bambu ini cukup besar dan terdiri dari beberapa bilik-bilik (Fokkens, 1877: 328-29). Pondok bisa menampung paling tidak seratus santri.
Tidak seperti pesantren sekarang yang hampir mirip dengan sistem sekolah modern, dimana tiap santri diseragamkan oleh kurikulum, justru dalam catatan Fokkens tiap santri punya waktu belajar yang berbeda-beda di siang hari (Fokkens, 1877: 329). Mereka belajar mandiri dan umumnya menghafal kitab-kitab yang telah disodorkan oleh kyainya, mulai dari akidah, akhlak, dan terutama fikih. Lalu ketika malam tiba, para santri akan berkumpul di koridor masjid yang ada di pesantren. Ditemani lampu gantung, mereka biasanya menghabiskan malam untuk menerima pelajaran dari kyai maupun para ustadz. Bila jam belajar malam tidak memungkinkan, para santri akan menghabiskan waktunya untuk ngobrol-ngobrol maupun berdiskusi (Brumund, 1857: 16).
Para santri umumnya berusia 10 sampai 13 tahun. Mereka diajarkan untuk mandiri, dan bahkan tidak jarang harus jauh dari orang tua dan rumah. Kitab-kitab dan berbagai perlengkapan pendidikan juga menjadi tanggung jawab masing-masing santri, meskipun untuk makan para santri biasanya mendapat makanan seadanya dari pesantren. Untuk mendapatkan makanan yang lebih baik, biasanya para santri rela berkeliling ke rumah-rumah warga yang sedang mengadakan upacara slametan (Geertz, 1960). Entah itu slametan kelahiran maupun kematian. Kadangkala, santri juga sengaja didatangkan tuan rumah agar upacara slametan semakin relijius, sacral, sekaligus menjadi upaya untuk berderma bagi para tuan rumah (Poensen, 1887: 253).
Lebih jauh, kiai pemilik pesantren memang tidak meminta pungutan biaya (van den Berg, 1882). Namun ada semacam hutang budi dari orang tua santri, sehingga kiai pada akhirnya mendapatkan apresiasi tidak dalam bentuk uang. Berbagai hasil panen merupakan contoh yang paling mudah ditemukan, bahkan sampai saat ini. Sementara untuk anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu, mereka akan membantu menggarap sawah dan ladang yang dimiliki oleh sang kiai.
Setelah tamat dari pesantren, para santri biasanya akan kembali ke kampung masing-masing. Mereka umumnya melanjutkan aktivitas yang biasa dilakukan oleh orang tuanya, baik itu bertani, berternak, maupun berdagang. Namun dalam beberapa kasus, para santri memilih untuk mengabdi di pesantrennya ataupun melakukan pengembaraan keilmuan dari satu pesantren ke pesantren lainnya (Fokkens, 1877). Untuk yang terakhir, ada yang mendapatkan popularitas di tengah masyarakat dan mampu mendapatkan apresiasi finansial dari masyarakat. Ini misalnya terjadi pada pengalaman salah satu kiai dari Cianjur yang mampu mendapat 2,000-3,000 gulden per tahun (van den Berg, 1882). Namun dalam beberapa kasus, para santri bisa menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan, menjadi bagian dalam Priesterraad (Fokkens, 1877: 321-22). Mereka biasanya juga akan melanjutkan pendidikan ke Mekah sekaligus melaksanakan pergi haji dengan harapan pulang mampu meraih posisi penghulu di pemerintahan.
Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
van den Berg, L.W.C. 1882. “De Mohammedaansche geestelijkheid en de geestelijke goederen op Java en Madoera,” Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG) 27 (1), h. 1-46.
Brumund, J.F.G. 1857. Het Volksonderwijs onder de Javanen. Batavia: Van Haren Noman and Kolff.
Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Edisi revisi. Jakarta: LP3ES.
Fokkens, F. 1877. “De Priesterschool te Tegalsari,” Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde, 24.
Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Glencoe: The Free Press.
Juynboll, A.W.T. 1880. “Eene Handleiding voor de Studie van den Islam,” De Indische Gids 3(1), h. 120-131.
Poensen, C. 1864-65. “Een en ander over den godsdienstigen toestand van den Javaan (uit een verslag over 1863, van C. Poensen, zendeling te Kediri),” Mededeelingen vanwege het Nederlandsche Zendelinggenootschap 8, h. 214-63; 9, h. 161-202.
---------. 1887. “Iets over het Javaansche gezin,” Mededeelingen vanwege het Nederlandsche Zendelinggenootschap 31:113-50, 221-61.
Ricklefs, Merle C. 2006. “The Birth of Abangan,” Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde (BKI) 162-1, h. 35-55.