Petisi Soetardjo

From Ensiklopedia

Petisi atau istilah lain voorstel, rekest (permohonan) diartikan sebagai (surat) permohonan resmi kepada pemerintah (KBBI, 2016). Petisi Soetardjo lahir atas usulan Soetardjo Kartohadikoesoemo (1892-1976), pribumi yang vokal dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat Hindia Belanda melalui Volksraad (Dewan Rakyat).  

Petisi tersebut digagas oleh Soetardjo pada sidang Volksraad tanggal 15 Juli 1936 (Marihandono dkk. 2016:105), yang di dalamnya berisi tuntutan agar pasal 68 dalam Undang-Undang Hindia Belanda (Indische Grondwet) dapat diwujudkan, bahwa “Volksraad dapat mewakili kepentingan Hindia Belanda dan penduduknya di hadapan Raja, Parlemen, dan Gubernur Jenderal” (Kleintjes 1927: 32).

Menurut Soetardjo, pasal tersebut menjadi kesempatan emas untuk memperjuangkan Hindia Belanda (sekarang Indonesia) menjadi negara independen (merdeka). Soetardjo merujuk pasal 1 Undang-Undang Hindia Belanda (Grondwet) bahwa “Het Koninkrijk der Nederlanden omvat het grondgebied van Nederland, Nederlandsch-Indies, Suriname en Curacao”, yang berarti Kerajaan Belanda mencakup wilayah Negeri Belanda, Hindia Belanda, Suriname, dan Curacao (Marihandono dkk. 2016:197). Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa Hindia Belanda memiliki tempat yang sejajar dengan Negeri Belanda karena bersama-sama dengan dua wilayah lainnya membentuk Kerajaan Belanda. Istilah “Koninkrijk” dalam pasal 1 tersebut menurut Soetardjo bukan suatu kesatuan sosial, tetapi suatu kesatuan staatkundig (politik).

Pada sidang volksraad yang berlangsung tahun 1936, Soetardjo bersama rekan-rekannya yang lain (Ratu Langie, Kasimo, Datoe Toemenggoeng, Ko Kwat Tiong, dan Alatas) menyampaikan isi petisi tersebut:


[...] Usulan bapak Soetardjo, Ratu Langie, Kasimo, Datoe’ Toemenggoeng, Ko Kwat Tiong, dan Alatas.
Dikirim pada 15 Juli 1936
Kami yang bertanda tangan di bawah ini dengan hormat menjorongkan oesoel, soepaja Volksraad dengan menggoenakan hak jang diberikan kepada madjelis itoe dalam pasal 68 daripada Oendang-oendang Indische Staatsregeling, mengajoekan permohonan kepada Pemerintah Tinggi dan Staten Generaal soepaja soekalah menolong  daja-oepaja agar soepaja diadakan satoe sidang permoesjawaratan dan wakil-wakil Nederlan dan wakil-wakil Hindia Nederland, jang sidang permoesjawaratan itoe dengan memakai atoeran hak bersamaan antara anggota-anggotanja akan mengatoer soeatoe rentjana bagi memberikan kepada Hindia Nederland dengan djalan berangsoer didalam sepoeloeh tahoen, atoepoen didalam tempo jang oleh sidang permoesjawaratan itoe akan dianggap dapat melakukannja, kedudukan berdiri sendiri didalam batas-batas pasal 1 dari pada Grondwet.

Soetardjo
Ratu Langie
Kasimi
Datoe’ Toemenggoeng
Ko Kwat Tiong
Alatas.

Isi petisi tersebut secara umum mendorong diadakannya suatu konferensi antara wakil-wakil Hindia Belanda dan Nederland untuk merencanakan perubahan-perubahan yang dalam waktu sepuluh tahun dapat memberi status merdeka kepada Hindia Belanda. Pada sidang Volksraad tahun 1936, secara bergantian petisi tersebut disampaikan. Diawali pidato G.S.S.J (Sam) Ratu Langie, selanjutnya I.J. Kasimo dari Partai Katolik, Lanjumin Datuk Tumenggung, diikuti Ko Kwat Tiong, Soetarjo dan terakhir Alatas.

Petisi tersebut kemudian menuai perdebatan di kalangan anggota Volksraad. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Petisi Soetardjo diterima untuk dibicarakan dalam sidang khusus di volksraad, yang dilaksanakan pada 17-29 September 1936. Hasil sidang tersebut, 26 anggota volksraad menyetujui petisi tersebut, dan 20 orang menolak. Dengan begitu Petisi Soetardjo ini menjadi agenda petisi di volksraad. Pada 1 Oktober 1936, petisi tersebut kemudian dikirim kepada Ratu Belanda, Staten General, dan Menteri Tanah Jajahan di negeri Belanda.

Sembari menunggu keputusan, dibentuklah Central Comite Petisi Soetardjo baik di Indonesia maupun di Belanda, sedangkan di daerah-daerah dibentuk Sub-sub Comite Petisi Soetardjo. Kampanye pun dilakukan oleh comite-comite tersebut, pun Soetarjo dan para pendukungnya melakukan aksi “gerakan turun jalan” dalam rangka mengumpulkan dukungan atas petisi tersebut. Pers dan surat kabar nasional turut mewartakan petisi tersebut (Yusuf 2017). Di Belanda sendiri, pada Juli 1937 Hadiono Koesoemo Oetoyo turut mengkampanyekan petisi tersebut dalam acara “Roepeli”, yakni kumpulan masyarakat Hindia Belanda, khususnya pribumi yang ada di Negeri Belanda. Hadiono menjadi penggerak utama dari Comite-Petitie-Soetardjo Nederland. Agenda kampanye yang dilakukan diantaranya mengadakan perhelatan dan rapat terbuka di Den Haag dan Amsterdam, Oetoyo juga menyampaikan pesan tentang betapa pentingnya persetujuan “Dewan” untuk masa depan bersama, Negeri Belanda dan Hindia Belanda  (Marihandono dkk. 2016: 207).

Selang dua tahun, akhirnya pada 16 November 1938 datanglah surat keputusan dari Kerajaan Belanda (koninklijk besluit) Nomor 40, yang diterbitkan oleh Ratu Wilhelmina, berisi menolak petisi tersebut. Sebagaimana Harry A Poeze menyatakan “uluran tangan telah ditolak, dan demikian banyak orang moderat dikecewakan, sedangkan mereka yang menolak diajukan petisi dibenarkan pendapatnya” (Poeze, 2008).

Penolakan Ratu Kerajaan Belanda didasarkan pada: pertama, berdasarkan tingkat perkembangan politik di Hindia Belanda, petisi tersebut sangat prematur; kedua, persoalan kedudukan minoritas di dalam struktur politik baru; ketiga, siapa yang akan memegang kekuasaan nanti; dan keempat, tuntutan otonomi dipandang sebagai hal yang tidak wajar alamiah, karena pertumbuhan ekonomi, sosial, dan politik belum memadai (Sartono 1999: 183). Walaupun petisi tersebut ditolak, kita perlu mengapresiasi bahwa Soetarjo telah berupaya memajukan bangsanya di tengah perjuangan melawan tirani penjajah yang tetap menginginkan untuk bercokol di tanah air tercinta.

Penulis: Tati Rohayati
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Marihandono, Djoko dkk,. (2016). Soetardjo Kartohadikoesoemo. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2016). Edisi ke 5, (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia). https://kbbi.kemdikbud.go.id/

Mr. Ph. Kleintjes. (1927). Wetten en Verordeningen betreffende de Staatsinrichting van Nederlandsch-Indië. (Amsterdam: J.H. de Bussy)

Soetardjo. (1937). De Petitie Soetardjo. Leiden: Perhimpunan Indonesia, Roodborstraat 31.

Poeze, Harry A. (2008). Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di negeri Belanda (1600-1950). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Kartodirdjo,  Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. (Yogyakarta: Ombak, 1999)

Yusuf, M. Yusran. (2017). Peranan Soetardjo Kartohadikoesoemo dalam Volksraad pada Masa Pergerakan Nasional Tahun (1936-1938). Yogyakarta.